Khotbah Minggu 17
November 2013
GMI Kasih Karunia,
Medan
Nats Alkitab : Lukas
21: 5-19
Bersama Injil Markus (13:1), di bagian ini pun
Lukas menggambarkan bahwa bangunan Bait Allah bukanlah sekedar bangunan yang
menjadi obyek wisata yang sangat terkenal, karena merupakan bangunan yang
sangat besar/megah, sangat indah (super-estetik), dan sangat kokoh/kuat dengan
dindingnya yang sangat tebal, namun juga merupakan bangunan yang menjadi simbol
negara dan simbol kedekatan hubungan antara umat Yahudi dengan Allah.
Bangunan ini adalah simbol Yudaisme –– yang menyangkut seluruh aspek kehidupan
Yahudi, mulai aspek sosial, ekonomi, politik, maupun budaya. Kondisi bangsa
Yahudi dilukiskan secara nyata oleh keberadaan bangunan ini. Oleh sebab itu,
hancurnya gedung Bait Allah juga menyatakan hancurnya Yahudi sebagai bangsa dan
negara.
Dan sungguh mengejutkan bila mengenai Bait Allah ini Tuhan Yesus
justru berkata: “akan datang harinya di mana tidak ada satu batu pun akan
dibiarkan terletak di atas batu yang lain” (ay. 6). Ini memang merupakan
nubuatan yang secara harfiah benar-benar terjadi pada th 70, dimana pasukan
Romawi di bawah pimpinan Jenderal Titus membumi-hanguskan Yerusalem, termasuk
Bait Allah. Namun, sesungguhnya kehancuran Bait Allah yang dimaksudkan Yesus menunjuk
pada konsep mengenai akhir zaman. Memang, kebetulan secara fisik
Bait Allah benar-benar runtuh pada th 70, tetapi bukan itu maksud perkataan
Tuhan di ay. 6 ini. Sebab, di bagian ini Tuhan Yesus sesungguhnya ingin
memaparkan suatu pemahaman eskatologis, bahwa: hancurnya Bait Allah adalah
simbol yang menunjuk pada hancurnya kedekatan hubungan antara manusia dengan
Allahnya. Zaman yang penuh cobaan ini, ditandai dengan: penyesatan
(ay. 8); peperangan dan pemberontakan (9-10); gempa bumi, penyakit, kelaparan,
teror, dan tanda-tanda surgawi yang besar yang akan mendahului Kedatangan Kedua
Kali (ay. 11). Secara rinci tanda-tanda
surgawi ini disebut dalam Kitab Wahyu ps. 6-18. Namun hal-hal itu belumlah
seberapa, sebab yang paling berpengaruh adalah bahwa: pada zaman ini kehidupan
orang beriman akan mengalami ujian yang berat. Berbagai ujian yang akan dialami
orang beriman itu dipaparkan Lukas dalam ay. 12, di antaranya: mereka akan
dimusuhi di sinagog-sinagog (bnd. Mat. 10:17; Mrk 13:9), ditangkap, dianiaya,
dipenjara, dan dihadapkan kepada para penguasa bangsa lain untuk diadili (bnd.
Mat 10:18; Mrk 13:9). Semua itu terjadi oleh karena “nama-Ku” –– yakni karena
iman mereka kepada Yesus. Di samping itu, di ay. 16-17, mereka juga akan
mengalami pengkhianatan dari kerabat dekat dan teman-teman (bdk. Mrk 13:12).
Akan tetapi ujian yang
dihadapi oleh orang beriman itu justru merupakan kesempatan bagi mereka untuk
dapat “bersaksi” (ay. 13).
Dan dalam melakukan “kesaksian”-nya ini mereka tidak perlu khawatir tentang apa
yang harus mereka katakan, melainkan hanya bergantung pada janji Yesus yang
akan membantu mereka berkata-kata (bdk. Kel. 4:11, 15; Yeh. 29:21) dan
kebijaksanaan yang akan mereka butuhkan saat itu (bdk. 12:11-12; Mat. 10:19-20,
Mrk 13:11). Ini semua akan mereka terima melalui karya Roh
Kudus kepada mereka (Mrk 13:11). Mereka akan menemukan bahwa kesaksian mereka
akan menjadi sangat kuat. Ini semua akhirnya memang benar-benar terjadi dalam
kehidupan gereja mula-mula (mis., Kis 4:14; 6:10; 8:3; 12:4; 21:11; 22:4, 27:1,
28:17) dan di sepanjang sejarah gereja. Dalam hal ini, Yesus berjanji bahwa Dia
akan selalu menjaga mereka agar tetap aman (ay. 18). Ini mungkin berarti bahwa
tidak ada bahaya yang akan menimpa mereka tanpa seizin Bapa (ay 16; bnd. Kis 27:34).
Beberapa penafsir percaya bahwa hal ini hanyalah mengacu pada keselamatan
rohani, tetapi tidak terhadap keselamatan jasmani.
Hal terpenting di sini (ay. 19) adalah
bahwa: dengan ketekunan dalam karya, saat mereka dianiaya, hal itu
justru akan melestarikan kehidupan mereka (Yun. ktesesthe tas
psychas hymon). Artinya, mereka tidak akan mati sebelum dikehendaki
Tuhan (ay 18). Beberapa penafsir percaya bahwa ayat ini bertujuan menyatakan
bahwa mereka yang bertahan sampai akhir akan mengalami keselamatan (bnd. Mat
24:13, Mrk 13:13). Mereka yang tetap setia sampai akhir dari masa Kesengsaraan
akan masuk ke dalam kerajaan tanpa kematian (bnd. Mat 24:13, Mrk 13:13). Ini
berarti bahwa ketekunan dalam karya akan
mendatangkan ganjaran kekal (lih. ay. 36; Why 2:10).
Aplikasi
Di kalangan orang Kristen, ada yang
beranggapan bahwa pelayanan adalah sesuatu yang
dilakukan secara sukarela. Namun, “sukarela” ini kadang dimaknai sebagai
‘sesukanya’ atau se-‘rela’-nya sehingga membuat kualitas pelayanan itu sendiri
menjadi berkurang, tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh (kalau sempat),
bahkan tidak perlu membutuhkan keterampilan khusus. Definisi pelayanan yang
seperti ini seringkali dibedakan dengan definisi mengenai pekerjaan,
yakni: sesuatu yang dilakukan, semestinya secara profesional (kemampuan khusus
yang dibayar), untuk mencari nafkah, atau mendapatkan suatu hasil. Kalangan
seperti ini menganggap bahwa bekerja berbeda dengan melayani,
sebab melayani bisa dilakukan oleh siapa saja, termasuk jenis kegiatan yang dapat
dilakukan secara serabutan, dan tidak berorientasi pada hasil melainkan pada
ketekunan.
Sepintas, idea semacam ini pada kenyataannya memang ada
benarnya, bahkan seperti inilah yang berlaku secara umum di banyak gereja. Maka
tak mengherankan jika berbagai bentuk pelayanan gerejawi, dalam komisi apapun,
seringkali terkesan asal-asalan, kurang berkualitas, bahkan yang penting ada
kemauan. Sebagai contoh: jika paduan suara gerejawi, dari tahun ke tahun
menyanyikan lagu yang itu-itu saja, jumlah anggotanya tidak pernah pasti,
jadual latihan tidak menentu, bahkan tanpa latihan pun bisa tampil; hal itu
dianggap biasa/wajar dalam pelayanan. “Namanya juga pelayanan, sudah baik masih
mau tampil”.
Memang, pelayanan yang dilakukan seperti
itu tidak salah, sebab Bunda Teresa pun pernah menyatakan bahwa:
“Tuhan tidak pernah menuntut kita untuk Sukses, Dia hanya mengharuskan kita
Berusaha”. Namun sesungguhnya, pelayanan yang dilakukan seperti itu dapat
dianggap sebagai pelayanan yang kurang baik. Oleh sebab
itu sebaiknya kita perlu kembali belajar kepada Perjanjian
Baru mengenai makna pelayanan yang baik :
Kata yang dipakai dalam Perjanjian Baru untuk
menunjuk pada “pelayanan” adalah: diakoneo, douleo, leitourgeo, dan latreuo.
Makna tiap kata itu tidak sama. Diakoneo: melayani orang yang lebih rendah dari
dirinya; Douleo: menghamba, melayani orang yang lebih tinggi dari dirinya;
Leitourgeo: kerja bakti untuk kepentingan orang banyak; sedangkan Latreuo:
bekerja untuk mendapatkan latron (upah, gaji, kualitas). Dari ke-4
kata yang biasa dipakai oleh Perjanjian Baru itu, maka dapatlah ditarik
kesimpulan bahwa:pelayanan adalah aktifitas yang dilakukan, baik untuk
kepentingan sesama maupun untuk kemuliaan Allah, menuju suatu pencapaian yang
baik (berkualitas), sehingga harus dilakukan secara profesional (dengan
kemampuan dan minat).
-------
Oleh sebab itu jugalah, maka seluruh bagian
Alkitab yang sedang kita perbincangkan saat ini sesungguhnya menekankan
bahwa: pelayanan itu tak lain adalah ‘karya’ atau ‘kerja’.
Sebab ketika ‘kerja’ itu merupakan sebuah upaya “menghidupi diri sendiri” (lih.
II Tes. 3:10), maka
demikian juga ‘pelayanan’, yakni “menghidupi imannya sendiri”. Oleh karena itu,
maka ‘pelayanan’ pun perlu dilakukan dengan ketekunan, sebab
seperti halnya manusia hidup butuh makan, kehidupan iman pun butuh makanan yang
dihasilkan dari buah-buah pelayanan (agar tetap memperoleh hidup, lih. Lukas
21:19). Dan jika pelayanan yang dilakukan itu bukanlah sebuah
karya yang profesional, berkualitas, dan tanpa minat, maka tentu buah-buah yang
dihasilkannya pun tidak akan mengenyangkan kehidupan beriman. Oleh sebab itu,
maka kinerja dalam pelayanan itu haruslah sebuah upaya yang profesional,
berkualitas, serta penuh tekad dan minat.
Apa yang sedang
diwacanakan ini bukanlah bermaksud untuk membedakan, bahwa: pekerjaan itu
hanyalah aktifitas yang menyangkut kehidupan profan (duniawi), sedangkan
pelayanan itu menyangkut kehidupan iman (sorgawi). Sebab sesungguhnya keduanya,
baik pekerjaan maupun pelayanan itu adalah aktifitas yang menyangkut kehidupan
profan (duniawi) sekaligus kehidupan iman (sorgawi). Zaman Kerajaan 1000 tahun
(zaman akhir) yang sedang terjadi dan kita alami saat ini pada hakekatnya
adalah kehidupan duniawi di bawah pemerintahan (kendali) Sang Kristus, sehingga
kerja/pelayanan umatNya pun berkenaan dengan seluruh kepentingan, baik sorgawi
maupun duniawi. Pelayanan/kerja bagi kepentingan sesama, kepentingan diri
sendiri dan bagi kemuliaan Tuhan, semuanya haruslah dilakukan sesuai kehendak
Kristus, dan tidak perlu dipertentangkan antara satu dengan yang lain: mana
yang sorgawi atau mana yang duniawi. Dengan demikian, maka:
§
Mereka yang menjadi Guru, baiklah mereka
mendidik dengan ketekunan dan kinerja yang gigih bagi kebaikan para muridnya
sekaligus demi kemuliaan Sang Kristus.
§
Mereka yang menjadi pegawai negeri, baiklah
mereka mengabdi dengan ketekunan dan kinerja yang gigih bagi kebaikan
masyarakat sekaligus demi kemuliaan Sang Kristus.
§
Mereka yang menjadi dokter, baiklah mereka
mengobati dengan ketekunan dan kinerja yang gigih bagi kebaikan lingkungannya
sekaligus demi kemuliaan Sang Kristus.
Medan
17 November 2013
Pdt.
T.M. Karo-karo, STh,MA
Khotbah Minggu 17
November 2013
GMI Kasih Karunia,
Medan
Nats Alkitab : Lukas
21: 5-19
Bersama Injil Markus (13:1), di bagian ini pun
Lukas menggambarkan bahwa bangunan Bait Allah bukanlah sekedar bangunan yang
menjadi obyek wisata yang sangat terkenal, karena merupakan bangunan yang
sangat besar/megah, sangat indah (super-estetik), dan sangat kokoh/kuat dengan
dindingnya yang sangat tebal, namun juga merupakan bangunan yang menjadi simbol
negara dan simbol kedekatan hubungan antara umat Yahudi dengan Allah.
Bangunan ini adalah simbol Yudaisme –– yang menyangkut seluruh aspek kehidupan
Yahudi, mulai aspek sosial, ekonomi, politik, maupun budaya. Kondisi bangsa
Yahudi dilukiskan secara nyata oleh keberadaan bangunan ini. Oleh sebab itu,
hancurnya gedung Bait Allah juga menyatakan hancurnya Yahudi sebagai bangsa dan
negara.
Dan sungguh mengejutkan bila mengenai Bait Allah ini Tuhan Yesus
justru berkata: “akan datang harinya di mana tidak ada satu batu pun akan
dibiarkan terletak di atas batu yang lain” (ay. 6). Ini memang merupakan
nubuatan yang secara harfiah benar-benar terjadi pada th 70, dimana pasukan
Romawi di bawah pimpinan Jenderal Titus membumi-hanguskan Yerusalem, termasuk
Bait Allah. Namun, sesungguhnya kehancuran Bait Allah yang dimaksudkan Yesus menunjuk
pada konsep mengenai akhir zaman. Memang, kebetulan secara fisik
Bait Allah benar-benar runtuh pada th 70, tetapi bukan itu maksud perkataan
Tuhan di ay. 6 ini. Sebab, di bagian ini Tuhan Yesus sesungguhnya ingin
memaparkan suatu pemahaman eskatologis, bahwa: hancurnya Bait Allah adalah
simbol yang menunjuk pada hancurnya kedekatan hubungan antara manusia dengan
Allahnya. Zaman yang penuh cobaan ini, ditandai dengan: penyesatan
(ay. 8); peperangan dan pemberontakan (9-10); gempa bumi, penyakit, kelaparan,
teror, dan tanda-tanda surgawi yang besar yang akan mendahului Kedatangan Kedua
Kali (ay. 11). Secara rinci tanda-tanda
surgawi ini disebut dalam Kitab Wahyu ps. 6-18. Namun hal-hal itu belumlah
seberapa, sebab yang paling berpengaruh adalah bahwa: pada zaman ini kehidupan
orang beriman akan mengalami ujian yang berat. Berbagai ujian yang akan dialami
orang beriman itu dipaparkan Lukas dalam ay. 12, di antaranya: mereka akan
dimusuhi di sinagog-sinagog (bnd. Mat. 10:17; Mrk 13:9), ditangkap, dianiaya,
dipenjara, dan dihadapkan kepada para penguasa bangsa lain untuk diadili (bnd.
Mat 10:18; Mrk 13:9). Semua itu terjadi oleh karena “nama-Ku” –– yakni karena
iman mereka kepada Yesus. Di samping itu, di ay. 16-17, mereka juga akan
mengalami pengkhianatan dari kerabat dekat dan teman-teman (bdk. Mrk 13:12).
Akan tetapi ujian yang
dihadapi oleh orang beriman itu justru merupakan kesempatan bagi mereka untuk
dapat “bersaksi” (ay. 13).
Dan dalam melakukan “kesaksian”-nya ini mereka tidak perlu khawatir tentang apa
yang harus mereka katakan, melainkan hanya bergantung pada janji Yesus yang
akan membantu mereka berkata-kata (bdk. Kel. 4:11, 15; Yeh. 29:21) dan
kebijaksanaan yang akan mereka butuhkan saat itu (bdk. 12:11-12; Mat. 10:19-20,
Mrk 13:11). Ini semua akan mereka terima melalui karya Roh
Kudus kepada mereka (Mrk 13:11). Mereka akan menemukan bahwa kesaksian mereka
akan menjadi sangat kuat. Ini semua akhirnya memang benar-benar terjadi dalam
kehidupan gereja mula-mula (mis., Kis 4:14; 6:10; 8:3; 12:4; 21:11; 22:4, 27:1,
28:17) dan di sepanjang sejarah gereja. Dalam hal ini, Yesus berjanji bahwa Dia
akan selalu menjaga mereka agar tetap aman (ay. 18). Ini mungkin berarti bahwa
tidak ada bahaya yang akan menimpa mereka tanpa seizin Bapa (ay 16; bnd. Kis 27:34).
Beberapa penafsir percaya bahwa hal ini hanyalah mengacu pada keselamatan
rohani, tetapi tidak terhadap keselamatan jasmani.
Hal terpenting di sini (ay. 19) adalah
bahwa: dengan ketekunan dalam karya, saat mereka dianiaya, hal itu
justru akan melestarikan kehidupan mereka (Yun. ktesesthe tas
psychas hymon). Artinya, mereka tidak akan mati sebelum dikehendaki
Tuhan (ay 18). Beberapa penafsir percaya bahwa ayat ini bertujuan menyatakan
bahwa mereka yang bertahan sampai akhir akan mengalami keselamatan (bnd. Mat
24:13, Mrk 13:13). Mereka yang tetap setia sampai akhir dari masa Kesengsaraan
akan masuk ke dalam kerajaan tanpa kematian (bnd. Mat 24:13, Mrk 13:13). Ini
berarti bahwa ketekunan dalam karya akan
mendatangkan ganjaran kekal (lih. ay. 36; Why 2:10).
Aplikasi
Di kalangan orang Kristen, ada yang
beranggapan bahwa pelayanan adalah sesuatu yang
dilakukan secara sukarela. Namun, “sukarela” ini kadang dimaknai sebagai
‘sesukanya’ atau se-‘rela’-nya sehingga membuat kualitas pelayanan itu sendiri
menjadi berkurang, tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh (kalau sempat),
bahkan tidak perlu membutuhkan keterampilan khusus. Definisi pelayanan yang
seperti ini seringkali dibedakan dengan definisi mengenai pekerjaan,
yakni: sesuatu yang dilakukan, semestinya secara profesional (kemampuan khusus
yang dibayar), untuk mencari nafkah, atau mendapatkan suatu hasil. Kalangan
seperti ini menganggap bahwa bekerja berbeda dengan melayani,
sebab melayani bisa dilakukan oleh siapa saja, termasuk jenis kegiatan yang dapat
dilakukan secara serabutan, dan tidak berorientasi pada hasil melainkan pada
ketekunan.
Sepintas, idea semacam ini pada kenyataannya memang ada
benarnya, bahkan seperti inilah yang berlaku secara umum di banyak gereja. Maka
tak mengherankan jika berbagai bentuk pelayanan gerejawi, dalam komisi apapun,
seringkali terkesan asal-asalan, kurang berkualitas, bahkan yang penting ada
kemauan. Sebagai contoh: jika paduan suara gerejawi, dari tahun ke tahun
menyanyikan lagu yang itu-itu saja, jumlah anggotanya tidak pernah pasti,
jadual latihan tidak menentu, bahkan tanpa latihan pun bisa tampil; hal itu
dianggap biasa/wajar dalam pelayanan. “Namanya juga pelayanan, sudah baik masih
mau tampil”.
Memang, pelayanan yang dilakukan seperti
itu tidak salah, sebab Bunda Teresa pun pernah menyatakan bahwa:
“Tuhan tidak pernah menuntut kita untuk Sukses, Dia hanya mengharuskan kita
Berusaha”. Namun sesungguhnya, pelayanan yang dilakukan seperti itu dapat
dianggap sebagai pelayanan yang kurang baik. Oleh sebab
itu sebaiknya kita perlu kembali belajar kepada Perjanjian
Baru mengenai makna pelayanan yang baik :
Kata yang dipakai dalam Perjanjian Baru untuk
menunjuk pada “pelayanan” adalah: diakoneo, douleo, leitourgeo, dan latreuo.
Makna tiap kata itu tidak sama. Diakoneo: melayani orang yang lebih rendah dari
dirinya; Douleo: menghamba, melayani orang yang lebih tinggi dari dirinya;
Leitourgeo: kerja bakti untuk kepentingan orang banyak; sedangkan Latreuo:
bekerja untuk mendapatkan latron (upah, gaji, kualitas). Dari ke-4
kata yang biasa dipakai oleh Perjanjian Baru itu, maka dapatlah ditarik
kesimpulan bahwa:pelayanan adalah aktifitas yang dilakukan, baik untuk
kepentingan sesama maupun untuk kemuliaan Allah, menuju suatu pencapaian yang
baik (berkualitas), sehingga harus dilakukan secara profesional (dengan
kemampuan dan minat).
-------
Oleh sebab itu jugalah, maka seluruh bagian
Alkitab yang sedang kita perbincangkan saat ini sesungguhnya menekankan
bahwa: pelayanan itu tak lain adalah ‘karya’ atau ‘kerja’.
Sebab ketika ‘kerja’ itu merupakan sebuah upaya “menghidupi diri sendiri” (lih.
II Tes. 3:10), maka
demikian juga ‘pelayanan’, yakni “menghidupi imannya sendiri”. Oleh karena itu,
maka ‘pelayanan’ pun perlu dilakukan dengan ketekunan, sebab
seperti halnya manusia hidup butuh makan, kehidupan iman pun butuh makanan yang
dihasilkan dari buah-buah pelayanan (agar tetap memperoleh hidup, lih. Lukas
21:19). Dan jika pelayanan yang dilakukan itu bukanlah sebuah
karya yang profesional, berkualitas, dan tanpa minat, maka tentu buah-buah yang
dihasilkannya pun tidak akan mengenyangkan kehidupan beriman. Oleh sebab itu,
maka kinerja dalam pelayanan itu haruslah sebuah upaya yang profesional,
berkualitas, serta penuh tekad dan minat.
Apa yang sedang
diwacanakan ini bukanlah bermaksud untuk membedakan, bahwa: pekerjaan itu
hanyalah aktifitas yang menyangkut kehidupan profan (duniawi), sedangkan
pelayanan itu menyangkut kehidupan iman (sorgawi). Sebab sesungguhnya keduanya,
baik pekerjaan maupun pelayanan itu adalah aktifitas yang menyangkut kehidupan
profan (duniawi) sekaligus kehidupan iman (sorgawi). Zaman Kerajaan 1000 tahun
(zaman akhir) yang sedang terjadi dan kita alami saat ini pada hakekatnya
adalah kehidupan duniawi di bawah pemerintahan (kendali) Sang Kristus, sehingga
kerja/pelayanan umatNya pun berkenaan dengan seluruh kepentingan, baik sorgawi
maupun duniawi. Pelayanan/kerja bagi kepentingan sesama, kepentingan diri
sendiri dan bagi kemuliaan Tuhan, semuanya haruslah dilakukan sesuai kehendak
Kristus, dan tidak perlu dipertentangkan antara satu dengan yang lain: mana
yang sorgawi atau mana yang duniawi. Dengan demikian, maka:
§
Mereka yang menjadi Guru, baiklah mereka
mendidik dengan ketekunan dan kinerja yang gigih bagi kebaikan para muridnya
sekaligus demi kemuliaan Sang Kristus.
§
Mereka yang menjadi pegawai negeri, baiklah
mereka mengabdi dengan ketekunan dan kinerja yang gigih bagi kebaikan
masyarakat sekaligus demi kemuliaan Sang Kristus.
§
Mereka yang menjadi dokter, baiklah mereka
mengobati dengan ketekunan dan kinerja yang gigih bagi kebaikan lingkungannya
sekaligus demi kemuliaan Sang Kristus.
Medan
17 November 2013
Pdt.
T.M. Karo-karo, STh,MA
Khotbah Minggu 17
November 2013
GMI Kasih Karunia,
Medan
Nats Alkitab : Lukas
21: 5-19
Bersama Injil Markus (13:1), di bagian ini pun
Lukas menggambarkan bahwa bangunan Bait Allah bukanlah sekedar bangunan yang
menjadi obyek wisata yang sangat terkenal, karena merupakan bangunan yang
sangat besar/megah, sangat indah (super-estetik), dan sangat kokoh/kuat dengan
dindingnya yang sangat tebal, namun juga merupakan bangunan yang menjadi simbol
negara dan simbol kedekatan hubungan antara umat Yahudi dengan Allah.
Bangunan ini adalah simbol Yudaisme –– yang menyangkut seluruh aspek kehidupan
Yahudi, mulai aspek sosial, ekonomi, politik, maupun budaya. Kondisi bangsa
Yahudi dilukiskan secara nyata oleh keberadaan bangunan ini. Oleh sebab itu,
hancurnya gedung Bait Allah juga menyatakan hancurnya Yahudi sebagai bangsa dan
negara.
Dan sungguh mengejutkan bila mengenai Bait Allah ini Tuhan Yesus
justru berkata: “akan datang harinya di mana tidak ada satu batu pun akan
dibiarkan terletak di atas batu yang lain” (ay. 6). Ini memang merupakan
nubuatan yang secara harfiah benar-benar terjadi pada th 70, dimana pasukan
Romawi di bawah pimpinan Jenderal Titus membumi-hanguskan Yerusalem, termasuk
Bait Allah. Namun, sesungguhnya kehancuran Bait Allah yang dimaksudkan Yesus menunjuk
pada konsep mengenai akhir zaman. Memang, kebetulan secara fisik
Bait Allah benar-benar runtuh pada th 70, tetapi bukan itu maksud perkataan
Tuhan di ay. 6 ini. Sebab, di bagian ini Tuhan Yesus sesungguhnya ingin
memaparkan suatu pemahaman eskatologis, bahwa: hancurnya Bait Allah adalah
simbol yang menunjuk pada hancurnya kedekatan hubungan antara manusia dengan
Allahnya. Zaman yang penuh cobaan ini, ditandai dengan: penyesatan
(ay. 8); peperangan dan pemberontakan (9-10); gempa bumi, penyakit, kelaparan,
teror, dan tanda-tanda surgawi yang besar yang akan mendahului Kedatangan Kedua
Kali (ay. 11). Secara rinci tanda-tanda
surgawi ini disebut dalam Kitab Wahyu ps. 6-18. Namun hal-hal itu belumlah
seberapa, sebab yang paling berpengaruh adalah bahwa: pada zaman ini kehidupan
orang beriman akan mengalami ujian yang berat. Berbagai ujian yang akan dialami
orang beriman itu dipaparkan Lukas dalam ay. 12, di antaranya: mereka akan
dimusuhi di sinagog-sinagog (bnd. Mat. 10:17; Mrk 13:9), ditangkap, dianiaya,
dipenjara, dan dihadapkan kepada para penguasa bangsa lain untuk diadili (bnd.
Mat 10:18; Mrk 13:9). Semua itu terjadi oleh karena “nama-Ku” –– yakni karena
iman mereka kepada Yesus. Di samping itu, di ay. 16-17, mereka juga akan
mengalami pengkhianatan dari kerabat dekat dan teman-teman (bdk. Mrk 13:12).
Akan tetapi ujian yang
dihadapi oleh orang beriman itu justru merupakan kesempatan bagi mereka untuk
dapat “bersaksi” (ay. 13).
Dan dalam melakukan “kesaksian”-nya ini mereka tidak perlu khawatir tentang apa
yang harus mereka katakan, melainkan hanya bergantung pada janji Yesus yang
akan membantu mereka berkata-kata (bdk. Kel. 4:11, 15; Yeh. 29:21) dan
kebijaksanaan yang akan mereka butuhkan saat itu (bdk. 12:11-12; Mat. 10:19-20,
Mrk 13:11). Ini semua akan mereka terima melalui karya Roh
Kudus kepada mereka (Mrk 13:11). Mereka akan menemukan bahwa kesaksian mereka
akan menjadi sangat kuat. Ini semua akhirnya memang benar-benar terjadi dalam
kehidupan gereja mula-mula (mis., Kis 4:14; 6:10; 8:3; 12:4; 21:11; 22:4, 27:1,
28:17) dan di sepanjang sejarah gereja. Dalam hal ini, Yesus berjanji bahwa Dia
akan selalu menjaga mereka agar tetap aman (ay. 18). Ini mungkin berarti bahwa
tidak ada bahaya yang akan menimpa mereka tanpa seizin Bapa (ay 16; bnd. Kis 27:34).
Beberapa penafsir percaya bahwa hal ini hanyalah mengacu pada keselamatan
rohani, tetapi tidak terhadap keselamatan jasmani.
Hal terpenting di sini (ay. 19) adalah
bahwa: dengan ketekunan dalam karya, saat mereka dianiaya, hal itu
justru akan melestarikan kehidupan mereka (Yun. ktesesthe tas
psychas hymon). Artinya, mereka tidak akan mati sebelum dikehendaki
Tuhan (ay 18). Beberapa penafsir percaya bahwa ayat ini bertujuan menyatakan
bahwa mereka yang bertahan sampai akhir akan mengalami keselamatan (bnd. Mat
24:13, Mrk 13:13). Mereka yang tetap setia sampai akhir dari masa Kesengsaraan
akan masuk ke dalam kerajaan tanpa kematian (bnd. Mat 24:13, Mrk 13:13). Ini
berarti bahwa ketekunan dalam karya akan
mendatangkan ganjaran kekal (lih. ay. 36; Why 2:10).
Aplikasi
Di kalangan orang Kristen, ada yang
beranggapan bahwa pelayanan adalah sesuatu yang
dilakukan secara sukarela. Namun, “sukarela” ini kadang dimaknai sebagai
‘sesukanya’ atau se-‘rela’-nya sehingga membuat kualitas pelayanan itu sendiri
menjadi berkurang, tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh (kalau sempat),
bahkan tidak perlu membutuhkan keterampilan khusus. Definisi pelayanan yang
seperti ini seringkali dibedakan dengan definisi mengenai pekerjaan,
yakni: sesuatu yang dilakukan, semestinya secara profesional (kemampuan khusus
yang dibayar), untuk mencari nafkah, atau mendapatkan suatu hasil. Kalangan
seperti ini menganggap bahwa bekerja berbeda dengan melayani,
sebab melayani bisa dilakukan oleh siapa saja, termasuk jenis kegiatan yang dapat
dilakukan secara serabutan, dan tidak berorientasi pada hasil melainkan pada
ketekunan.
Sepintas, idea semacam ini pada kenyataannya memang ada
benarnya, bahkan seperti inilah yang berlaku secara umum di banyak gereja. Maka
tak mengherankan jika berbagai bentuk pelayanan gerejawi, dalam komisi apapun,
seringkali terkesan asal-asalan, kurang berkualitas, bahkan yang penting ada
kemauan. Sebagai contoh: jika paduan suara gerejawi, dari tahun ke tahun
menyanyikan lagu yang itu-itu saja, jumlah anggotanya tidak pernah pasti,
jadual latihan tidak menentu, bahkan tanpa latihan pun bisa tampil; hal itu
dianggap biasa/wajar dalam pelayanan. “Namanya juga pelayanan, sudah baik masih
mau tampil”.
Memang, pelayanan yang dilakukan seperti
itu tidak salah, sebab Bunda Teresa pun pernah menyatakan bahwa:
“Tuhan tidak pernah menuntut kita untuk Sukses, Dia hanya mengharuskan kita
Berusaha”. Namun sesungguhnya, pelayanan yang dilakukan seperti itu dapat
dianggap sebagai pelayanan yang kurang baik. Oleh sebab
itu sebaiknya kita perlu kembali belajar kepada Perjanjian
Baru mengenai makna pelayanan yang baik :
Kata yang dipakai dalam Perjanjian Baru untuk
menunjuk pada “pelayanan” adalah: diakoneo, douleo, leitourgeo, dan latreuo.
Makna tiap kata itu tidak sama. Diakoneo: melayani orang yang lebih rendah dari
dirinya; Douleo: menghamba, melayani orang yang lebih tinggi dari dirinya;
Leitourgeo: kerja bakti untuk kepentingan orang banyak; sedangkan Latreuo:
bekerja untuk mendapatkan latron (upah, gaji, kualitas). Dari ke-4
kata yang biasa dipakai oleh Perjanjian Baru itu, maka dapatlah ditarik
kesimpulan bahwa:pelayanan adalah aktifitas yang dilakukan, baik untuk
kepentingan sesama maupun untuk kemuliaan Allah, menuju suatu pencapaian yang
baik (berkualitas), sehingga harus dilakukan secara profesional (dengan
kemampuan dan minat).
-------
Oleh sebab itu jugalah, maka seluruh bagian
Alkitab yang sedang kita perbincangkan saat ini sesungguhnya menekankan
bahwa: pelayanan itu tak lain adalah ‘karya’ atau ‘kerja’.
Sebab ketika ‘kerja’ itu merupakan sebuah upaya “menghidupi diri sendiri” (lih.
II Tes. 3:10), maka
demikian juga ‘pelayanan’, yakni “menghidupi imannya sendiri”. Oleh karena itu,
maka ‘pelayanan’ pun perlu dilakukan dengan ketekunan, sebab
seperti halnya manusia hidup butuh makan, kehidupan iman pun butuh makanan yang
dihasilkan dari buah-buah pelayanan (agar tetap memperoleh hidup, lih. Lukas
21:19). Dan jika pelayanan yang dilakukan itu bukanlah sebuah
karya yang profesional, berkualitas, dan tanpa minat, maka tentu buah-buah yang
dihasilkannya pun tidak akan mengenyangkan kehidupan beriman. Oleh sebab itu,
maka kinerja dalam pelayanan itu haruslah sebuah upaya yang profesional,
berkualitas, serta penuh tekad dan minat.
Apa yang sedang
diwacanakan ini bukanlah bermaksud untuk membedakan, bahwa: pekerjaan itu
hanyalah aktifitas yang menyangkut kehidupan profan (duniawi), sedangkan
pelayanan itu menyangkut kehidupan iman (sorgawi). Sebab sesungguhnya keduanya,
baik pekerjaan maupun pelayanan itu adalah aktifitas yang menyangkut kehidupan
profan (duniawi) sekaligus kehidupan iman (sorgawi). Zaman Kerajaan 1000 tahun
(zaman akhir) yang sedang terjadi dan kita alami saat ini pada hakekatnya
adalah kehidupan duniawi di bawah pemerintahan (kendali) Sang Kristus, sehingga
kerja/pelayanan umatNya pun berkenaan dengan seluruh kepentingan, baik sorgawi
maupun duniawi. Pelayanan/kerja bagi kepentingan sesama, kepentingan diri
sendiri dan bagi kemuliaan Tuhan, semuanya haruslah dilakukan sesuai kehendak
Kristus, dan tidak perlu dipertentangkan antara satu dengan yang lain: mana
yang sorgawi atau mana yang duniawi. Dengan demikian, maka:
§
Mereka yang menjadi Guru, baiklah mereka
mendidik dengan ketekunan dan kinerja yang gigih bagi kebaikan para muridnya
sekaligus demi kemuliaan Sang Kristus.
§
Mereka yang menjadi pegawai negeri, baiklah
mereka mengabdi dengan ketekunan dan kinerja yang gigih bagi kebaikan
masyarakat sekaligus demi kemuliaan Sang Kristus.
§
Mereka yang menjadi dokter, baiklah mereka
mengobati dengan ketekunan dan kinerja yang gigih bagi kebaikan lingkungannya
sekaligus demi kemuliaan Sang Kristus.
Medan
17 November 2013
Pdt.
T.M. Karo-karo, STh,MA
Khotbah Minggu 17
November 2013
GMI Kasih Karunia,
Medan
Nats Alkitab : Lukas
21: 5-19
Bersama Injil Markus (13:1), di bagian ini pun
Lukas menggambarkan bahwa bangunan Bait Allah bukanlah sekedar bangunan yang
menjadi obyek wisata yang sangat terkenal, karena merupakan bangunan yang
sangat besar/megah, sangat indah (super-estetik), dan sangat kokoh/kuat dengan
dindingnya yang sangat tebal, namun juga merupakan bangunan yang menjadi simbol
negara dan simbol kedekatan hubungan antara umat Yahudi dengan Allah.
Bangunan ini adalah simbol Yudaisme –– yang menyangkut seluruh aspek kehidupan
Yahudi, mulai aspek sosial, ekonomi, politik, maupun budaya. Kondisi bangsa
Yahudi dilukiskan secara nyata oleh keberadaan bangunan ini. Oleh sebab itu,
hancurnya gedung Bait Allah juga menyatakan hancurnya Yahudi sebagai bangsa dan
negara.
Dan sungguh mengejutkan bila mengenai Bait Allah ini Tuhan Yesus
justru berkata: “akan datang harinya di mana tidak ada satu batu pun akan
dibiarkan terletak di atas batu yang lain” (ay. 6). Ini memang merupakan
nubuatan yang secara harfiah benar-benar terjadi pada th 70, dimana pasukan
Romawi di bawah pimpinan Jenderal Titus membumi-hanguskan Yerusalem, termasuk
Bait Allah. Namun, sesungguhnya kehancuran Bait Allah yang dimaksudkan Yesus menunjuk
pada konsep mengenai akhir zaman. Memang, kebetulan secara fisik
Bait Allah benar-benar runtuh pada th 70, tetapi bukan itu maksud perkataan
Tuhan di ay. 6 ini. Sebab, di bagian ini Tuhan Yesus sesungguhnya ingin
memaparkan suatu pemahaman eskatologis, bahwa: hancurnya Bait Allah adalah
simbol yang menunjuk pada hancurnya kedekatan hubungan antara manusia dengan
Allahnya. Zaman yang penuh cobaan ini, ditandai dengan: penyesatan
(ay. 8); peperangan dan pemberontakan (9-10); gempa bumi, penyakit, kelaparan,
teror, dan tanda-tanda surgawi yang besar yang akan mendahului Kedatangan Kedua
Kali (ay. 11). Secara rinci tanda-tanda
surgawi ini disebut dalam Kitab Wahyu ps. 6-18. Namun hal-hal itu belumlah
seberapa, sebab yang paling berpengaruh adalah bahwa: pada zaman ini kehidupan
orang beriman akan mengalami ujian yang berat. Berbagai ujian yang akan dialami
orang beriman itu dipaparkan Lukas dalam ay. 12, di antaranya: mereka akan
dimusuhi di sinagog-sinagog (bnd. Mat. 10:17; Mrk 13:9), ditangkap, dianiaya,
dipenjara, dan dihadapkan kepada para penguasa bangsa lain untuk diadili (bnd.
Mat 10:18; Mrk 13:9). Semua itu terjadi oleh karena “nama-Ku” –– yakni karena
iman mereka kepada Yesus. Di samping itu, di ay. 16-17, mereka juga akan
mengalami pengkhianatan dari kerabat dekat dan teman-teman (bdk. Mrk 13:12).
Akan tetapi ujian yang
dihadapi oleh orang beriman itu justru merupakan kesempatan bagi mereka untuk
dapat “bersaksi” (ay. 13).
Dan dalam melakukan “kesaksian”-nya ini mereka tidak perlu khawatir tentang apa
yang harus mereka katakan, melainkan hanya bergantung pada janji Yesus yang
akan membantu mereka berkata-kata (bdk. Kel. 4:11, 15; Yeh. 29:21) dan
kebijaksanaan yang akan mereka butuhkan saat itu (bdk. 12:11-12; Mat. 10:19-20,
Mrk 13:11). Ini semua akan mereka terima melalui karya Roh
Kudus kepada mereka (Mrk 13:11). Mereka akan menemukan bahwa kesaksian mereka
akan menjadi sangat kuat. Ini semua akhirnya memang benar-benar terjadi dalam
kehidupan gereja mula-mula (mis., Kis 4:14; 6:10; 8:3; 12:4; 21:11; 22:4, 27:1,
28:17) dan di sepanjang sejarah gereja. Dalam hal ini, Yesus berjanji bahwa Dia
akan selalu menjaga mereka agar tetap aman (ay. 18). Ini mungkin berarti bahwa
tidak ada bahaya yang akan menimpa mereka tanpa seizin Bapa (ay 16; bnd. Kis 27:34).
Beberapa penafsir percaya bahwa hal ini hanyalah mengacu pada keselamatan
rohani, tetapi tidak terhadap keselamatan jasmani.
Hal terpenting di sini (ay. 19) adalah
bahwa: dengan ketekunan dalam karya, saat mereka dianiaya, hal itu
justru akan melestarikan kehidupan mereka (Yun. ktesesthe tas
psychas hymon). Artinya, mereka tidak akan mati sebelum dikehendaki
Tuhan (ay 18). Beberapa penafsir percaya bahwa ayat ini bertujuan menyatakan
bahwa mereka yang bertahan sampai akhir akan mengalami keselamatan (bnd. Mat
24:13, Mrk 13:13). Mereka yang tetap setia sampai akhir dari masa Kesengsaraan
akan masuk ke dalam kerajaan tanpa kematian (bnd. Mat 24:13, Mrk 13:13). Ini
berarti bahwa ketekunan dalam karya akan
mendatangkan ganjaran kekal (lih. ay. 36; Why 2:10).
Aplikasi
Di kalangan orang Kristen, ada yang
beranggapan bahwa pelayanan adalah sesuatu yang
dilakukan secara sukarela. Namun, “sukarela” ini kadang dimaknai sebagai
‘sesukanya’ atau se-‘rela’-nya sehingga membuat kualitas pelayanan itu sendiri
menjadi berkurang, tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh (kalau sempat),
bahkan tidak perlu membutuhkan keterampilan khusus. Definisi pelayanan yang
seperti ini seringkali dibedakan dengan definisi mengenai pekerjaan,
yakni: sesuatu yang dilakukan, semestinya secara profesional (kemampuan khusus
yang dibayar), untuk mencari nafkah, atau mendapatkan suatu hasil. Kalangan
seperti ini menganggap bahwa bekerja berbeda dengan melayani,
sebab melayani bisa dilakukan oleh siapa saja, termasuk jenis kegiatan yang dapat
dilakukan secara serabutan, dan tidak berorientasi pada hasil melainkan pada
ketekunan.
Sepintas, idea semacam ini pada kenyataannya memang ada
benarnya, bahkan seperti inilah yang berlaku secara umum di banyak gereja. Maka
tak mengherankan jika berbagai bentuk pelayanan gerejawi, dalam komisi apapun,
seringkali terkesan asal-asalan, kurang berkualitas, bahkan yang penting ada
kemauan. Sebagai contoh: jika paduan suara gerejawi, dari tahun ke tahun
menyanyikan lagu yang itu-itu saja, jumlah anggotanya tidak pernah pasti,
jadual latihan tidak menentu, bahkan tanpa latihan pun bisa tampil; hal itu
dianggap biasa/wajar dalam pelayanan. “Namanya juga pelayanan, sudah baik masih
mau tampil”.
Memang, pelayanan yang dilakukan seperti
itu tidak salah, sebab Bunda Teresa pun pernah menyatakan bahwa:
“Tuhan tidak pernah menuntut kita untuk Sukses, Dia hanya mengharuskan kita
Berusaha”. Namun sesungguhnya, pelayanan yang dilakukan seperti itu dapat
dianggap sebagai pelayanan yang kurang baik. Oleh sebab
itu sebaiknya kita perlu kembali belajar kepada Perjanjian
Baru mengenai makna pelayanan yang baik :
Kata yang dipakai dalam Perjanjian Baru untuk
menunjuk pada “pelayanan” adalah: diakoneo, douleo, leitourgeo, dan latreuo.
Makna tiap kata itu tidak sama. Diakoneo: melayani orang yang lebih rendah dari
dirinya; Douleo: menghamba, melayani orang yang lebih tinggi dari dirinya;
Leitourgeo: kerja bakti untuk kepentingan orang banyak; sedangkan Latreuo:
bekerja untuk mendapatkan latron (upah, gaji, kualitas). Dari ke-4
kata yang biasa dipakai oleh Perjanjian Baru itu, maka dapatlah ditarik
kesimpulan bahwa:pelayanan adalah aktifitas yang dilakukan, baik untuk
kepentingan sesama maupun untuk kemuliaan Allah, menuju suatu pencapaian yang
baik (berkualitas), sehingga harus dilakukan secara profesional (dengan
kemampuan dan minat).
-------
Oleh sebab itu jugalah, maka seluruh bagian
Alkitab yang sedang kita perbincangkan saat ini sesungguhnya menekankan
bahwa: pelayanan itu tak lain adalah ‘karya’ atau ‘kerja’.
Sebab ketika ‘kerja’ itu merupakan sebuah upaya “menghidupi diri sendiri” (lih.
II Tes. 3:10), maka
demikian juga ‘pelayanan’, yakni “menghidupi imannya sendiri”. Oleh karena itu,
maka ‘pelayanan’ pun perlu dilakukan dengan ketekunan, sebab
seperti halnya manusia hidup butuh makan, kehidupan iman pun butuh makanan yang
dihasilkan dari buah-buah pelayanan (agar tetap memperoleh hidup, lih. Lukas
21:19). Dan jika pelayanan yang dilakukan itu bukanlah sebuah
karya yang profesional, berkualitas, dan tanpa minat, maka tentu buah-buah yang
dihasilkannya pun tidak akan mengenyangkan kehidupan beriman. Oleh sebab itu,
maka kinerja dalam pelayanan itu haruslah sebuah upaya yang profesional,
berkualitas, serta penuh tekad dan minat.
Apa yang sedang
diwacanakan ini bukanlah bermaksud untuk membedakan, bahwa: pekerjaan itu
hanyalah aktifitas yang menyangkut kehidupan profan (duniawi), sedangkan
pelayanan itu menyangkut kehidupan iman (sorgawi). Sebab sesungguhnya keduanya,
baik pekerjaan maupun pelayanan itu adalah aktifitas yang menyangkut kehidupan
profan (duniawi) sekaligus kehidupan iman (sorgawi). Zaman Kerajaan 1000 tahun
(zaman akhir) yang sedang terjadi dan kita alami saat ini pada hakekatnya
adalah kehidupan duniawi di bawah pemerintahan (kendali) Sang Kristus, sehingga
kerja/pelayanan umatNya pun berkenaan dengan seluruh kepentingan, baik sorgawi
maupun duniawi. Pelayanan/kerja bagi kepentingan sesama, kepentingan diri
sendiri dan bagi kemuliaan Tuhan, semuanya haruslah dilakukan sesuai kehendak
Kristus, dan tidak perlu dipertentangkan antara satu dengan yang lain: mana
yang sorgawi atau mana yang duniawi. Dengan demikian, maka:
§
Mereka yang menjadi Guru, baiklah mereka
mendidik dengan ketekunan dan kinerja yang gigih bagi kebaikan para muridnya
sekaligus demi kemuliaan Sang Kristus.
§
Mereka yang menjadi pegawai negeri, baiklah
mereka mengabdi dengan ketekunan dan kinerja yang gigih bagi kebaikan
masyarakat sekaligus demi kemuliaan Sang Kristus.
§
Mereka yang menjadi dokter, baiklah mereka
mengobati dengan ketekunan dan kinerja yang gigih bagi kebaikan lingkungannya
sekaligus demi kemuliaan Sang Kristus.
Medan
17 November 2013
Pdt.
T.M. Karo-karo, STh,MA
Khotbah Minggu 17
November 2013
GMI Kasih Karunia,
Medan
Nats Alkitab : Lukas
21: 5-19
Bersama Injil Markus (13:1), di bagian ini pun
Lukas menggambarkan bahwa bangunan Bait Allah bukanlah sekedar bangunan yang
menjadi obyek wisata yang sangat terkenal, karena merupakan bangunan yang
sangat besar/megah, sangat indah (super-estetik), dan sangat kokoh/kuat dengan
dindingnya yang sangat tebal, namun juga merupakan bangunan yang menjadi simbol
negara dan simbol kedekatan hubungan antara umat Yahudi dengan Allah.
Bangunan ini adalah simbol Yudaisme –– yang menyangkut seluruh aspek kehidupan
Yahudi, mulai aspek sosial, ekonomi, politik, maupun budaya. Kondisi bangsa
Yahudi dilukiskan secara nyata oleh keberadaan bangunan ini. Oleh sebab itu,
hancurnya gedung Bait Allah juga menyatakan hancurnya Yahudi sebagai bangsa dan
negara.
Dan sungguh mengejutkan bila mengenai Bait Allah ini Tuhan Yesus
justru berkata: “akan datang harinya di mana tidak ada satu batu pun akan
dibiarkan terletak di atas batu yang lain” (ay. 6). Ini memang merupakan
nubuatan yang secara harfiah benar-benar terjadi pada th 70, dimana pasukan
Romawi di bawah pimpinan Jenderal Titus membumi-hanguskan Yerusalem, termasuk
Bait Allah. Namun, sesungguhnya kehancuran Bait Allah yang dimaksudkan Yesus menunjuk
pada konsep mengenai akhir zaman. Memang, kebetulan secara fisik
Bait Allah benar-benar runtuh pada th 70, tetapi bukan itu maksud perkataan
Tuhan di ay. 6 ini. Sebab, di bagian ini Tuhan Yesus sesungguhnya ingin
memaparkan suatu pemahaman eskatologis, bahwa: hancurnya Bait Allah adalah
simbol yang menunjuk pada hancurnya kedekatan hubungan antara manusia dengan
Allahnya. Zaman yang penuh cobaan ini, ditandai dengan: penyesatan
(ay. 8); peperangan dan pemberontakan (9-10); gempa bumi, penyakit, kelaparan,
teror, dan tanda-tanda surgawi yang besar yang akan mendahului Kedatangan Kedua
Kali (ay. 11). Secara rinci tanda-tanda
surgawi ini disebut dalam Kitab Wahyu ps. 6-18. Namun hal-hal itu belumlah
seberapa, sebab yang paling berpengaruh adalah bahwa: pada zaman ini kehidupan
orang beriman akan mengalami ujian yang berat. Berbagai ujian yang akan dialami
orang beriman itu dipaparkan Lukas dalam ay. 12, di antaranya: mereka akan
dimusuhi di sinagog-sinagog (bnd. Mat. 10:17; Mrk 13:9), ditangkap, dianiaya,
dipenjara, dan dihadapkan kepada para penguasa bangsa lain untuk diadili (bnd.
Mat 10:18; Mrk 13:9). Semua itu terjadi oleh karena “nama-Ku” –– yakni karena
iman mereka kepada Yesus. Di samping itu, di ay. 16-17, mereka juga akan
mengalami pengkhianatan dari kerabat dekat dan teman-teman (bdk. Mrk 13:12).
Akan tetapi ujian yang
dihadapi oleh orang beriman itu justru merupakan kesempatan bagi mereka untuk
dapat “bersaksi” (ay. 13).
Dan dalam melakukan “kesaksian”-nya ini mereka tidak perlu khawatir tentang apa
yang harus mereka katakan, melainkan hanya bergantung pada janji Yesus yang
akan membantu mereka berkata-kata (bdk. Kel. 4:11, 15; Yeh. 29:21) dan
kebijaksanaan yang akan mereka butuhkan saat itu (bdk. 12:11-12; Mat. 10:19-20,
Mrk 13:11). Ini semua akan mereka terima melalui karya Roh
Kudus kepada mereka (Mrk 13:11). Mereka akan menemukan bahwa kesaksian mereka
akan menjadi sangat kuat. Ini semua akhirnya memang benar-benar terjadi dalam
kehidupan gereja mula-mula (mis., Kis 4:14; 6:10; 8:3; 12:4; 21:11; 22:4, 27:1,
28:17) dan di sepanjang sejarah gereja. Dalam hal ini, Yesus berjanji bahwa Dia
akan selalu menjaga mereka agar tetap aman (ay. 18). Ini mungkin berarti bahwa
tidak ada bahaya yang akan menimpa mereka tanpa seizin Bapa (ay 16; bnd. Kis 27:34).
Beberapa penafsir percaya bahwa hal ini hanyalah mengacu pada keselamatan
rohani, tetapi tidak terhadap keselamatan jasmani.
Hal terpenting di sini (ay. 19) adalah
bahwa: dengan ketekunan dalam karya, saat mereka dianiaya, hal itu
justru akan melestarikan kehidupan mereka (Yun. ktesesthe tas
psychas hymon). Artinya, mereka tidak akan mati sebelum dikehendaki
Tuhan (ay 18). Beberapa penafsir percaya bahwa ayat ini bertujuan menyatakan
bahwa mereka yang bertahan sampai akhir akan mengalami keselamatan (bnd. Mat
24:13, Mrk 13:13). Mereka yang tetap setia sampai akhir dari masa Kesengsaraan
akan masuk ke dalam kerajaan tanpa kematian (bnd. Mat 24:13, Mrk 13:13). Ini
berarti bahwa ketekunan dalam karya akan
mendatangkan ganjaran kekal (lih. ay. 36; Why 2:10).
Aplikasi
Di kalangan orang Kristen, ada yang
beranggapan bahwa pelayanan adalah sesuatu yang
dilakukan secara sukarela. Namun, “sukarela” ini kadang dimaknai sebagai
‘sesukanya’ atau se-‘rela’-nya sehingga membuat kualitas pelayanan itu sendiri
menjadi berkurang, tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh (kalau sempat),
bahkan tidak perlu membutuhkan keterampilan khusus. Definisi pelayanan yang
seperti ini seringkali dibedakan dengan definisi mengenai pekerjaan,
yakni: sesuatu yang dilakukan, semestinya secara profesional (kemampuan khusus
yang dibayar), untuk mencari nafkah, atau mendapatkan suatu hasil. Kalangan
seperti ini menganggap bahwa bekerja berbeda dengan melayani,
sebab melayani bisa dilakukan oleh siapa saja, termasuk jenis kegiatan yang dapat
dilakukan secara serabutan, dan tidak berorientasi pada hasil melainkan pada
ketekunan.
Sepintas, idea semacam ini pada kenyataannya memang ada
benarnya, bahkan seperti inilah yang berlaku secara umum di banyak gereja. Maka
tak mengherankan jika berbagai bentuk pelayanan gerejawi, dalam komisi apapun,
seringkali terkesan asal-asalan, kurang berkualitas, bahkan yang penting ada
kemauan. Sebagai contoh: jika paduan suara gerejawi, dari tahun ke tahun
menyanyikan lagu yang itu-itu saja, jumlah anggotanya tidak pernah pasti,
jadual latihan tidak menentu, bahkan tanpa latihan pun bisa tampil; hal itu
dianggap biasa/wajar dalam pelayanan. “Namanya juga pelayanan, sudah baik masih
mau tampil”.
Memang, pelayanan yang dilakukan seperti
itu tidak salah, sebab Bunda Teresa pun pernah menyatakan bahwa:
“Tuhan tidak pernah menuntut kita untuk Sukses, Dia hanya mengharuskan kita
Berusaha”. Namun sesungguhnya, pelayanan yang dilakukan seperti itu dapat
dianggap sebagai pelayanan yang kurang baik. Oleh sebab
itu sebaiknya kita perlu kembali belajar kepada Perjanjian
Baru mengenai makna pelayanan yang baik :
Kata yang dipakai dalam Perjanjian Baru untuk
menunjuk pada “pelayanan” adalah: diakoneo, douleo, leitourgeo, dan latreuo.
Makna tiap kata itu tidak sama. Diakoneo: melayani orang yang lebih rendah dari
dirinya; Douleo: menghamba, melayani orang yang lebih tinggi dari dirinya;
Leitourgeo: kerja bakti untuk kepentingan orang banyak; sedangkan Latreuo:
bekerja untuk mendapatkan latron (upah, gaji, kualitas). Dari ke-4
kata yang biasa dipakai oleh Perjanjian Baru itu, maka dapatlah ditarik
kesimpulan bahwa:pelayanan adalah aktifitas yang dilakukan, baik untuk
kepentingan sesama maupun untuk kemuliaan Allah, menuju suatu pencapaian yang
baik (berkualitas), sehingga harus dilakukan secara profesional (dengan
kemampuan dan minat).
-------
Oleh sebab itu jugalah, maka seluruh bagian
Alkitab yang sedang kita perbincangkan saat ini sesungguhnya menekankan
bahwa: pelayanan itu tak lain adalah ‘karya’ atau ‘kerja’.
Sebab ketika ‘kerja’ itu merupakan sebuah upaya “menghidupi diri sendiri” (lih.
II Tes. 3:10), maka
demikian juga ‘pelayanan’, yakni “menghidupi imannya sendiri”. Oleh karena itu,
maka ‘pelayanan’ pun perlu dilakukan dengan ketekunan, sebab
seperti halnya manusia hidup butuh makan, kehidupan iman pun butuh makanan yang
dihasilkan dari buah-buah pelayanan (agar tetap memperoleh hidup, lih. Lukas
21:19). Dan jika pelayanan yang dilakukan itu bukanlah sebuah
karya yang profesional, berkualitas, dan tanpa minat, maka tentu buah-buah yang
dihasilkannya pun tidak akan mengenyangkan kehidupan beriman. Oleh sebab itu,
maka kinerja dalam pelayanan itu haruslah sebuah upaya yang profesional,
berkualitas, serta penuh tekad dan minat.
Apa yang sedang
diwacanakan ini bukanlah bermaksud untuk membedakan, bahwa: pekerjaan itu
hanyalah aktifitas yang menyangkut kehidupan profan (duniawi), sedangkan
pelayanan itu menyangkut kehidupan iman (sorgawi). Sebab sesungguhnya keduanya,
baik pekerjaan maupun pelayanan itu adalah aktifitas yang menyangkut kehidupan
profan (duniawi) sekaligus kehidupan iman (sorgawi). Zaman Kerajaan 1000 tahun
(zaman akhir) yang sedang terjadi dan kita alami saat ini pada hakekatnya
adalah kehidupan duniawi di bawah pemerintahan (kendali) Sang Kristus, sehingga
kerja/pelayanan umatNya pun berkenaan dengan seluruh kepentingan, baik sorgawi
maupun duniawi. Pelayanan/kerja bagi kepentingan sesama, kepentingan diri
sendiri dan bagi kemuliaan Tuhan, semuanya haruslah dilakukan sesuai kehendak
Kristus, dan tidak perlu dipertentangkan antara satu dengan yang lain: mana
yang sorgawi atau mana yang duniawi. Dengan demikian, maka:
§
Mereka yang menjadi Guru, baiklah mereka
mendidik dengan ketekunan dan kinerja yang gigih bagi kebaikan para muridnya
sekaligus demi kemuliaan Sang Kristus.
§
Mereka yang menjadi pegawai negeri, baiklah
mereka mengabdi dengan ketekunan dan kinerja yang gigih bagi kebaikan
masyarakat sekaligus demi kemuliaan Sang Kristus.
§
Mereka yang menjadi dokter, baiklah mereka
mengobati dengan ketekunan dan kinerja yang gigih bagi kebaikan lingkungannya
sekaligus demi kemuliaan Sang Kristus.
Medan
17 November 2013
Pdt.
T.M. Karo-karo, STh,MA
Khotbah Minggu 17
November 2013
GMI Kasih Karunia,
Medan
Nats Alkitab : Lukas
21: 5-19
Bersama Injil Markus (13:1), di bagian ini pun
Lukas menggambarkan bahwa bangunan Bait Allah bukanlah sekedar bangunan yang
menjadi obyek wisata yang sangat terkenal, karena merupakan bangunan yang
sangat besar/megah, sangat indah (super-estetik), dan sangat kokoh/kuat dengan
dindingnya yang sangat tebal, namun juga merupakan bangunan yang menjadi simbol
negara dan simbol kedekatan hubungan antara umat Yahudi dengan Allah.
Bangunan ini adalah simbol Yudaisme –– yang menyangkut seluruh aspek kehidupan
Yahudi, mulai aspek sosial, ekonomi, politik, maupun budaya. Kondisi bangsa
Yahudi dilukiskan secara nyata oleh keberadaan bangunan ini. Oleh sebab itu,
hancurnya gedung Bait Allah juga menyatakan hancurnya Yahudi sebagai bangsa dan
negara.
Dan sungguh mengejutkan bila mengenai Bait Allah ini Tuhan Yesus
justru berkata: “akan datang harinya di mana tidak ada satu batu pun akan
dibiarkan terletak di atas batu yang lain” (ay. 6). Ini memang merupakan
nubuatan yang secara harfiah benar-benar terjadi pada th 70, dimana pasukan
Romawi di bawah pimpinan Jenderal Titus membumi-hanguskan Yerusalem, termasuk
Bait Allah. Namun, sesungguhnya kehancuran Bait Allah yang dimaksudkan Yesus menunjuk
pada konsep mengenai akhir zaman. Memang, kebetulan secara fisik
Bait Allah benar-benar runtuh pada th 70, tetapi bukan itu maksud perkataan
Tuhan di ay. 6 ini. Sebab, di bagian ini Tuhan Yesus sesungguhnya ingin
memaparkan suatu pemahaman eskatologis, bahwa: hancurnya Bait Allah adalah
simbol yang menunjuk pada hancurnya kedekatan hubungan antara manusia dengan
Allahnya. Zaman yang penuh cobaan ini, ditandai dengan: penyesatan
(ay. 8); peperangan dan pemberontakan (9-10); gempa bumi, penyakit, kelaparan,
teror, dan tanda-tanda surgawi yang besar yang akan mendahului Kedatangan Kedua
Kali (ay. 11). Secara rinci tanda-tanda
surgawi ini disebut dalam Kitab Wahyu ps. 6-18. Namun hal-hal itu belumlah
seberapa, sebab yang paling berpengaruh adalah bahwa: pada zaman ini kehidupan
orang beriman akan mengalami ujian yang berat. Berbagai ujian yang akan dialami
orang beriman itu dipaparkan Lukas dalam ay. 12, di antaranya: mereka akan
dimusuhi di sinagog-sinagog (bnd. Mat. 10:17; Mrk 13:9), ditangkap, dianiaya,
dipenjara, dan dihadapkan kepada para penguasa bangsa lain untuk diadili (bnd.
Mat 10:18; Mrk 13:9). Semua itu terjadi oleh karena “nama-Ku” –– yakni karena
iman mereka kepada Yesus. Di samping itu, di ay. 16-17, mereka juga akan
mengalami pengkhianatan dari kerabat dekat dan teman-teman (bdk. Mrk 13:12).
Akan tetapi ujian yang
dihadapi oleh orang beriman itu justru merupakan kesempatan bagi mereka untuk
dapat “bersaksi” (ay. 13).
Dan dalam melakukan “kesaksian”-nya ini mereka tidak perlu khawatir tentang apa
yang harus mereka katakan, melainkan hanya bergantung pada janji Yesus yang
akan membantu mereka berkata-kata (bdk. Kel. 4:11, 15; Yeh. 29:21) dan
kebijaksanaan yang akan mereka butuhkan saat itu (bdk. 12:11-12; Mat. 10:19-20,
Mrk 13:11). Ini semua akan mereka terima melalui karya Roh
Kudus kepada mereka (Mrk 13:11). Mereka akan menemukan bahwa kesaksian mereka
akan menjadi sangat kuat. Ini semua akhirnya memang benar-benar terjadi dalam
kehidupan gereja mula-mula (mis., Kis 4:14; 6:10; 8:3; 12:4; 21:11; 22:4, 27:1,
28:17) dan di sepanjang sejarah gereja. Dalam hal ini, Yesus berjanji bahwa Dia
akan selalu menjaga mereka agar tetap aman (ay. 18). Ini mungkin berarti bahwa
tidak ada bahaya yang akan menimpa mereka tanpa seizin Bapa (ay 16; bnd. Kis 27:34).
Beberapa penafsir percaya bahwa hal ini hanyalah mengacu pada keselamatan
rohani, tetapi tidak terhadap keselamatan jasmani.
Hal terpenting di sini (ay. 19) adalah
bahwa: dengan ketekunan dalam karya, saat mereka dianiaya, hal itu
justru akan melestarikan kehidupan mereka (Yun. ktesesthe tas
psychas hymon). Artinya, mereka tidak akan mati sebelum dikehendaki
Tuhan (ay 18). Beberapa penafsir percaya bahwa ayat ini bertujuan menyatakan
bahwa mereka yang bertahan sampai akhir akan mengalami keselamatan (bnd. Mat
24:13, Mrk 13:13). Mereka yang tetap setia sampai akhir dari masa Kesengsaraan
akan masuk ke dalam kerajaan tanpa kematian (bnd. Mat 24:13, Mrk 13:13). Ini
berarti bahwa ketekunan dalam karya akan
mendatangkan ganjaran kekal (lih. ay. 36; Why 2:10).
Aplikasi
Di kalangan orang Kristen, ada yang
beranggapan bahwa pelayanan adalah sesuatu yang
dilakukan secara sukarela. Namun, “sukarela” ini kadang dimaknai sebagai
‘sesukanya’ atau se-‘rela’-nya sehingga membuat kualitas pelayanan itu sendiri
menjadi berkurang, tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh (kalau sempat),
bahkan tidak perlu membutuhkan keterampilan khusus. Definisi pelayanan yang
seperti ini seringkali dibedakan dengan definisi mengenai pekerjaan,
yakni: sesuatu yang dilakukan, semestinya secara profesional (kemampuan khusus
yang dibayar), untuk mencari nafkah, atau mendapatkan suatu hasil. Kalangan
seperti ini menganggap bahwa bekerja berbeda dengan melayani,
sebab melayani bisa dilakukan oleh siapa saja, termasuk jenis kegiatan yang dapat
dilakukan secara serabutan, dan tidak berorientasi pada hasil melainkan pada
ketekunan.
Sepintas, idea semacam ini pada kenyataannya memang ada
benarnya, bahkan seperti inilah yang berlaku secara umum di banyak gereja. Maka
tak mengherankan jika berbagai bentuk pelayanan gerejawi, dalam komisi apapun,
seringkali terkesan asal-asalan, kurang berkualitas, bahkan yang penting ada
kemauan. Sebagai contoh: jika paduan suara gerejawi, dari tahun ke tahun
menyanyikan lagu yang itu-itu saja, jumlah anggotanya tidak pernah pasti,
jadual latihan tidak menentu, bahkan tanpa latihan pun bisa tampil; hal itu
dianggap biasa/wajar dalam pelayanan. “Namanya juga pelayanan, sudah baik masih
mau tampil”.
Memang, pelayanan yang dilakukan seperti
itu tidak salah, sebab Bunda Teresa pun pernah menyatakan bahwa:
“Tuhan tidak pernah menuntut kita untuk Sukses, Dia hanya mengharuskan kita
Berusaha”. Namun sesungguhnya, pelayanan yang dilakukan seperti itu dapat
dianggap sebagai pelayanan yang kurang baik. Oleh sebab
itu sebaiknya kita perlu kembali belajar kepada Perjanjian
Baru mengenai makna pelayanan yang baik :
Kata yang dipakai dalam Perjanjian Baru untuk
menunjuk pada “pelayanan” adalah: diakoneo, douleo, leitourgeo, dan latreuo.
Makna tiap kata itu tidak sama. Diakoneo: melayani orang yang lebih rendah dari
dirinya; Douleo: menghamba, melayani orang yang lebih tinggi dari dirinya;
Leitourgeo: kerja bakti untuk kepentingan orang banyak; sedangkan Latreuo:
bekerja untuk mendapatkan latron (upah, gaji, kualitas). Dari ke-4
kata yang biasa dipakai oleh Perjanjian Baru itu, maka dapatlah ditarik
kesimpulan bahwa:pelayanan adalah aktifitas yang dilakukan, baik untuk
kepentingan sesama maupun untuk kemuliaan Allah, menuju suatu pencapaian yang
baik (berkualitas), sehingga harus dilakukan secara profesional (dengan
kemampuan dan minat).
-------
Oleh sebab itu jugalah, maka seluruh bagian
Alkitab yang sedang kita perbincangkan saat ini sesungguhnya menekankan
bahwa: pelayanan itu tak lain adalah ‘karya’ atau ‘kerja’.
Sebab ketika ‘kerja’ itu merupakan sebuah upaya “menghidupi diri sendiri” (lih.
II Tes. 3:10), maka
demikian juga ‘pelayanan’, yakni “menghidupi imannya sendiri”. Oleh karena itu,
maka ‘pelayanan’ pun perlu dilakukan dengan ketekunan, sebab
seperti halnya manusia hidup butuh makan, kehidupan iman pun butuh makanan yang
dihasilkan dari buah-buah pelayanan (agar tetap memperoleh hidup, lih. Lukas
21:19). Dan jika pelayanan yang dilakukan itu bukanlah sebuah
karya yang profesional, berkualitas, dan tanpa minat, maka tentu buah-buah yang
dihasilkannya pun tidak akan mengenyangkan kehidupan beriman. Oleh sebab itu,
maka kinerja dalam pelayanan itu haruslah sebuah upaya yang profesional,
berkualitas, serta penuh tekad dan minat.
Apa yang sedang
diwacanakan ini bukanlah bermaksud untuk membedakan, bahwa: pekerjaan itu
hanyalah aktifitas yang menyangkut kehidupan profan (duniawi), sedangkan
pelayanan itu menyangkut kehidupan iman (sorgawi). Sebab sesungguhnya keduanya,
baik pekerjaan maupun pelayanan itu adalah aktifitas yang menyangkut kehidupan
profan (duniawi) sekaligus kehidupan iman (sorgawi). Zaman Kerajaan 1000 tahun
(zaman akhir) yang sedang terjadi dan kita alami saat ini pada hakekatnya
adalah kehidupan duniawi di bawah pemerintahan (kendali) Sang Kristus, sehingga
kerja/pelayanan umatNya pun berkenaan dengan seluruh kepentingan, baik sorgawi
maupun duniawi. Pelayanan/kerja bagi kepentingan sesama, kepentingan diri
sendiri dan bagi kemuliaan Tuhan, semuanya haruslah dilakukan sesuai kehendak
Kristus, dan tidak perlu dipertentangkan antara satu dengan yang lain: mana
yang sorgawi atau mana yang duniawi. Dengan demikian, maka:
§
Mereka yang menjadi Guru, baiklah mereka
mendidik dengan ketekunan dan kinerja yang gigih bagi kebaikan para muridnya
sekaligus demi kemuliaan Sang Kristus.
§
Mereka yang menjadi pegawai negeri, baiklah
mereka mengabdi dengan ketekunan dan kinerja yang gigih bagi kebaikan
masyarakat sekaligus demi kemuliaan Sang Kristus.
§
Mereka yang menjadi dokter, baiklah mereka
mengobati dengan ketekunan dan kinerja yang gigih bagi kebaikan lingkungannya
sekaligus demi kemuliaan Sang Kristus.
Medan
17 November 2013
Pdt.
T.M. Karo-karo, STh,MA
Khotbah Minggu 17
November 2013
GMI Kasih Karunia,
Medan
Nats Alkitab : Lukas
21: 5-19
Bersama Injil Markus (13:1), di bagian ini pun
Lukas menggambarkan bahwa bangunan Bait Allah bukanlah sekedar bangunan yang
menjadi obyek wisata yang sangat terkenal, karena merupakan bangunan yang
sangat besar/megah, sangat indah (super-estetik), dan sangat kokoh/kuat dengan
dindingnya yang sangat tebal, namun juga merupakan bangunan yang menjadi simbol
negara dan simbol kedekatan hubungan antara umat Yahudi dengan Allah.
Bangunan ini adalah simbol Yudaisme –– yang menyangkut seluruh aspek kehidupan
Yahudi, mulai aspek sosial, ekonomi, politik, maupun budaya. Kondisi bangsa
Yahudi dilukiskan secara nyata oleh keberadaan bangunan ini. Oleh sebab itu,
hancurnya gedung Bait Allah juga menyatakan hancurnya Yahudi sebagai bangsa dan
negara.
Dan sungguh mengejutkan bila mengenai Bait Allah ini Tuhan Yesus
justru berkata: “akan datang harinya di mana tidak ada satu batu pun akan
dibiarkan terletak di atas batu yang lain” (ay. 6). Ini memang merupakan
nubuatan yang secara harfiah benar-benar terjadi pada th 70, dimana pasukan
Romawi di bawah pimpinan Jenderal Titus membumi-hanguskan Yerusalem, termasuk
Bait Allah. Namun, sesungguhnya kehancuran Bait Allah yang dimaksudkan Yesus menunjuk
pada konsep mengenai akhir zaman. Memang, kebetulan secara fisik
Bait Allah benar-benar runtuh pada th 70, tetapi bukan itu maksud perkataan
Tuhan di ay. 6 ini. Sebab, di bagian ini Tuhan Yesus sesungguhnya ingin
memaparkan suatu pemahaman eskatologis, bahwa: hancurnya Bait Allah adalah
simbol yang menunjuk pada hancurnya kedekatan hubungan antara manusia dengan
Allahnya. Zaman yang penuh cobaan ini, ditandai dengan: penyesatan
(ay. 8); peperangan dan pemberontakan (9-10); gempa bumi, penyakit, kelaparan,
teror, dan tanda-tanda surgawi yang besar yang akan mendahului Kedatangan Kedua
Kali (ay. 11). Secara rinci tanda-tanda
surgawi ini disebut dalam Kitab Wahyu ps. 6-18. Namun hal-hal itu belumlah
seberapa, sebab yang paling berpengaruh adalah bahwa: pada zaman ini kehidupan
orang beriman akan mengalami ujian yang berat. Berbagai ujian yang akan dialami
orang beriman itu dipaparkan Lukas dalam ay. 12, di antaranya: mereka akan
dimusuhi di sinagog-sinagog (bnd. Mat. 10:17; Mrk 13:9), ditangkap, dianiaya,
dipenjara, dan dihadapkan kepada para penguasa bangsa lain untuk diadili (bnd.
Mat 10:18; Mrk 13:9). Semua itu terjadi oleh karena “nama-Ku” –– yakni karena
iman mereka kepada Yesus. Di samping itu, di ay. 16-17, mereka juga akan
mengalami pengkhianatan dari kerabat dekat dan teman-teman (bdk. Mrk 13:12).
Akan tetapi ujian yang
dihadapi oleh orang beriman itu justru merupakan kesempatan bagi mereka untuk
dapat “bersaksi” (ay. 13).
Dan dalam melakukan “kesaksian”-nya ini mereka tidak perlu khawatir tentang apa
yang harus mereka katakan, melainkan hanya bergantung pada janji Yesus yang
akan membantu mereka berkata-kata (bdk. Kel. 4:11, 15; Yeh. 29:21) dan
kebijaksanaan yang akan mereka butuhkan saat itu (bdk. 12:11-12; Mat. 10:19-20,
Mrk 13:11). Ini semua akan mereka terima melalui karya Roh
Kudus kepada mereka (Mrk 13:11). Mereka akan menemukan bahwa kesaksian mereka
akan menjadi sangat kuat. Ini semua akhirnya memang benar-benar terjadi dalam
kehidupan gereja mula-mula (mis., Kis 4:14; 6:10; 8:3; 12:4; 21:11; 22:4, 27:1,
28:17) dan di sepanjang sejarah gereja. Dalam hal ini, Yesus berjanji bahwa Dia
akan selalu menjaga mereka agar tetap aman (ay. 18). Ini mungkin berarti bahwa
tidak ada bahaya yang akan menimpa mereka tanpa seizin Bapa (ay 16; bnd. Kis 27:34).
Beberapa penafsir percaya bahwa hal ini hanyalah mengacu pada keselamatan
rohani, tetapi tidak terhadap keselamatan jasmani.
Hal terpenting di sini (ay. 19) adalah
bahwa: dengan ketekunan dalam karya, saat mereka dianiaya, hal itu
justru akan melestarikan kehidupan mereka (Yun. ktesesthe tas
psychas hymon). Artinya, mereka tidak akan mati sebelum dikehendaki
Tuhan (ay 18). Beberapa penafsir percaya bahwa ayat ini bertujuan menyatakan
bahwa mereka yang bertahan sampai akhir akan mengalami keselamatan (bnd. Mat
24:13, Mrk 13:13). Mereka yang tetap setia sampai akhir dari masa Kesengsaraan
akan masuk ke dalam kerajaan tanpa kematian (bnd. Mat 24:13, Mrk 13:13). Ini
berarti bahwa ketekunan dalam karya akan
mendatangkan ganjaran kekal (lih. ay. 36; Why 2:10).
Aplikasi
Di kalangan orang Kristen, ada yang
beranggapan bahwa pelayanan adalah sesuatu yang
dilakukan secara sukarela. Namun, “sukarela” ini kadang dimaknai sebagai
‘sesukanya’ atau se-‘rela’-nya sehingga membuat kualitas pelayanan itu sendiri
menjadi berkurang, tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh (kalau sempat),
bahkan tidak perlu membutuhkan keterampilan khusus. Definisi pelayanan yang
seperti ini seringkali dibedakan dengan definisi mengenai pekerjaan,
yakni: sesuatu yang dilakukan, semestinya secara profesional (kemampuan khusus
yang dibayar), untuk mencari nafkah, atau mendapatkan suatu hasil. Kalangan
seperti ini menganggap bahwa bekerja berbeda dengan melayani,
sebab melayani bisa dilakukan oleh siapa saja, termasuk jenis kegiatan yang dapat
dilakukan secara serabutan, dan tidak berorientasi pada hasil melainkan pada
ketekunan.
Sepintas, idea semacam ini pada kenyataannya memang ada
benarnya, bahkan seperti inilah yang berlaku secara umum di banyak gereja. Maka
tak mengherankan jika berbagai bentuk pelayanan gerejawi, dalam komisi apapun,
seringkali terkesan asal-asalan, kurang berkualitas, bahkan yang penting ada
kemauan. Sebagai contoh: jika paduan suara gerejawi, dari tahun ke tahun
menyanyikan lagu yang itu-itu saja, jumlah anggotanya tidak pernah pasti,
jadual latihan tidak menentu, bahkan tanpa latihan pun bisa tampil; hal itu
dianggap biasa/wajar dalam pelayanan. “Namanya juga pelayanan, sudah baik masih
mau tampil”.
Memang, pelayanan yang dilakukan seperti
itu tidak salah, sebab Bunda Teresa pun pernah menyatakan bahwa:
“Tuhan tidak pernah menuntut kita untuk Sukses, Dia hanya mengharuskan kita
Berusaha”. Namun sesungguhnya, pelayanan yang dilakukan seperti itu dapat
dianggap sebagai pelayanan yang kurang baik. Oleh sebab
itu sebaiknya kita perlu kembali belajar kepada Perjanjian
Baru mengenai makna pelayanan yang baik :
Kata yang dipakai dalam Perjanjian Baru untuk
menunjuk pada “pelayanan” adalah: diakoneo, douleo, leitourgeo, dan latreuo.
Makna tiap kata itu tidak sama. Diakoneo: melayani orang yang lebih rendah dari
dirinya; Douleo: menghamba, melayani orang yang lebih tinggi dari dirinya;
Leitourgeo: kerja bakti untuk kepentingan orang banyak; sedangkan Latreuo:
bekerja untuk mendapatkan latron (upah, gaji, kualitas). Dari ke-4
kata yang biasa dipakai oleh Perjanjian Baru itu, maka dapatlah ditarik
kesimpulan bahwa:pelayanan adalah aktifitas yang dilakukan, baik untuk
kepentingan sesama maupun untuk kemuliaan Allah, menuju suatu pencapaian yang
baik (berkualitas), sehingga harus dilakukan secara profesional (dengan
kemampuan dan minat).
-------
Oleh sebab itu jugalah, maka seluruh bagian
Alkitab yang sedang kita perbincangkan saat ini sesungguhnya menekankan
bahwa: pelayanan itu tak lain adalah ‘karya’ atau ‘kerja’.
Sebab ketika ‘kerja’ itu merupakan sebuah upaya “menghidupi diri sendiri” (lih.
II Tes. 3:10), maka
demikian juga ‘pelayanan’, yakni “menghidupi imannya sendiri”. Oleh karena itu,
maka ‘pelayanan’ pun perlu dilakukan dengan ketekunan, sebab
seperti halnya manusia hidup butuh makan, kehidupan iman pun butuh makanan yang
dihasilkan dari buah-buah pelayanan (agar tetap memperoleh hidup, lih. Lukas
21:19). Dan jika pelayanan yang dilakukan itu bukanlah sebuah
karya yang profesional, berkualitas, dan tanpa minat, maka tentu buah-buah yang
dihasilkannya pun tidak akan mengenyangkan kehidupan beriman. Oleh sebab itu,
maka kinerja dalam pelayanan itu haruslah sebuah upaya yang profesional,
berkualitas, serta penuh tekad dan minat.
Apa yang sedang
diwacanakan ini bukanlah bermaksud untuk membedakan, bahwa: pekerjaan itu
hanyalah aktifitas yang menyangkut kehidupan profan (duniawi), sedangkan
pelayanan itu menyangkut kehidupan iman (sorgawi). Sebab sesungguhnya keduanya,
baik pekerjaan maupun pelayanan itu adalah aktifitas yang menyangkut kehidupan
profan (duniawi) sekaligus kehidupan iman (sorgawi). Zaman Kerajaan 1000 tahun
(zaman akhir) yang sedang terjadi dan kita alami saat ini pada hakekatnya
adalah kehidupan duniawi di bawah pemerintahan (kendali) Sang Kristus, sehingga
kerja/pelayanan umatNya pun berkenaan dengan seluruh kepentingan, baik sorgawi
maupun duniawi. Pelayanan/kerja bagi kepentingan sesama, kepentingan diri
sendiri dan bagi kemuliaan Tuhan, semuanya haruslah dilakukan sesuai kehendak
Kristus, dan tidak perlu dipertentangkan antara satu dengan yang lain: mana
yang sorgawi atau mana yang duniawi. Dengan demikian, maka:
§
Mereka yang menjadi Guru, baiklah mereka
mendidik dengan ketekunan dan kinerja yang gigih bagi kebaikan para muridnya
sekaligus demi kemuliaan Sang Kristus.
§
Mereka yang menjadi pegawai negeri, baiklah
mereka mengabdi dengan ketekunan dan kinerja yang gigih bagi kebaikan
masyarakat sekaligus demi kemuliaan Sang Kristus.
§
Mereka yang menjadi dokter, baiklah mereka
mengobati dengan ketekunan dan kinerja yang gigih bagi kebaikan lingkungannya
sekaligus demi kemuliaan Sang Kristus.
Medan
17 November 2013
Pdt.
T.M. Karo-karo, STh,MA
Khotbah Minggu 17
November 2013
GMI Kasih Karunia,
Medan
Nats Alkitab : Lukas
21: 5-19
Bersama Injil Markus (13:1), di bagian ini pun
Lukas menggambarkan bahwa bangunan Bait Allah bukanlah sekedar bangunan yang
menjadi obyek wisata yang sangat terkenal, karena merupakan bangunan yang
sangat besar/megah, sangat indah (super-estetik), dan sangat kokoh/kuat dengan
dindingnya yang sangat tebal, namun juga merupakan bangunan yang menjadi simbol
negara dan simbol kedekatan hubungan antara umat Yahudi dengan Allah.
Bangunan ini adalah simbol Yudaisme –– yang menyangkut seluruh aspek kehidupan
Yahudi, mulai aspek sosial, ekonomi, politik, maupun budaya. Kondisi bangsa
Yahudi dilukiskan secara nyata oleh keberadaan bangunan ini. Oleh sebab itu,
hancurnya gedung Bait Allah juga menyatakan hancurnya Yahudi sebagai bangsa dan
negara.
Dan sungguh mengejutkan bila mengenai Bait Allah ini Tuhan Yesus
justru berkata: “akan datang harinya di mana tidak ada satu batu pun akan
dibiarkan terletak di atas batu yang lain” (ay. 6). Ini memang merupakan
nubuatan yang secara harfiah benar-benar terjadi pada th 70, dimana pasukan
Romawi di bawah pimpinan Jenderal Titus membumi-hanguskan Yerusalem, termasuk
Bait Allah. Namun, sesungguhnya kehancuran Bait Allah yang dimaksudkan Yesus menunjuk
pada konsep mengenai akhir zaman. Memang, kebetulan secara fisik
Bait Allah benar-benar runtuh pada th 70, tetapi bukan itu maksud perkataan
Tuhan di ay. 6 ini. Sebab, di bagian ini Tuhan Yesus sesungguhnya ingin
memaparkan suatu pemahaman eskatologis, bahwa: hancurnya Bait Allah adalah
simbol yang menunjuk pada hancurnya kedekatan hubungan antara manusia dengan
Allahnya. Zaman yang penuh cobaan ini, ditandai dengan: penyesatan
(ay. 8); peperangan dan pemberontakan (9-10); gempa bumi, penyakit, kelaparan,
teror, dan tanda-tanda surgawi yang besar yang akan mendahului Kedatangan Kedua
Kali (ay. 11). Secara rinci tanda-tanda
surgawi ini disebut dalam Kitab Wahyu ps. 6-18. Namun hal-hal itu belumlah
seberapa, sebab yang paling berpengaruh adalah bahwa: pada zaman ini kehidupan
orang beriman akan mengalami ujian yang berat. Berbagai ujian yang akan dialami
orang beriman itu dipaparkan Lukas dalam ay. 12, di antaranya: mereka akan
dimusuhi di sinagog-sinagog (bnd. Mat. 10:17; Mrk 13:9), ditangkap, dianiaya,
dipenjara, dan dihadapkan kepada para penguasa bangsa lain untuk diadili (bnd.
Mat 10:18; Mrk 13:9). Semua itu terjadi oleh karena “nama-Ku” –– yakni karena
iman mereka kepada Yesus. Di samping itu, di ay. 16-17, mereka juga akan
mengalami pengkhianatan dari kerabat dekat dan teman-teman (bdk. Mrk 13:12).
Akan tetapi ujian yang
dihadapi oleh orang beriman itu justru merupakan kesempatan bagi mereka untuk
dapat “bersaksi” (ay. 13).
Dan dalam melakukan “kesaksian”-nya ini mereka tidak perlu khawatir tentang apa
yang harus mereka katakan, melainkan hanya bergantung pada janji Yesus yang
akan membantu mereka berkata-kata (bdk. Kel. 4:11, 15; Yeh. 29:21) dan
kebijaksanaan yang akan mereka butuhkan saat itu (bdk. 12:11-12; Mat. 10:19-20,
Mrk 13:11). Ini semua akan mereka terima melalui karya Roh
Kudus kepada mereka (Mrk 13:11). Mereka akan menemukan bahwa kesaksian mereka
akan menjadi sangat kuat. Ini semua akhirnya memang benar-benar terjadi dalam
kehidupan gereja mula-mula (mis., Kis 4:14; 6:10; 8:3; 12:4; 21:11; 22:4, 27:1,
28:17) dan di sepanjang sejarah gereja. Dalam hal ini, Yesus berjanji bahwa Dia
akan selalu menjaga mereka agar tetap aman (ay. 18). Ini mungkin berarti bahwa
tidak ada bahaya yang akan menimpa mereka tanpa seizin Bapa (ay 16; bnd. Kis 27:34).
Beberapa penafsir percaya bahwa hal ini hanyalah mengacu pada keselamatan
rohani, tetapi tidak terhadap keselamatan jasmani.
Hal terpenting di sini (ay. 19) adalah
bahwa: dengan ketekunan dalam karya, saat mereka dianiaya, hal itu
justru akan melestarikan kehidupan mereka (Yun. ktesesthe tas
psychas hymon). Artinya, mereka tidak akan mati sebelum dikehendaki
Tuhan (ay 18). Beberapa penafsir percaya bahwa ayat ini bertujuan menyatakan
bahwa mereka yang bertahan sampai akhir akan mengalami keselamatan (bnd. Mat
24:13, Mrk 13:13). Mereka yang tetap setia sampai akhir dari masa Kesengsaraan
akan masuk ke dalam kerajaan tanpa kematian (bnd. Mat 24:13, Mrk 13:13). Ini
berarti bahwa ketekunan dalam karya akan
mendatangkan ganjaran kekal (lih. ay. 36; Why 2:10).
Aplikasi
Di kalangan orang Kristen, ada yang
beranggapan bahwa pelayanan adalah sesuatu yang
dilakukan secara sukarela. Namun, “sukarela” ini kadang dimaknai sebagai
‘sesukanya’ atau se-‘rela’-nya sehingga membuat kualitas pelayanan itu sendiri
menjadi berkurang, tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh (kalau sempat),
bahkan tidak perlu membutuhkan keterampilan khusus. Definisi pelayanan yang
seperti ini seringkali dibedakan dengan definisi mengenai pekerjaan,
yakni: sesuatu yang dilakukan, semestinya secara profesional (kemampuan khusus
yang dibayar), untuk mencari nafkah, atau mendapatkan suatu hasil. Kalangan
seperti ini menganggap bahwa bekerja berbeda dengan melayani,
sebab melayani bisa dilakukan oleh siapa saja, termasuk jenis kegiatan yang dapat
dilakukan secara serabutan, dan tidak berorientasi pada hasil melainkan pada
ketekunan.
Sepintas, idea semacam ini pada kenyataannya memang ada
benarnya, bahkan seperti inilah yang berlaku secara umum di banyak gereja. Maka
tak mengherankan jika berbagai bentuk pelayanan gerejawi, dalam komisi apapun,
seringkali terkesan asal-asalan, kurang berkualitas, bahkan yang penting ada
kemauan. Sebagai contoh: jika paduan suara gerejawi, dari tahun ke tahun
menyanyikan lagu yang itu-itu saja, jumlah anggotanya tidak pernah pasti,
jadual latihan tidak menentu, bahkan tanpa latihan pun bisa tampil; hal itu
dianggap biasa/wajar dalam pelayanan. “Namanya juga pelayanan, sudah baik masih
mau tampil”.
Memang, pelayanan yang dilakukan seperti
itu tidak salah, sebab Bunda Teresa pun pernah menyatakan bahwa:
“Tuhan tidak pernah menuntut kita untuk Sukses, Dia hanya mengharuskan kita
Berusaha”. Namun sesungguhnya, pelayanan yang dilakukan seperti itu dapat
dianggap sebagai pelayanan yang kurang baik. Oleh sebab
itu sebaiknya kita perlu kembali belajar kepada Perjanjian
Baru mengenai makna pelayanan yang baik :
Kata yang dipakai dalam Perjanjian Baru untuk
menunjuk pada “pelayanan” adalah: diakoneo, douleo, leitourgeo, dan latreuo.
Makna tiap kata itu tidak sama. Diakoneo: melayani orang yang lebih rendah dari
dirinya; Douleo: menghamba, melayani orang yang lebih tinggi dari dirinya;
Leitourgeo: kerja bakti untuk kepentingan orang banyak; sedangkan Latreuo:
bekerja untuk mendapatkan latron (upah, gaji, kualitas). Dari ke-4
kata yang biasa dipakai oleh Perjanjian Baru itu, maka dapatlah ditarik
kesimpulan bahwa:pelayanan adalah aktifitas yang dilakukan, baik untuk
kepentingan sesama maupun untuk kemuliaan Allah, menuju suatu pencapaian yang
baik (berkualitas), sehingga harus dilakukan secara profesional (dengan
kemampuan dan minat).
-------
Oleh sebab itu jugalah, maka seluruh bagian
Alkitab yang sedang kita perbincangkan saat ini sesungguhnya menekankan
bahwa: pelayanan itu tak lain adalah ‘karya’ atau ‘kerja’.
Sebab ketika ‘kerja’ itu merupakan sebuah upaya “menghidupi diri sendiri” (lih.
II Tes. 3:10), maka
demikian juga ‘pelayanan’, yakni “menghidupi imannya sendiri”. Oleh karena itu,
maka ‘pelayanan’ pun perlu dilakukan dengan ketekunan, sebab
seperti halnya manusia hidup butuh makan, kehidupan iman pun butuh makanan yang
dihasilkan dari buah-buah pelayanan (agar tetap memperoleh hidup, lih. Lukas
21:19). Dan jika pelayanan yang dilakukan itu bukanlah sebuah
karya yang profesional, berkualitas, dan tanpa minat, maka tentu buah-buah yang
dihasilkannya pun tidak akan mengenyangkan kehidupan beriman. Oleh sebab itu,
maka kinerja dalam pelayanan itu haruslah sebuah upaya yang profesional,
berkualitas, serta penuh tekad dan minat.
Apa yang sedang
diwacanakan ini bukanlah bermaksud untuk membedakan, bahwa: pekerjaan itu
hanyalah aktifitas yang menyangkut kehidupan profan (duniawi), sedangkan
pelayanan itu menyangkut kehidupan iman (sorgawi). Sebab sesungguhnya keduanya,
baik pekerjaan maupun pelayanan itu adalah aktifitas yang menyangkut kehidupan
profan (duniawi) sekaligus kehidupan iman (sorgawi). Zaman Kerajaan 1000 tahun
(zaman akhir) yang sedang terjadi dan kita alami saat ini pada hakekatnya
adalah kehidupan duniawi di bawah pemerintahan (kendali) Sang Kristus, sehingga
kerja/pelayanan umatNya pun berkenaan dengan seluruh kepentingan, baik sorgawi
maupun duniawi. Pelayanan/kerja bagi kepentingan sesama, kepentingan diri
sendiri dan bagi kemuliaan Tuhan, semuanya haruslah dilakukan sesuai kehendak
Kristus, dan tidak perlu dipertentangkan antara satu dengan yang lain: mana
yang sorgawi atau mana yang duniawi. Dengan demikian, maka:
§
Mereka yang menjadi Guru, baiklah mereka
mendidik dengan ketekunan dan kinerja yang gigih bagi kebaikan para muridnya
sekaligus demi kemuliaan Sang Kristus.
§
Mereka yang menjadi pegawai negeri, baiklah
mereka mengabdi dengan ketekunan dan kinerja yang gigih bagi kebaikan
masyarakat sekaligus demi kemuliaan Sang Kristus.
§
Mereka yang menjadi dokter, baiklah mereka
mengobati dengan ketekunan dan kinerja yang gigih bagi kebaikan lingkungannya
sekaligus demi kemuliaan Sang Kristus.
Medan
17 November 2013
Pdt.
T.M. Karo-karo, STh,MA
Khotbah Minggu 17
November 2013
GMI Kasih Karunia,
Medan
Nats Alkitab : Lukas
21: 5-19
Bersama Injil Markus (13:1), di bagian ini pun
Lukas menggambarkan bahwa bangunan Bait Allah bukanlah sekedar bangunan yang
menjadi obyek wisata yang sangat terkenal, karena merupakan bangunan yang
sangat besar/megah, sangat indah (super-estetik), dan sangat kokoh/kuat dengan
dindingnya yang sangat tebal, namun juga merupakan bangunan yang menjadi simbol
negara dan simbol kedekatan hubungan antara umat Yahudi dengan Allah.
Bangunan ini adalah simbol Yudaisme –– yang menyangkut seluruh aspek kehidupan
Yahudi, mulai aspek sosial, ekonomi, politik, maupun budaya. Kondisi bangsa
Yahudi dilukiskan secara nyata oleh keberadaan bangunan ini. Oleh sebab itu,
hancurnya gedung Bait Allah juga menyatakan hancurnya Yahudi sebagai bangsa dan
negara.
Dan sungguh mengejutkan bila mengenai Bait Allah ini Tuhan Yesus
justru berkata: “akan datang harinya di mana tidak ada satu batu pun akan
dibiarkan terletak di atas batu yang lain” (ay. 6). Ini memang merupakan
nubuatan yang secara harfiah benar-benar terjadi pada th 70, dimana pasukan
Romawi di bawah pimpinan Jenderal Titus membumi-hanguskan Yerusalem, termasuk
Bait Allah. Namun, sesungguhnya kehancuran Bait Allah yang dimaksudkan Yesus menunjuk
pada konsep mengenai akhir zaman. Memang, kebetulan secara fisik
Bait Allah benar-benar runtuh pada th 70, tetapi bukan itu maksud perkataan
Tuhan di ay. 6 ini. Sebab, di bagian ini Tuhan Yesus sesungguhnya ingin
memaparkan suatu pemahaman eskatologis, bahwa: hancurnya Bait Allah adalah
simbol yang menunjuk pada hancurnya kedekatan hubungan antara manusia dengan
Allahnya. Zaman yang penuh cobaan ini, ditandai dengan: penyesatan
(ay. 8); peperangan dan pemberontakan (9-10); gempa bumi, penyakit, kelaparan,
teror, dan tanda-tanda surgawi yang besar yang akan mendahului Kedatangan Kedua
Kali (ay. 11). Secara rinci tanda-tanda
surgawi ini disebut dalam Kitab Wahyu ps. 6-18. Namun hal-hal itu belumlah
seberapa, sebab yang paling berpengaruh adalah bahwa: pada zaman ini kehidupan
orang beriman akan mengalami ujian yang berat. Berbagai ujian yang akan dialami
orang beriman itu dipaparkan Lukas dalam ay. 12, di antaranya: mereka akan
dimusuhi di sinagog-sinagog (bnd. Mat. 10:17; Mrk 13:9), ditangkap, dianiaya,
dipenjara, dan dihadapkan kepada para penguasa bangsa lain untuk diadili (bnd.
Mat 10:18; Mrk 13:9). Semua itu terjadi oleh karena “nama-Ku” –– yakni karena
iman mereka kepada Yesus. Di samping itu, di ay. 16-17, mereka juga akan
mengalami pengkhianatan dari kerabat dekat dan teman-teman (bdk. Mrk 13:12).
Akan tetapi ujian yang
dihadapi oleh orang beriman itu justru merupakan kesempatan bagi mereka untuk
dapat “bersaksi” (ay. 13).
Dan dalam melakukan “kesaksian”-nya ini mereka tidak perlu khawatir tentang apa
yang harus mereka katakan, melainkan hanya bergantung pada janji Yesus yang
akan membantu mereka berkata-kata (bdk. Kel. 4:11, 15; Yeh. 29:21) dan
kebijaksanaan yang akan mereka butuhkan saat itu (bdk. 12:11-12; Mat. 10:19-20,
Mrk 13:11). Ini semua akan mereka terima melalui karya Roh
Kudus kepada mereka (Mrk 13:11). Mereka akan menemukan bahwa kesaksian mereka
akan menjadi sangat kuat. Ini semua akhirnya memang benar-benar terjadi dalam
kehidupan gereja mula-mula (mis., Kis 4:14; 6:10; 8:3; 12:4; 21:11; 22:4, 27:1,
28:17) dan di sepanjang sejarah gereja. Dalam hal ini, Yesus berjanji bahwa Dia
akan selalu menjaga mereka agar tetap aman (ay. 18). Ini mungkin berarti bahwa
tidak ada bahaya yang akan menimpa mereka tanpa seizin Bapa (ay 16; bnd. Kis 27:34).
Beberapa penafsir percaya bahwa hal ini hanyalah mengacu pada keselamatan
rohani, tetapi tidak terhadap keselamatan jasmani.
Hal terpenting di sini (ay. 19) adalah
bahwa: dengan ketekunan dalam karya, saat mereka dianiaya, hal itu
justru akan melestarikan kehidupan mereka (Yun. ktesesthe tas
psychas hymon). Artinya, mereka tidak akan mati sebelum dikehendaki
Tuhan (ay 18). Beberapa penafsir percaya bahwa ayat ini bertujuan menyatakan
bahwa mereka yang bertahan sampai akhir akan mengalami keselamatan (bnd. Mat
24:13, Mrk 13:13). Mereka yang tetap setia sampai akhir dari masa Kesengsaraan
akan masuk ke dalam kerajaan tanpa kematian (bnd. Mat 24:13, Mrk 13:13). Ini
berarti bahwa ketekunan dalam karya akan
mendatangkan ganjaran kekal (lih. ay. 36; Why 2:10).
Aplikasi
Di kalangan orang Kristen, ada yang
beranggapan bahwa pelayanan adalah sesuatu yang
dilakukan secara sukarela. Namun, “sukarela” ini kadang dimaknai sebagai
‘sesukanya’ atau se-‘rela’-nya sehingga membuat kualitas pelayanan itu sendiri
menjadi berkurang, tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh (kalau sempat),
bahkan tidak perlu membutuhkan keterampilan khusus. Definisi pelayanan yang
seperti ini seringkali dibedakan dengan definisi mengenai pekerjaan,
yakni: sesuatu yang dilakukan, semestinya secara profesional (kemampuan khusus
yang dibayar), untuk mencari nafkah, atau mendapatkan suatu hasil. Kalangan
seperti ini menganggap bahwa bekerja berbeda dengan melayani,
sebab melayani bisa dilakukan oleh siapa saja, termasuk jenis kegiatan yang dapat
dilakukan secara serabutan, dan tidak berorientasi pada hasil melainkan pada
ketekunan.
Sepintas, idea semacam ini pada kenyataannya memang ada
benarnya, bahkan seperti inilah yang berlaku secara umum di banyak gereja. Maka
tak mengherankan jika berbagai bentuk pelayanan gerejawi, dalam komisi apapun,
seringkali terkesan asal-asalan, kurang berkualitas, bahkan yang penting ada
kemauan. Sebagai contoh: jika paduan suara gerejawi, dari tahun ke tahun
menyanyikan lagu yang itu-itu saja, jumlah anggotanya tidak pernah pasti,
jadual latihan tidak menentu, bahkan tanpa latihan pun bisa tampil; hal itu
dianggap biasa/wajar dalam pelayanan. “Namanya juga pelayanan, sudah baik masih
mau tampil”.
Memang, pelayanan yang dilakukan seperti
itu tidak salah, sebab Bunda Teresa pun pernah menyatakan bahwa:
“Tuhan tidak pernah menuntut kita untuk Sukses, Dia hanya mengharuskan kita
Berusaha”. Namun sesungguhnya, pelayanan yang dilakukan seperti itu dapat
dianggap sebagai pelayanan yang kurang baik. Oleh sebab
itu sebaiknya kita perlu kembali belajar kepada Perjanjian
Baru mengenai makna pelayanan yang baik :
Kata yang dipakai dalam Perjanjian Baru untuk
menunjuk pada “pelayanan” adalah: diakoneo, douleo, leitourgeo, dan latreuo.
Makna tiap kata itu tidak sama. Diakoneo: melayani orang yang lebih rendah dari
dirinya; Douleo: menghamba, melayani orang yang lebih tinggi dari dirinya;
Leitourgeo: kerja bakti untuk kepentingan orang banyak; sedangkan Latreuo:
bekerja untuk mendapatkan latron (upah, gaji, kualitas). Dari ke-4
kata yang biasa dipakai oleh Perjanjian Baru itu, maka dapatlah ditarik
kesimpulan bahwa:pelayanan adalah aktifitas yang dilakukan, baik untuk
kepentingan sesama maupun untuk kemuliaan Allah, menuju suatu pencapaian yang
baik (berkualitas), sehingga harus dilakukan secara profesional (dengan
kemampuan dan minat).
-------
Oleh sebab itu jugalah, maka seluruh bagian
Alkitab yang sedang kita perbincangkan saat ini sesungguhnya menekankan
bahwa: pelayanan itu tak lain adalah ‘karya’ atau ‘kerja’.
Sebab ketika ‘kerja’ itu merupakan sebuah upaya “menghidupi diri sendiri” (lih.
II Tes. 3:10), maka
demikian juga ‘pelayanan’, yakni “menghidupi imannya sendiri”. Oleh karena itu,
maka ‘pelayanan’ pun perlu dilakukan dengan ketekunan, sebab
seperti halnya manusia hidup butuh makan, kehidupan iman pun butuh makanan yang
dihasilkan dari buah-buah pelayanan (agar tetap memperoleh hidup, lih. Lukas
21:19). Dan jika pelayanan yang dilakukan itu bukanlah sebuah
karya yang profesional, berkualitas, dan tanpa minat, maka tentu buah-buah yang
dihasilkannya pun tidak akan mengenyangkan kehidupan beriman. Oleh sebab itu,
maka kinerja dalam pelayanan itu haruslah sebuah upaya yang profesional,
berkualitas, serta penuh tekad dan minat.
Apa yang sedang
diwacanakan ini bukanlah bermaksud untuk membedakan, bahwa: pekerjaan itu
hanyalah aktifitas yang menyangkut kehidupan profan (duniawi), sedangkan
pelayanan itu menyangkut kehidupan iman (sorgawi). Sebab sesungguhnya keduanya,
baik pekerjaan maupun pelayanan itu adalah aktifitas yang menyangkut kehidupan
profan (duniawi) sekaligus kehidupan iman (sorgawi). Zaman Kerajaan 1000 tahun
(zaman akhir) yang sedang terjadi dan kita alami saat ini pada hakekatnya
adalah kehidupan duniawi di bawah pemerintahan (kendali) Sang Kristus, sehingga
kerja/pelayanan umatNya pun berkenaan dengan seluruh kepentingan, baik sorgawi
maupun duniawi. Pelayanan/kerja bagi kepentingan sesama, kepentingan diri
sendiri dan bagi kemuliaan Tuhan, semuanya haruslah dilakukan sesuai kehendak
Kristus, dan tidak perlu dipertentangkan antara satu dengan yang lain: mana
yang sorgawi atau mana yang duniawi. Dengan demikian, maka:
§
Mereka yang menjadi Guru, baiklah mereka
mendidik dengan ketekunan dan kinerja yang gigih bagi kebaikan para muridnya
sekaligus demi kemuliaan Sang Kristus.
§
Mereka yang menjadi pegawai negeri, baiklah
mereka mengabdi dengan ketekunan dan kinerja yang gigih bagi kebaikan
masyarakat sekaligus demi kemuliaan Sang Kristus.
§
Mereka yang menjadi dokter, baiklah mereka
mengobati dengan ketekunan dan kinerja yang gigih bagi kebaikan lingkungannya
sekaligus demi kemuliaan Sang Kristus.
Medan
17 November 2013
Pdt.
T.M. Karo-karo, STh,MA
Khotbah Minggu 17
November 2013
GMI Kasih Karunia,
Medan
Nats Alkitab : Lukas
21: 5-19
Bersama Injil Markus (13:1), di bagian ini pun
Lukas menggambarkan bahwa bangunan Bait Allah bukanlah sekedar bangunan yang
menjadi obyek wisata yang sangat terkenal, karena merupakan bangunan yang
sangat besar/megah, sangat indah (super-estetik), dan sangat kokoh/kuat dengan
dindingnya yang sangat tebal, namun juga merupakan bangunan yang menjadi simbol
negara dan simbol kedekatan hubungan antara umat Yahudi dengan Allah.
Bangunan ini adalah simbol Yudaisme –– yang menyangkut seluruh aspek kehidupan
Yahudi, mulai aspek sosial, ekonomi, politik, maupun budaya. Kondisi bangsa
Yahudi dilukiskan secara nyata oleh keberadaan bangunan ini. Oleh sebab itu,
hancurnya gedung Bait Allah juga menyatakan hancurnya Yahudi sebagai bangsa dan
negara.
Dan sungguh mengejutkan bila mengenai Bait Allah ini Tuhan Yesus
justru berkata: “akan datang harinya di mana tidak ada satu batu pun akan
dibiarkan terletak di atas batu yang lain” (ay. 6). Ini memang merupakan
nubuatan yang secara harfiah benar-benar terjadi pada th 70, dimana pasukan
Romawi di bawah pimpinan Jenderal Titus membumi-hanguskan Yerusalem, termasuk
Bait Allah. Namun, sesungguhnya kehancuran Bait Allah yang dimaksudkan Yesus menunjuk
pada konsep mengenai akhir zaman. Memang, kebetulan secara fisik
Bait Allah benar-benar runtuh pada th 70, tetapi bukan itu maksud perkataan
Tuhan di ay. 6 ini. Sebab, di bagian ini Tuhan Yesus sesungguhnya ingin
memaparkan suatu pemahaman eskatologis, bahwa: hancurnya Bait Allah adalah
simbol yang menunjuk pada hancurnya kedekatan hubungan antara manusia dengan
Allahnya. Zaman yang penuh cobaan ini, ditandai dengan: penyesatan
(ay. 8); peperangan dan pemberontakan (9-10); gempa bumi, penyakit, kelaparan,
teror, dan tanda-tanda surgawi yang besar yang akan mendahului Kedatangan Kedua
Kali (ay. 11). Secara rinci tanda-tanda
surgawi ini disebut dalam Kitab Wahyu ps. 6-18. Namun hal-hal itu belumlah
seberapa, sebab yang paling berpengaruh adalah bahwa: pada zaman ini kehidupan
orang beriman akan mengalami ujian yang berat. Berbagai ujian yang akan dialami
orang beriman itu dipaparkan Lukas dalam ay. 12, di antaranya: mereka akan
dimusuhi di sinagog-sinagog (bnd. Mat. 10:17; Mrk 13:9), ditangkap, dianiaya,
dipenjara, dan dihadapkan kepada para penguasa bangsa lain untuk diadili (bnd.
Mat 10:18; Mrk 13:9). Semua itu terjadi oleh karena “nama-Ku” –– yakni karena
iman mereka kepada Yesus. Di samping itu, di ay. 16-17, mereka juga akan
mengalami pengkhianatan dari kerabat dekat dan teman-teman (bdk. Mrk 13:12).
Akan tetapi ujian yang
dihadapi oleh orang beriman itu justru merupakan kesempatan bagi mereka untuk
dapat “bersaksi” (ay. 13).
Dan dalam melakukan “kesaksian”-nya ini mereka tidak perlu khawatir tentang apa
yang harus mereka katakan, melainkan hanya bergantung pada janji Yesus yang
akan membantu mereka berkata-kata (bdk. Kel. 4:11, 15; Yeh. 29:21) dan
kebijaksanaan yang akan mereka butuhkan saat itu (bdk. 12:11-12; Mat. 10:19-20,
Mrk 13:11). Ini semua akan mereka terima melalui karya Roh
Kudus kepada mereka (Mrk 13:11). Mereka akan menemukan bahwa kesaksian mereka
akan menjadi sangat kuat. Ini semua akhirnya memang benar-benar terjadi dalam
kehidupan gereja mula-mula (mis., Kis 4:14; 6:10; 8:3; 12:4; 21:11; 22:4, 27:1,
28:17) dan di sepanjang sejarah gereja. Dalam hal ini, Yesus berjanji bahwa Dia
akan selalu menjaga mereka agar tetap aman (ay. 18). Ini mungkin berarti bahwa
tidak ada bahaya yang akan menimpa mereka tanpa seizin Bapa (ay 16; bnd. Kis 27:34).
Beberapa penafsir percaya bahwa hal ini hanyalah mengacu pada keselamatan
rohani, tetapi tidak terhadap keselamatan jasmani.
Hal terpenting di sini (ay. 19) adalah
bahwa: dengan ketekunan dalam karya, saat mereka dianiaya, hal itu
justru akan melestarikan kehidupan mereka (Yun. ktesesthe tas
psychas hymon). Artinya, mereka tidak akan mati sebelum dikehendaki
Tuhan (ay 18). Beberapa penafsir percaya bahwa ayat ini bertujuan menyatakan
bahwa mereka yang bertahan sampai akhir akan mengalami keselamatan (bnd. Mat
24:13, Mrk 13:13). Mereka yang tetap setia sampai akhir dari masa Kesengsaraan
akan masuk ke dalam kerajaan tanpa kematian (bnd. Mat 24:13, Mrk 13:13). Ini
berarti bahwa ketekunan dalam karya akan
mendatangkan ganjaran kekal (lih. ay. 36; Why 2:10).
Aplikasi
Di kalangan orang Kristen, ada yang
beranggapan bahwa pelayanan adalah sesuatu yang
dilakukan secara sukarela. Namun, “sukarela” ini kadang dimaknai sebagai
‘sesukanya’ atau se-‘rela’-nya sehingga membuat kualitas pelayanan itu sendiri
menjadi berkurang, tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh (kalau sempat),
bahkan tidak perlu membutuhkan keterampilan khusus. Definisi pelayanan yang
seperti ini seringkali dibedakan dengan definisi mengenai pekerjaan,
yakni: sesuatu yang dilakukan, semestinya secara profesional (kemampuan khusus
yang dibayar), untuk mencari nafkah, atau mendapatkan suatu hasil. Kalangan
seperti ini menganggap bahwa bekerja berbeda dengan melayani,
sebab melayani bisa dilakukan oleh siapa saja, termasuk jenis kegiatan yang dapat
dilakukan secara serabutan, dan tidak berorientasi pada hasil melainkan pada
ketekunan.
Sepintas, idea semacam ini pada kenyataannya memang ada
benarnya, bahkan seperti inilah yang berlaku secara umum di banyak gereja. Maka
tak mengherankan jika berbagai bentuk pelayanan gerejawi, dalam komisi apapun,
seringkali terkesan asal-asalan, kurang berkualitas, bahkan yang penting ada
kemauan. Sebagai contoh: jika paduan suara gerejawi, dari tahun ke tahun
menyanyikan lagu yang itu-itu saja, jumlah anggotanya tidak pernah pasti,
jadual latihan tidak menentu, bahkan tanpa latihan pun bisa tampil; hal itu
dianggap biasa/wajar dalam pelayanan. “Namanya juga pelayanan, sudah baik masih
mau tampil”.
Memang, pelayanan yang dilakukan seperti
itu tidak salah, sebab Bunda Teresa pun pernah menyatakan bahwa:
“Tuhan tidak pernah menuntut kita untuk Sukses, Dia hanya mengharuskan kita
Berusaha”. Namun sesungguhnya, pelayanan yang dilakukan seperti itu dapat
dianggap sebagai pelayanan yang kurang baik. Oleh sebab
itu sebaiknya kita perlu kembali belajar kepada Perjanjian
Baru mengenai makna pelayanan yang baik :
Kata yang dipakai dalam Perjanjian Baru untuk
menunjuk pada “pelayanan” adalah: diakoneo, douleo, leitourgeo, dan latreuo.
Makna tiap kata itu tidak sama. Diakoneo: melayani orang yang lebih rendah dari
dirinya; Douleo: menghamba, melayani orang yang lebih tinggi dari dirinya;
Leitourgeo: kerja bakti untuk kepentingan orang banyak; sedangkan Latreuo:
bekerja untuk mendapatkan latron (upah, gaji, kualitas). Dari ke-4
kata yang biasa dipakai oleh Perjanjian Baru itu, maka dapatlah ditarik
kesimpulan bahwa:pelayanan adalah aktifitas yang dilakukan, baik untuk
kepentingan sesama maupun untuk kemuliaan Allah, menuju suatu pencapaian yang
baik (berkualitas), sehingga harus dilakukan secara profesional (dengan
kemampuan dan minat).
-------
Oleh sebab itu jugalah, maka seluruh bagian
Alkitab yang sedang kita perbincangkan saat ini sesungguhnya menekankan
bahwa: pelayanan itu tak lain adalah ‘karya’ atau ‘kerja’.
Sebab ketika ‘kerja’ itu merupakan sebuah upaya “menghidupi diri sendiri” (lih.
II Tes. 3:10), maka
demikian juga ‘pelayanan’, yakni “menghidupi imannya sendiri”. Oleh karena itu,
maka ‘pelayanan’ pun perlu dilakukan dengan ketekunan, sebab
seperti halnya manusia hidup butuh makan, kehidupan iman pun butuh makanan yang
dihasilkan dari buah-buah pelayanan (agar tetap memperoleh hidup, lih. Lukas
21:19). Dan jika pelayanan yang dilakukan itu bukanlah sebuah
karya yang profesional, berkualitas, dan tanpa minat, maka tentu buah-buah yang
dihasilkannya pun tidak akan mengenyangkan kehidupan beriman. Oleh sebab itu,
maka kinerja dalam pelayanan itu haruslah sebuah upaya yang profesional,
berkualitas, serta penuh tekad dan minat.
Apa yang sedang
diwacanakan ini bukanlah bermaksud untuk membedakan, bahwa: pekerjaan itu
hanyalah aktifitas yang menyangkut kehidupan profan (duniawi), sedangkan
pelayanan itu menyangkut kehidupan iman (sorgawi). Sebab sesungguhnya keduanya,
baik pekerjaan maupun pelayanan itu adalah aktifitas yang menyangkut kehidupan
profan (duniawi) sekaligus kehidupan iman (sorgawi). Zaman Kerajaan 1000 tahun
(zaman akhir) yang sedang terjadi dan kita alami saat ini pada hakekatnya
adalah kehidupan duniawi di bawah pemerintahan (kendali) Sang Kristus, sehingga
kerja/pelayanan umatNya pun berkenaan dengan seluruh kepentingan, baik sorgawi
maupun duniawi. Pelayanan/kerja bagi kepentingan sesama, kepentingan diri
sendiri dan bagi kemuliaan Tuhan, semuanya haruslah dilakukan sesuai kehendak
Kristus, dan tidak perlu dipertentangkan antara satu dengan yang lain: mana
yang sorgawi atau mana yang duniawi. Dengan demikian, maka:
§
Mereka yang menjadi Guru, baiklah mereka
mendidik dengan ketekunan dan kinerja yang gigih bagi kebaikan para muridnya
sekaligus demi kemuliaan Sang Kristus.
§
Mereka yang menjadi pegawai negeri, baiklah
mereka mengabdi dengan ketekunan dan kinerja yang gigih bagi kebaikan
masyarakat sekaligus demi kemuliaan Sang Kristus.
§
Mereka yang menjadi dokter, baiklah mereka
mengobati dengan ketekunan dan kinerja yang gigih bagi kebaikan lingkungannya
sekaligus demi kemuliaan Sang Kristus.
Medan
17 November 2013
Pdt.
T.M. Karo-karo, STh,MA
Khotbah Minggu 17
November 2013
GMI Kasih Karunia,
Medan
Nats Alkitab : Lukas
21: 5-19
Bersama Injil Markus (13:1), di bagian ini pun
Lukas menggambarkan bahwa bangunan Bait Allah bukanlah sekedar bangunan yang
menjadi obyek wisata yang sangat terkenal, karena merupakan bangunan yang
sangat besar/megah, sangat indah (super-estetik), dan sangat kokoh/kuat dengan
dindingnya yang sangat tebal, namun juga merupakan bangunan yang menjadi simbol
negara dan simbol kedekatan hubungan antara umat Yahudi dengan Allah.
Bangunan ini adalah simbol Yudaisme –– yang menyangkut seluruh aspek kehidupan
Yahudi, mulai aspek sosial, ekonomi, politik, maupun budaya. Kondisi bangsa
Yahudi dilukiskan secara nyata oleh keberadaan bangunan ini. Oleh sebab itu,
hancurnya gedung Bait Allah juga menyatakan hancurnya Yahudi sebagai bangsa dan
negara.
Dan sungguh mengejutkan bila mengenai Bait Allah ini Tuhan Yesus
justru berkata: “akan datang harinya di mana tidak ada satu batu pun akan
dibiarkan terletak di atas batu yang lain” (ay. 6). Ini memang merupakan
nubuatan yang secara harfiah benar-benar terjadi pada th 70, dimana pasukan
Romawi di bawah pimpinan Jenderal Titus membumi-hanguskan Yerusalem, termasuk
Bait Allah. Namun, sesungguhnya kehancuran Bait Allah yang dimaksudkan Yesus menunjuk
pada konsep mengenai akhir zaman. Memang, kebetulan secara fisik
Bait Allah benar-benar runtuh pada th 70, tetapi bukan itu maksud perkataan
Tuhan di ay. 6 ini. Sebab, di bagian ini Tuhan Yesus sesungguhnya ingin
memaparkan suatu pemahaman eskatologis, bahwa: hancurnya Bait Allah adalah
simbol yang menunjuk pada hancurnya kedekatan hubungan antara manusia dengan
Allahnya. Zaman yang penuh cobaan ini, ditandai dengan: penyesatan
(ay. 8); peperangan dan pemberontakan (9-10); gempa bumi, penyakit, kelaparan,
teror, dan tanda-tanda surgawi yang besar yang akan mendahului Kedatangan Kedua
Kali (ay. 11). Secara rinci tanda-tanda
surgawi ini disebut dalam Kitab Wahyu ps. 6-18. Namun hal-hal itu belumlah
seberapa, sebab yang paling berpengaruh adalah bahwa: pada zaman ini kehidupan
orang beriman akan mengalami ujian yang berat. Berbagai ujian yang akan dialami
orang beriman itu dipaparkan Lukas dalam ay. 12, di antaranya: mereka akan
dimusuhi di sinagog-sinagog (bnd. Mat. 10:17; Mrk 13:9), ditangkap, dianiaya,
dipenjara, dan dihadapkan kepada para penguasa bangsa lain untuk diadili (bnd.
Mat 10:18; Mrk 13:9). Semua itu terjadi oleh karena “nama-Ku” –– yakni karena
iman mereka kepada Yesus. Di samping itu, di ay. 16-17, mereka juga akan
mengalami pengkhianatan dari kerabat dekat dan teman-teman (bdk. Mrk 13:12).
Akan tetapi ujian yang
dihadapi oleh orang beriman itu justru merupakan kesempatan bagi mereka untuk
dapat “bersaksi” (ay. 13).
Dan dalam melakukan “kesaksian”-nya ini mereka tidak perlu khawatir tentang apa
yang harus mereka katakan, melainkan hanya bergantung pada janji Yesus yang
akan membantu mereka berkata-kata (bdk. Kel. 4:11, 15; Yeh. 29:21) dan
kebijaksanaan yang akan mereka butuhkan saat itu (bdk. 12:11-12; Mat. 10:19-20,
Mrk 13:11). Ini semua akan mereka terima melalui karya Roh
Kudus kepada mereka (Mrk 13:11). Mereka akan menemukan bahwa kesaksian mereka
akan menjadi sangat kuat. Ini semua akhirnya memang benar-benar terjadi dalam
kehidupan gereja mula-mula (mis., Kis 4:14; 6:10; 8:3; 12:4; 21:11; 22:4, 27:1,
28:17) dan di sepanjang sejarah gereja. Dalam hal ini, Yesus berjanji bahwa Dia
akan selalu menjaga mereka agar tetap aman (ay. 18). Ini mungkin berarti bahwa
tidak ada bahaya yang akan menimpa mereka tanpa seizin Bapa (ay 16; bnd. Kis 27:34).
Beberapa penafsir percaya bahwa hal ini hanyalah mengacu pada keselamatan
rohani, tetapi tidak terhadap keselamatan jasmani.
Hal terpenting di sini (ay. 19) adalah
bahwa: dengan ketekunan dalam karya, saat mereka dianiaya, hal itu
justru akan melestarikan kehidupan mereka (Yun. ktesesthe tas
psychas hymon). Artinya, mereka tidak akan mati sebelum dikehendaki
Tuhan (ay 18). Beberapa penafsir percaya bahwa ayat ini bertujuan menyatakan
bahwa mereka yang bertahan sampai akhir akan mengalami keselamatan (bnd. Mat
24:13, Mrk 13:13). Mereka yang tetap setia sampai akhir dari masa Kesengsaraan
akan masuk ke dalam kerajaan tanpa kematian (bnd. Mat 24:13, Mrk 13:13). Ini
berarti bahwa ketekunan dalam karya akan
mendatangkan ganjaran kekal (lih. ay. 36; Why 2:10).
Aplikasi
Di kalangan orang Kristen, ada yang
beranggapan bahwa pelayanan adalah sesuatu yang
dilakukan secara sukarela. Namun, “sukarela” ini kadang dimaknai sebagai
‘sesukanya’ atau se-‘rela’-nya sehingga membuat kualitas pelayanan itu sendiri
menjadi berkurang, tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh (kalau sempat),
bahkan tidak perlu membutuhkan keterampilan khusus. Definisi pelayanan yang
seperti ini seringkali dibedakan dengan definisi mengenai pekerjaan,
yakni: sesuatu yang dilakukan, semestinya secara profesional (kemampuan khusus
yang dibayar), untuk mencari nafkah, atau mendapatkan suatu hasil. Kalangan
seperti ini menganggap bahwa bekerja berbeda dengan melayani,
sebab melayani bisa dilakukan oleh siapa saja, termasuk jenis kegiatan yang dapat
dilakukan secara serabutan, dan tidak berorientasi pada hasil melainkan pada
ketekunan.
Sepintas, idea semacam ini pada kenyataannya memang ada
benarnya, bahkan seperti inilah yang berlaku secara umum di banyak gereja. Maka
tak mengherankan jika berbagai bentuk pelayanan gerejawi, dalam komisi apapun,
seringkali terkesan asal-asalan, kurang berkualitas, bahkan yang penting ada
kemauan. Sebagai contoh: jika paduan suara gerejawi, dari tahun ke tahun
menyanyikan lagu yang itu-itu saja, jumlah anggotanya tidak pernah pasti,
jadual latihan tidak menentu, bahkan tanpa latihan pun bisa tampil; hal itu
dianggap biasa/wajar dalam pelayanan. “Namanya juga pelayanan, sudah baik masih
mau tampil”.
Memang, pelayanan yang dilakukan seperti
itu tidak salah, sebab Bunda Teresa pun pernah menyatakan bahwa:
“Tuhan tidak pernah menuntut kita untuk Sukses, Dia hanya mengharuskan kita
Berusaha”. Namun sesungguhnya, pelayanan yang dilakukan seperti itu dapat
dianggap sebagai pelayanan yang kurang baik. Oleh sebab
itu sebaiknya kita perlu kembali belajar kepada Perjanjian
Baru mengenai makna pelayanan yang baik :
Kata yang dipakai dalam Perjanjian Baru untuk
menunjuk pada “pelayanan” adalah: diakoneo, douleo, leitourgeo, dan latreuo.
Makna tiap kata itu tidak sama. Diakoneo: melayani orang yang lebih rendah dari
dirinya; Douleo: menghamba, melayani orang yang lebih tinggi dari dirinya;
Leitourgeo: kerja bakti untuk kepentingan orang banyak; sedangkan Latreuo:
bekerja untuk mendapatkan latron (upah, gaji, kualitas). Dari ke-4
kata yang biasa dipakai oleh Perjanjian Baru itu, maka dapatlah ditarik
kesimpulan bahwa:pelayanan adalah aktifitas yang dilakukan, baik untuk
kepentingan sesama maupun untuk kemuliaan Allah, menuju suatu pencapaian yang
baik (berkualitas), sehingga harus dilakukan secara profesional (dengan
kemampuan dan minat).
-------
Oleh sebab itu jugalah, maka seluruh bagian
Alkitab yang sedang kita perbincangkan saat ini sesungguhnya menekankan
bahwa: pelayanan itu tak lain adalah ‘karya’ atau ‘kerja’.
Sebab ketika ‘kerja’ itu merupakan sebuah upaya “menghidupi diri sendiri” (lih.
II Tes. 3:10), maka
demikian juga ‘pelayanan’, yakni “menghidupi imannya sendiri”. Oleh karena itu,
maka ‘pelayanan’ pun perlu dilakukan dengan ketekunan, sebab
seperti halnya manusia hidup butuh makan, kehidupan iman pun butuh makanan yang
dihasilkan dari buah-buah pelayanan (agar tetap memperoleh hidup, lih. Lukas
21:19). Dan jika pelayanan yang dilakukan itu bukanlah sebuah
karya yang profesional, berkualitas, dan tanpa minat, maka tentu buah-buah yang
dihasilkannya pun tidak akan mengenyangkan kehidupan beriman. Oleh sebab itu,
maka kinerja dalam pelayanan itu haruslah sebuah upaya yang profesional,
berkualitas, serta penuh tekad dan minat.
Apa yang sedang
diwacanakan ini bukanlah bermaksud untuk membedakan, bahwa: pekerjaan itu
hanyalah aktifitas yang menyangkut kehidupan profan (duniawi), sedangkan
pelayanan itu menyangkut kehidupan iman (sorgawi). Sebab sesungguhnya keduanya,
baik pekerjaan maupun pelayanan itu adalah aktifitas yang menyangkut kehidupan
profan (duniawi) sekaligus kehidupan iman (sorgawi). Zaman Kerajaan 1000 tahun
(zaman akhir) yang sedang terjadi dan kita alami saat ini pada hakekatnya
adalah kehidupan duniawi di bawah pemerintahan (kendali) Sang Kristus, sehingga
kerja/pelayanan umatNya pun berkenaan dengan seluruh kepentingan, baik sorgawi
maupun duniawi. Pelayanan/kerja bagi kepentingan sesama, kepentingan diri
sendiri dan bagi kemuliaan Tuhan, semuanya haruslah dilakukan sesuai kehendak
Kristus, dan tidak perlu dipertentangkan antara satu dengan yang lain: mana
yang sorgawi atau mana yang duniawi. Dengan demikian, maka:
§
Mereka yang menjadi Guru, baiklah mereka
mendidik dengan ketekunan dan kinerja yang gigih bagi kebaikan para muridnya
sekaligus demi kemuliaan Sang Kristus.
§
Mereka yang menjadi pegawai negeri, baiklah
mereka mengabdi dengan ketekunan dan kinerja yang gigih bagi kebaikan
masyarakat sekaligus demi kemuliaan Sang Kristus.
§
Mereka yang menjadi dokter, baiklah mereka
mengobati dengan ketekunan dan kinerja yang gigih bagi kebaikan lingkungannya
sekaligus demi kemuliaan Sang Kristus.
Medan
17 November 2013
Pdt.
T.M. Karo-karo, STh,MA
Khotbah Minggu 17
November 2013
GMI Kasih Karunia,
Medan
Nats Alkitab : Lukas
21: 5-19
Bersama Injil Markus (13:1), di bagian ini pun
Lukas menggambarkan bahwa bangunan Bait Allah bukanlah sekedar bangunan yang
menjadi obyek wisata yang sangat terkenal, karena merupakan bangunan yang
sangat besar/megah, sangat indah (super-estetik), dan sangat kokoh/kuat dengan
dindingnya yang sangat tebal, namun juga merupakan bangunan yang menjadi simbol
negara dan simbol kedekatan hubungan antara umat Yahudi dengan Allah.
Bangunan ini adalah simbol Yudaisme –– yang menyangkut seluruh aspek kehidupan
Yahudi, mulai aspek sosial, ekonomi, politik, maupun budaya. Kondisi bangsa
Yahudi dilukiskan secara nyata oleh keberadaan bangunan ini. Oleh sebab itu,
hancurnya gedung Bait Allah juga menyatakan hancurnya Yahudi sebagai bangsa dan
negara.
Dan sungguh mengejutkan bila mengenai Bait Allah ini Tuhan Yesus
justru berkata: “akan datang harinya di mana tidak ada satu batu pun akan
dibiarkan terletak di atas batu yang lain” (ay. 6). Ini memang merupakan
nubuatan yang secara harfiah benar-benar terjadi pada th 70, dimana pasukan
Romawi di bawah pimpinan Jenderal Titus membumi-hanguskan Yerusalem, termasuk
Bait Allah. Namun, sesungguhnya kehancuran Bait Allah yang dimaksudkan Yesus menunjuk
pada konsep mengenai akhir zaman. Memang, kebetulan secara fisik
Bait Allah benar-benar runtuh pada th 70, tetapi bukan itu maksud perkataan
Tuhan di ay. 6 ini. Sebab, di bagian ini Tuhan Yesus sesungguhnya ingin
memaparkan suatu pemahaman eskatologis, bahwa: hancurnya Bait Allah adalah
simbol yang menunjuk pada hancurnya kedekatan hubungan antara manusia dengan
Allahnya. Zaman yang penuh cobaan ini, ditandai dengan: penyesatan
(ay. 8); peperangan dan pemberontakan (9-10); gempa bumi, penyakit, kelaparan,
teror, dan tanda-tanda surgawi yang besar yang akan mendahului Kedatangan Kedua
Kali (ay. 11). Secara rinci tanda-tanda
surgawi ini disebut dalam Kitab Wahyu ps. 6-18. Namun hal-hal itu belumlah
seberapa, sebab yang paling berpengaruh adalah bahwa: pada zaman ini kehidupan
orang beriman akan mengalami ujian yang berat. Berbagai ujian yang akan dialami
orang beriman itu dipaparkan Lukas dalam ay. 12, di antaranya: mereka akan
dimusuhi di sinagog-sinagog (bnd. Mat. 10:17; Mrk 13:9), ditangkap, dianiaya,
dipenjara, dan dihadapkan kepada para penguasa bangsa lain untuk diadili (bnd.
Mat 10:18; Mrk 13:9). Semua itu terjadi oleh karena “nama-Ku” –– yakni karena
iman mereka kepada Yesus. Di samping itu, di ay. 16-17, mereka juga akan
mengalami pengkhianatan dari kerabat dekat dan teman-teman (bdk. Mrk 13:12).
Akan tetapi ujian yang
dihadapi oleh orang beriman itu justru merupakan kesempatan bagi mereka untuk
dapat “bersaksi” (ay. 13).
Dan dalam melakukan “kesaksian”-nya ini mereka tidak perlu khawatir tentang apa
yang harus mereka katakan, melainkan hanya bergantung pada janji Yesus yang
akan membantu mereka berkata-kata (bdk. Kel. 4:11, 15; Yeh. 29:21) dan
kebijaksanaan yang akan mereka butuhkan saat itu (bdk. 12:11-12; Mat. 10:19-20,
Mrk 13:11). Ini semua akan mereka terima melalui karya Roh
Kudus kepada mereka (Mrk 13:11). Mereka akan menemukan bahwa kesaksian mereka
akan menjadi sangat kuat. Ini semua akhirnya memang benar-benar terjadi dalam
kehidupan gereja mula-mula (mis., Kis 4:14; 6:10; 8:3; 12:4; 21:11; 22:4, 27:1,
28:17) dan di sepanjang sejarah gereja. Dalam hal ini, Yesus berjanji bahwa Dia
akan selalu menjaga mereka agar tetap aman (ay. 18). Ini mungkin berarti bahwa
tidak ada bahaya yang akan menimpa mereka tanpa seizin Bapa (ay 16; bnd. Kis 27:34).
Beberapa penafsir percaya bahwa hal ini hanyalah mengacu pada keselamatan
rohani, tetapi tidak terhadap keselamatan jasmani.
Hal terpenting di sini (ay. 19) adalah
bahwa: dengan ketekunan dalam karya, saat mereka dianiaya, hal itu
justru akan melestarikan kehidupan mereka (Yun. ktesesthe tas
psychas hymon). Artinya, mereka tidak akan mati sebelum dikehendaki
Tuhan (ay 18). Beberapa penafsir percaya bahwa ayat ini bertujuan menyatakan
bahwa mereka yang bertahan sampai akhir akan mengalami keselamatan (bnd. Mat
24:13, Mrk 13:13). Mereka yang tetap setia sampai akhir dari masa Kesengsaraan
akan masuk ke dalam kerajaan tanpa kematian (bnd. Mat 24:13, Mrk 13:13). Ini
berarti bahwa ketekunan dalam karya akan
mendatangkan ganjaran kekal (lih. ay. 36; Why 2:10).
Aplikasi
Di kalangan orang Kristen, ada yang
beranggapan bahwa pelayanan adalah sesuatu yang
dilakukan secara sukarela. Namun, “sukarela” ini kadang dimaknai sebagai
‘sesukanya’ atau se-‘rela’-nya sehingga membuat kualitas pelayanan itu sendiri
menjadi berkurang, tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh (kalau sempat),
bahkan tidak perlu membutuhkan keterampilan khusus. Definisi pelayanan yang
seperti ini seringkali dibedakan dengan definisi mengenai pekerjaan,
yakni: sesuatu yang dilakukan, semestinya secara profesional (kemampuan khusus
yang dibayar), untuk mencari nafkah, atau mendapatkan suatu hasil. Kalangan
seperti ini menganggap bahwa bekerja berbeda dengan melayani,
sebab melayani bisa dilakukan oleh siapa saja, termasuk jenis kegiatan yang dapat
dilakukan secara serabutan, dan tidak berorientasi pada hasil melainkan pada
ketekunan.
Sepintas, idea semacam ini pada kenyataannya memang ada
benarnya, bahkan seperti inilah yang berlaku secara umum di banyak gereja. Maka
tak mengherankan jika berbagai bentuk pelayanan gerejawi, dalam komisi apapun,
seringkali terkesan asal-asalan, kurang berkualitas, bahkan yang penting ada
kemauan. Sebagai contoh: jika paduan suara gerejawi, dari tahun ke tahun
menyanyikan lagu yang itu-itu saja, jumlah anggotanya tidak pernah pasti,
jadual latihan tidak menentu, bahkan tanpa latihan pun bisa tampil; hal itu
dianggap biasa/wajar dalam pelayanan. “Namanya juga pelayanan, sudah baik masih
mau tampil”.
Memang, pelayanan yang dilakukan seperti
itu tidak salah, sebab Bunda Teresa pun pernah menyatakan bahwa:
“Tuhan tidak pernah menuntut kita untuk Sukses, Dia hanya mengharuskan kita
Berusaha”. Namun sesungguhnya, pelayanan yang dilakukan seperti itu dapat
dianggap sebagai pelayanan yang kurang baik. Oleh sebab
itu sebaiknya kita perlu kembali belajar kepada Perjanjian
Baru mengenai makna pelayanan yang baik :
Kata yang dipakai dalam Perjanjian Baru untuk
menunjuk pada “pelayanan” adalah: diakoneo, douleo, leitourgeo, dan latreuo.
Makna tiap kata itu tidak sama. Diakoneo: melayani orang yang lebih rendah dari
dirinya; Douleo: menghamba, melayani orang yang lebih tinggi dari dirinya;
Leitourgeo: kerja bakti untuk kepentingan orang banyak; sedangkan Latreuo:
bekerja untuk mendapatkan latron (upah, gaji, kualitas). Dari ke-4
kata yang biasa dipakai oleh Perjanjian Baru itu, maka dapatlah ditarik
kesimpulan bahwa:pelayanan adalah aktifitas yang dilakukan, baik untuk
kepentingan sesama maupun untuk kemuliaan Allah, menuju suatu pencapaian yang
baik (berkualitas), sehingga harus dilakukan secara profesional (dengan
kemampuan dan minat).
-------
Oleh sebab itu jugalah, maka seluruh bagian
Alkitab yang sedang kita perbincangkan saat ini sesungguhnya menekankan
bahwa: pelayanan itu tak lain adalah ‘karya’ atau ‘kerja’.
Sebab ketika ‘kerja’ itu merupakan sebuah upaya “menghidupi diri sendiri” (lih.
II Tes. 3:10), maka
demikian juga ‘pelayanan’, yakni “menghidupi imannya sendiri”. Oleh karena itu,
maka ‘pelayanan’ pun perlu dilakukan dengan ketekunan, sebab
seperti halnya manusia hidup butuh makan, kehidupan iman pun butuh makanan yang
dihasilkan dari buah-buah pelayanan (agar tetap memperoleh hidup, lih. Lukas
21:19). Dan jika pelayanan yang dilakukan itu bukanlah sebuah
karya yang profesional, berkualitas, dan tanpa minat, maka tentu buah-buah yang
dihasilkannya pun tidak akan mengenyangkan kehidupan beriman. Oleh sebab itu,
maka kinerja dalam pelayanan itu haruslah sebuah upaya yang profesional,
berkualitas, serta penuh tekad dan minat.
Apa yang sedang
diwacanakan ini bukanlah bermaksud untuk membedakan, bahwa: pekerjaan itu
hanyalah aktifitas yang menyangkut kehidupan profan (duniawi), sedangkan
pelayanan itu menyangkut kehidupan iman (sorgawi). Sebab sesungguhnya keduanya,
baik pekerjaan maupun pelayanan itu adalah aktifitas yang menyangkut kehidupan
profan (duniawi) sekaligus kehidupan iman (sorgawi). Zaman Kerajaan 1000 tahun
(zaman akhir) yang sedang terjadi dan kita alami saat ini pada hakekatnya
adalah kehidupan duniawi di bawah pemerintahan (kendali) Sang Kristus, sehingga
kerja/pelayanan umatNya pun berkenaan dengan seluruh kepentingan, baik sorgawi
maupun duniawi. Pelayanan/kerja bagi kepentingan sesama, kepentingan diri
sendiri dan bagi kemuliaan Tuhan, semuanya haruslah dilakukan sesuai kehendak
Kristus, dan tidak perlu dipertentangkan antara satu dengan yang lain: mana
yang sorgawi atau mana yang duniawi. Dengan demikian, maka:
§
Mereka yang menjadi Guru, baiklah mereka
mendidik dengan ketekunan dan kinerja yang gigih bagi kebaikan para muridnya
sekaligus demi kemuliaan Sang Kristus.
§
Mereka yang menjadi pegawai negeri, baiklah
mereka mengabdi dengan ketekunan dan kinerja yang gigih bagi kebaikan
masyarakat sekaligus demi kemuliaan Sang Kristus.
§
Mereka yang menjadi dokter, baiklah mereka
mengobati dengan ketekunan dan kinerja yang gigih bagi kebaikan lingkungannya
sekaligus demi kemuliaan Sang Kristus.
Medan
17 November 2013
Pdt.
T.M. Karo-karo, STh,MA
Khotbah Minggu 17
November 2013
GMI Kasih Karunia,
Medan
Nats Alkitab : Lukas
21: 5-19
Bersama Injil Markus (13:1), di bagian ini pun
Lukas menggambarkan bahwa bangunan Bait Allah bukanlah sekedar bangunan yang
menjadi obyek wisata yang sangat terkenal, karena merupakan bangunan yang
sangat besar/megah, sangat indah (super-estetik), dan sangat kokoh/kuat dengan
dindingnya yang sangat tebal, namun juga merupakan bangunan yang menjadi simbol
negara dan simbol kedekatan hubungan antara umat Yahudi dengan Allah.
Bangunan ini adalah simbol Yudaisme –– yang menyangkut seluruh aspek kehidupan
Yahudi, mulai aspek sosial, ekonomi, politik, maupun budaya. Kondisi bangsa
Yahudi dilukiskan secara nyata oleh keberadaan bangunan ini. Oleh sebab itu,
hancurnya gedung Bait Allah juga menyatakan hancurnya Yahudi sebagai bangsa dan
negara.
Dan sungguh mengejutkan bila mengenai Bait Allah ini Tuhan Yesus
justru berkata: “akan datang harinya di mana tidak ada satu batu pun akan
dibiarkan terletak di atas batu yang lain” (ay. 6). Ini memang merupakan
nubuatan yang secara harfiah benar-benar terjadi pada th 70, dimana pasukan
Romawi di bawah pimpinan Jenderal Titus membumi-hanguskan Yerusalem, termasuk
Bait Allah. Namun, sesungguhnya kehancuran Bait Allah yang dimaksudkan Yesus menunjuk
pada konsep mengenai akhir zaman. Memang, kebetulan secara fisik
Bait Allah benar-benar runtuh pada th 70, tetapi bukan itu maksud perkataan
Tuhan di ay. 6 ini. Sebab, di bagian ini Tuhan Yesus sesungguhnya ingin
memaparkan suatu pemahaman eskatologis, bahwa: hancurnya Bait Allah adalah
simbol yang menunjuk pada hancurnya kedekatan hubungan antara manusia dengan
Allahnya. Zaman yang penuh cobaan ini, ditandai dengan: penyesatan
(ay. 8); peperangan dan pemberontakan (9-10); gempa bumi, penyakit, kelaparan,
teror, dan tanda-tanda surgawi yang besar yang akan mendahului Kedatangan Kedua
Kali (ay. 11). Secara rinci tanda-tanda
surgawi ini disebut dalam Kitab Wahyu ps. 6-18. Namun hal-hal itu belumlah
seberapa, sebab yang paling berpengaruh adalah bahwa: pada zaman ini kehidupan
orang beriman akan mengalami ujian yang berat. Berbagai ujian yang akan dialami
orang beriman itu dipaparkan Lukas dalam ay. 12, di antaranya: mereka akan
dimusuhi di sinagog-sinagog (bnd. Mat. 10:17; Mrk 13:9), ditangkap, dianiaya,
dipenjara, dan dihadapkan kepada para penguasa bangsa lain untuk diadili (bnd.
Mat 10:18; Mrk 13:9). Semua itu terjadi oleh karena “nama-Ku” –– yakni karena
iman mereka kepada Yesus. Di samping itu, di ay. 16-17, mereka juga akan
mengalami pengkhianatan dari kerabat dekat dan teman-teman (bdk. Mrk 13:12).
Akan tetapi ujian yang
dihadapi oleh orang beriman itu justru merupakan kesempatan bagi mereka untuk
dapat “bersaksi” (ay. 13).
Dan dalam melakukan “kesaksian”-nya ini mereka tidak perlu khawatir tentang apa
yang harus mereka katakan, melainkan hanya bergantung pada janji Yesus yang
akan membantu mereka berkata-kata (bdk. Kel. 4:11, 15; Yeh. 29:21) dan
kebijaksanaan yang akan mereka butuhkan saat itu (bdk. 12:11-12; Mat. 10:19-20,
Mrk 13:11). Ini semua akan mereka terima melalui karya Roh
Kudus kepada mereka (Mrk 13:11). Mereka akan menemukan bahwa kesaksian mereka
akan menjadi sangat kuat. Ini semua akhirnya memang benar-benar terjadi dalam
kehidupan gereja mula-mula (mis., Kis 4:14; 6:10; 8:3; 12:4; 21:11; 22:4, 27:1,
28:17) dan di sepanjang sejarah gereja. Dalam hal ini, Yesus berjanji bahwa Dia
akan selalu menjaga mereka agar tetap aman (ay. 18). Ini mungkin berarti bahwa
tidak ada bahaya yang akan menimpa mereka tanpa seizin Bapa (ay 16; bnd. Kis 27:34).
Beberapa penafsir percaya bahwa hal ini hanyalah mengacu pada keselamatan
rohani, tetapi tidak terhadap keselamatan jasmani.
Hal terpenting di sini (ay. 19) adalah
bahwa: dengan ketekunan dalam karya, saat mereka dianiaya, hal itu
justru akan melestarikan kehidupan mereka (Yun. ktesesthe tas
psychas hymon). Artinya, mereka tidak akan mati sebelum dikehendaki
Tuhan (ay 18). Beberapa penafsir percaya bahwa ayat ini bertujuan menyatakan
bahwa mereka yang bertahan sampai akhir akan mengalami keselamatan (bnd. Mat
24:13, Mrk 13:13). Mereka yang tetap setia sampai akhir dari masa Kesengsaraan
akan masuk ke dalam kerajaan tanpa kematian (bnd. Mat 24:13, Mrk 13:13). Ini
berarti bahwa ketekunan dalam karya akan
mendatangkan ganjaran kekal (lih. ay. 36; Why 2:10).
Aplikasi
Di kalangan orang Kristen, ada yang
beranggapan bahwa pelayanan adalah sesuatu yang
dilakukan secara sukarela. Namun, “sukarela” ini kadang dimaknai sebagai
‘sesukanya’ atau se-‘rela’-nya sehingga membuat kualitas pelayanan itu sendiri
menjadi berkurang, tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh (kalau sempat),
bahkan tidak perlu membutuhkan keterampilan khusus. Definisi pelayanan yang
seperti ini seringkali dibedakan dengan definisi mengenai pekerjaan,
yakni: sesuatu yang dilakukan, semestinya secara profesional (kemampuan khusus
yang dibayar), untuk mencari nafkah, atau mendapatkan suatu hasil. Kalangan
seperti ini menganggap bahwa bekerja berbeda dengan melayani,
sebab melayani bisa dilakukan oleh siapa saja, termasuk jenis kegiatan yang dapat
dilakukan secara serabutan, dan tidak berorientasi pada hasil melainkan pada
ketekunan.
Sepintas, idea semacam ini pada kenyataannya memang ada
benarnya, bahkan seperti inilah yang berlaku secara umum di banyak gereja. Maka
tak mengherankan jika berbagai bentuk pelayanan gerejawi, dalam komisi apapun,
seringkali terkesan asal-asalan, kurang berkualitas, bahkan yang penting ada
kemauan. Sebagai contoh: jika paduan suara gerejawi, dari tahun ke tahun
menyanyikan lagu yang itu-itu saja, jumlah anggotanya tidak pernah pasti,
jadual latihan tidak menentu, bahkan tanpa latihan pun bisa tampil; hal itu
dianggap biasa/wajar dalam pelayanan. “Namanya juga pelayanan, sudah baik masih
mau tampil”.
Memang, pelayanan yang dilakukan seperti
itu tidak salah, sebab Bunda Teresa pun pernah menyatakan bahwa:
“Tuhan tidak pernah menuntut kita untuk Sukses, Dia hanya mengharuskan kita
Berusaha”. Namun sesungguhnya, pelayanan yang dilakukan seperti itu dapat
dianggap sebagai pelayanan yang kurang baik. Oleh sebab
itu sebaiknya kita perlu kembali belajar kepada Perjanjian
Baru mengenai makna pelayanan yang baik :
Kata yang dipakai dalam Perjanjian Baru untuk
menunjuk pada “pelayanan” adalah: diakoneo, douleo, leitourgeo, dan latreuo.
Makna tiap kata itu tidak sama. Diakoneo: melayani orang yang lebih rendah dari
dirinya; Douleo: menghamba, melayani orang yang lebih tinggi dari dirinya;
Leitourgeo: kerja bakti untuk kepentingan orang banyak; sedangkan Latreuo:
bekerja untuk mendapatkan latron (upah, gaji, kualitas). Dari ke-4
kata yang biasa dipakai oleh Perjanjian Baru itu, maka dapatlah ditarik
kesimpulan bahwa:pelayanan adalah aktifitas yang dilakukan, baik untuk
kepentingan sesama maupun untuk kemuliaan Allah, menuju suatu pencapaian yang
baik (berkualitas), sehingga harus dilakukan secara profesional (dengan
kemampuan dan minat).
-------
Oleh sebab itu jugalah, maka seluruh bagian
Alkitab yang sedang kita perbincangkan saat ini sesungguhnya menekankan
bahwa: pelayanan itu tak lain adalah ‘karya’ atau ‘kerja’.
Sebab ketika ‘kerja’ itu merupakan sebuah upaya “menghidupi diri sendiri” (lih.
II Tes. 3:10), maka
demikian juga ‘pelayanan’, yakni “menghidupi imannya sendiri”. Oleh karena itu,
maka ‘pelayanan’ pun perlu dilakukan dengan ketekunan, sebab
seperti halnya manusia hidup butuh makan, kehidupan iman pun butuh makanan yang
dihasilkan dari buah-buah pelayanan (agar tetap memperoleh hidup, lih. Lukas
21:19). Dan jika pelayanan yang dilakukan itu bukanlah sebuah
karya yang profesional, berkualitas, dan tanpa minat, maka tentu buah-buah yang
dihasilkannya pun tidak akan mengenyangkan kehidupan beriman. Oleh sebab itu,
maka kinerja dalam pelayanan itu haruslah sebuah upaya yang profesional,
berkualitas, serta penuh tekad dan minat.
Apa yang sedang
diwacanakan ini bukanlah bermaksud untuk membedakan, bahwa: pekerjaan itu
hanyalah aktifitas yang menyangkut kehidupan profan (duniawi), sedangkan
pelayanan itu menyangkut kehidupan iman (sorgawi). Sebab sesungguhnya keduanya,
baik pekerjaan maupun pelayanan itu adalah aktifitas yang menyangkut kehidupan
profan (duniawi) sekaligus kehidupan iman (sorgawi). Zaman Kerajaan 1000 tahun
(zaman akhir) yang sedang terjadi dan kita alami saat ini pada hakekatnya
adalah kehidupan duniawi di bawah pemerintahan (kendali) Sang Kristus, sehingga
kerja/pelayanan umatNya pun berkenaan dengan seluruh kepentingan, baik sorgawi
maupun duniawi. Pelayanan/kerja bagi kepentingan sesama, kepentingan diri
sendiri dan bagi kemuliaan Tuhan, semuanya haruslah dilakukan sesuai kehendak
Kristus, dan tidak perlu dipertentangkan antara satu dengan yang lain: mana
yang sorgawi atau mana yang duniawi. Dengan demikian, maka:
§
Mereka yang menjadi Guru, baiklah mereka
mendidik dengan ketekunan dan kinerja yang gigih bagi kebaikan para muridnya
sekaligus demi kemuliaan Sang Kristus.
§
Mereka yang menjadi pegawai negeri, baiklah
mereka mengabdi dengan ketekunan dan kinerja yang gigih bagi kebaikan
masyarakat sekaligus demi kemuliaan Sang Kristus.
§
Mereka yang menjadi dokter, baiklah mereka
mengobati dengan ketekunan dan kinerja yang gigih bagi kebaikan lingkungannya
sekaligus demi kemuliaan Sang Kristus.
Medan
17 November 2013
Pdt.
T.M. Karo-karo, STh,MA
Khotbah Minggu 17
November 2013
GMI Kasih Karunia,
Medan
Nats Alkitab : Lukas
21: 5-19
Bersama Injil Markus (13:1), di bagian ini pun
Lukas menggambarkan bahwa bangunan Bait Allah bukanlah sekedar bangunan yang
menjadi obyek wisata yang sangat terkenal, karena merupakan bangunan yang
sangat besar/megah, sangat indah (super-estetik), dan sangat kokoh/kuat dengan
dindingnya yang sangat tebal, namun juga merupakan bangunan yang menjadi simbol
negara dan simbol kedekatan hubungan antara umat Yahudi dengan Allah.
Bangunan ini adalah simbol Yudaisme –– yang menyangkut seluruh aspek kehidupan
Yahudi, mulai aspek sosial, ekonomi, politik, maupun budaya. Kondisi bangsa
Yahudi dilukiskan secara nyata oleh keberadaan bangunan ini. Oleh sebab itu,
hancurnya gedung Bait Allah juga menyatakan hancurnya Yahudi sebagai bangsa dan
negara.
Dan sungguh mengejutkan bila mengenai Bait Allah ini Tuhan Yesus
justru berkata: “akan datang harinya di mana tidak ada satu batu pun akan
dibiarkan terletak di atas batu yang lain” (ay. 6). Ini memang merupakan
nubuatan yang secara harfiah benar-benar terjadi pada th 70, dimana pasukan
Romawi di bawah pimpinan Jenderal Titus membumi-hanguskan Yerusalem, termasuk
Bait Allah. Namun, sesungguhnya kehancuran Bait Allah yang dimaksudkan Yesus menunjuk
pada konsep mengenai akhir zaman. Memang, kebetulan secara fisik
Bait Allah benar-benar runtuh pada th 70, tetapi bukan itu maksud perkataan
Tuhan di ay. 6 ini. Sebab, di bagian ini Tuhan Yesus sesungguhnya ingin
memaparkan suatu pemahaman eskatologis, bahwa: hancurnya Bait Allah adalah
simbol yang menunjuk pada hancurnya kedekatan hubungan antara manusia dengan
Allahnya. Zaman yang penuh cobaan ini, ditandai dengan: penyesatan
(ay. 8); peperangan dan pemberontakan (9-10); gempa bumi, penyakit, kelaparan,
teror, dan tanda-tanda surgawi yang besar yang akan mendahului Kedatangan Kedua
Kali (ay. 11). Secara rinci tanda-tanda
surgawi ini disebut dalam Kitab Wahyu ps. 6-18. Namun hal-hal itu belumlah
seberapa, sebab yang paling berpengaruh adalah bahwa: pada zaman ini kehidupan
orang beriman akan mengalami ujian yang berat. Berbagai ujian yang akan dialami
orang beriman itu dipaparkan Lukas dalam ay. 12, di antaranya: mereka akan
dimusuhi di sinagog-sinagog (bnd. Mat. 10:17; Mrk 13:9), ditangkap, dianiaya,
dipenjara, dan dihadapkan kepada para penguasa bangsa lain untuk diadili (bnd.
Mat 10:18; Mrk 13:9). Semua itu terjadi oleh karena “nama-Ku” –– yakni karena
iman mereka kepada Yesus. Di samping itu, di ay. 16-17, mereka juga akan
mengalami pengkhianatan dari kerabat dekat dan teman-teman (bdk. Mrk 13:12).
Akan tetapi ujian yang
dihadapi oleh orang beriman itu justru merupakan kesempatan bagi mereka untuk
dapat “bersaksi” (ay. 13).
Dan dalam melakukan “kesaksian”-nya ini mereka tidak perlu khawatir tentang apa
yang harus mereka katakan, melainkan hanya bergantung pada janji Yesus yang
akan membantu mereka berkata-kata (bdk. Kel. 4:11, 15; Yeh. 29:21) dan
kebijaksanaan yang akan mereka butuhkan saat itu (bdk. 12:11-12; Mat. 10:19-20,
Mrk 13:11). Ini semua akan mereka terima melalui karya Roh
Kudus kepada mereka (Mrk 13:11). Mereka akan menemukan bahwa kesaksian mereka
akan menjadi sangat kuat. Ini semua akhirnya memang benar-benar terjadi dalam
kehidupan gereja mula-mula (mis., Kis 4:14; 6:10; 8:3; 12:4; 21:11; 22:4, 27:1,
28:17) dan di sepanjang sejarah gereja. Dalam hal ini, Yesus berjanji bahwa Dia
akan selalu menjaga mereka agar tetap aman (ay. 18). Ini mungkin berarti bahwa
tidak ada bahaya yang akan menimpa mereka tanpa seizin Bapa (ay 16; bnd. Kis 27:34).
Beberapa penafsir percaya bahwa hal ini hanyalah mengacu pada keselamatan
rohani, tetapi tidak terhadap keselamatan jasmani.
Hal terpenting di sini (ay. 19) adalah
bahwa: dengan ketekunan dalam karya, saat mereka dianiaya, hal itu
justru akan melestarikan kehidupan mereka (Yun. ktesesthe tas
psychas hymon). Artinya, mereka tidak akan mati sebelum dikehendaki
Tuhan (ay 18). Beberapa penafsir percaya bahwa ayat ini bertujuan menyatakan
bahwa mereka yang bertahan sampai akhir akan mengalami keselamatan (bnd. Mat
24:13, Mrk 13:13). Mereka yang tetap setia sampai akhir dari masa Kesengsaraan
akan masuk ke dalam kerajaan tanpa kematian (bnd. Mat 24:13, Mrk 13:13). Ini
berarti bahwa ketekunan dalam karya akan
mendatangkan ganjaran kekal (lih. ay. 36; Why 2:10).
Aplikasi
Di kalangan orang Kristen, ada yang
beranggapan bahwa pelayanan adalah sesuatu yang
dilakukan secara sukarela. Namun, “sukarela” ini kadang dimaknai sebagai
‘sesukanya’ atau se-‘rela’-nya sehingga membuat kualitas pelayanan itu sendiri
menjadi berkurang, tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh (kalau sempat),
bahkan tidak perlu membutuhkan keterampilan khusus. Definisi pelayanan yang
seperti ini seringkali dibedakan dengan definisi mengenai pekerjaan,
yakni: sesuatu yang dilakukan, semestinya secara profesional (kemampuan khusus
yang dibayar), untuk mencari nafkah, atau mendapatkan suatu hasil. Kalangan
seperti ini menganggap bahwa bekerja berbeda dengan melayani,
sebab melayani bisa dilakukan oleh siapa saja, termasuk jenis kegiatan yang dapat
dilakukan secara serabutan, dan tidak berorientasi pada hasil melainkan pada
ketekunan.
Sepintas, idea semacam ini pada kenyataannya memang ada
benarnya, bahkan seperti inilah yang berlaku secara umum di banyak gereja. Maka
tak mengherankan jika berbagai bentuk pelayanan gerejawi, dalam komisi apapun,
seringkali terkesan asal-asalan, kurang berkualitas, bahkan yang penting ada
kemauan. Sebagai contoh: jika paduan suara gerejawi, dari tahun ke tahun
menyanyikan lagu yang itu-itu saja, jumlah anggotanya tidak pernah pasti,
jadual latihan tidak menentu, bahkan tanpa latihan pun bisa tampil; hal itu
dianggap biasa/wajar dalam pelayanan. “Namanya juga pelayanan, sudah baik masih
mau tampil”.
Memang, pelayanan yang dilakukan seperti
itu tidak salah, sebab Bunda Teresa pun pernah menyatakan bahwa:
“Tuhan tidak pernah menuntut kita untuk Sukses, Dia hanya mengharuskan kita
Berusaha”. Namun sesungguhnya, pelayanan yang dilakukan seperti itu dapat
dianggap sebagai pelayanan yang kurang baik. Oleh sebab
itu sebaiknya kita perlu kembali belajar kepada Perjanjian
Baru mengenai makna pelayanan yang baik :
Kata yang dipakai dalam Perjanjian Baru untuk
menunjuk pada “pelayanan” adalah: diakoneo, douleo, leitourgeo, dan latreuo.
Makna tiap kata itu tidak sama. Diakoneo: melayani orang yang lebih rendah dari
dirinya; Douleo: menghamba, melayani orang yang lebih tinggi dari dirinya;
Leitourgeo: kerja bakti untuk kepentingan orang banyak; sedangkan Latreuo:
bekerja untuk mendapatkan latron (upah, gaji, kualitas). Dari ke-4
kata yang biasa dipakai oleh Perjanjian Baru itu, maka dapatlah ditarik
kesimpulan bahwa:pelayanan adalah aktifitas yang dilakukan, baik untuk
kepentingan sesama maupun untuk kemuliaan Allah, menuju suatu pencapaian yang
baik (berkualitas), sehingga harus dilakukan secara profesional (dengan
kemampuan dan minat).
-------
Oleh sebab itu jugalah, maka seluruh bagian
Alkitab yang sedang kita perbincangkan saat ini sesungguhnya menekankan
bahwa: pelayanan itu tak lain adalah ‘karya’ atau ‘kerja’.
Sebab ketika ‘kerja’ itu merupakan sebuah upaya “menghidupi diri sendiri” (lih.
II Tes. 3:10), maka
demikian juga ‘pelayanan’, yakni “menghidupi imannya sendiri”. Oleh karena itu,
maka ‘pelayanan’ pun perlu dilakukan dengan ketekunan, sebab
seperti halnya manusia hidup butuh makan, kehidupan iman pun butuh makanan yang
dihasilkan dari buah-buah pelayanan (agar tetap memperoleh hidup, lih. Lukas
21:19). Dan jika pelayanan yang dilakukan itu bukanlah sebuah
karya yang profesional, berkualitas, dan tanpa minat, maka tentu buah-buah yang
dihasilkannya pun tidak akan mengenyangkan kehidupan beriman. Oleh sebab itu,
maka kinerja dalam pelayanan itu haruslah sebuah upaya yang profesional,
berkualitas, serta penuh tekad dan minat.
Apa yang sedang
diwacanakan ini bukanlah bermaksud untuk membedakan, bahwa: pekerjaan itu
hanyalah aktifitas yang menyangkut kehidupan profan (duniawi), sedangkan
pelayanan itu menyangkut kehidupan iman (sorgawi). Sebab sesungguhnya keduanya,
baik pekerjaan maupun pelayanan itu adalah aktifitas yang menyangkut kehidupan
profan (duniawi) sekaligus kehidupan iman (sorgawi). Zaman Kerajaan 1000 tahun
(zaman akhir) yang sedang terjadi dan kita alami saat ini pada hakekatnya
adalah kehidupan duniawi di bawah pemerintahan (kendali) Sang Kristus, sehingga
kerja/pelayanan umatNya pun berkenaan dengan seluruh kepentingan, baik sorgawi
maupun duniawi. Pelayanan/kerja bagi kepentingan sesama, kepentingan diri
sendiri dan bagi kemuliaan Tuhan, semuanya haruslah dilakukan sesuai kehendak
Kristus, dan tidak perlu dipertentangkan antara satu dengan yang lain: mana
yang sorgawi atau mana yang duniawi. Dengan demikian, maka:
§
Mereka yang menjadi Guru, baiklah mereka
mendidik dengan ketekunan dan kinerja yang gigih bagi kebaikan para muridnya
sekaligus demi kemuliaan Sang Kristus.
§
Mereka yang menjadi pegawai negeri, baiklah
mereka mengabdi dengan ketekunan dan kinerja yang gigih bagi kebaikan
masyarakat sekaligus demi kemuliaan Sang Kristus.
§
Mereka yang menjadi dokter, baiklah mereka
mengobati dengan ketekunan dan kinerja yang gigih bagi kebaikan lingkungannya
sekaligus demi kemuliaan Sang Kristus.
Medan
17 November 2013
Pdt.
T.M. Karo-karo, STh,MA
Khotbah Minggu 17
November 2013
GMI Kasih Karunia,
Medan
Nats Alkitab : Lukas
21: 5-19
Bersama Injil Markus (13:1), di bagian ini pun
Lukas menggambarkan bahwa bangunan Bait Allah bukanlah sekedar bangunan yang
menjadi obyek wisata yang sangat terkenal, karena merupakan bangunan yang
sangat besar/megah, sangat indah (super-estetik), dan sangat kokoh/kuat dengan
dindingnya yang sangat tebal, namun juga merupakan bangunan yang menjadi simbol
negara dan simbol kedekatan hubungan antara umat Yahudi dengan Allah.
Bangunan ini adalah simbol Yudaisme –– yang menyangkut seluruh aspek kehidupan
Yahudi, mulai aspek sosial, ekonomi, politik, maupun budaya. Kondisi bangsa
Yahudi dilukiskan secara nyata oleh keberadaan bangunan ini. Oleh sebab itu,
hancurnya gedung Bait Allah juga menyatakan hancurnya Yahudi sebagai bangsa dan
negara.
Dan sungguh mengejutkan bila mengenai Bait Allah ini Tuhan Yesus
justru berkata: “akan datang harinya di mana tidak ada satu batu pun akan
dibiarkan terletak di atas batu yang lain” (ay. 6). Ini memang merupakan
nubuatan yang secara harfiah benar-benar terjadi pada th 70, dimana pasukan
Romawi di bawah pimpinan Jenderal Titus membumi-hanguskan Yerusalem, termasuk
Bait Allah. Namun, sesungguhnya kehancuran Bait Allah yang dimaksudkan Yesus menunjuk
pada konsep mengenai akhir zaman. Memang, kebetulan secara fisik
Bait Allah benar-benar runtuh pada th 70, tetapi bukan itu maksud perkataan
Tuhan di ay. 6 ini. Sebab, di bagian ini Tuhan Yesus sesungguhnya ingin
memaparkan suatu pemahaman eskatologis, bahwa: hancurnya Bait Allah adalah
simbol yang menunjuk pada hancurnya kedekatan hubungan antara manusia dengan
Allahnya. Zaman yang penuh cobaan ini, ditandai dengan: penyesatan
(ay. 8); peperangan dan pemberontakan (9-10); gempa bumi, penyakit, kelaparan,
teror, dan tanda-tanda surgawi yang besar yang akan mendahului Kedatangan Kedua
Kali (ay. 11). Secara rinci tanda-tanda
surgawi ini disebut dalam Kitab Wahyu ps. 6-18. Namun hal-hal itu belumlah
seberapa, sebab yang paling berpengaruh adalah bahwa: pada zaman ini kehidupan
orang beriman akan mengalami ujian yang berat. Berbagai ujian yang akan dialami
orang beriman itu dipaparkan Lukas dalam ay. 12, di antaranya: mereka akan
dimusuhi di sinagog-sinagog (bnd. Mat. 10:17; Mrk 13:9), ditangkap, dianiaya,
dipenjara, dan dihadapkan kepada para penguasa bangsa lain untuk diadili (bnd.
Mat 10:18; Mrk 13:9). Semua itu terjadi oleh karena “nama-Ku” –– yakni karena
iman mereka kepada Yesus. Di samping itu, di ay. 16-17, mereka juga akan
mengalami pengkhianatan dari kerabat dekat dan teman-teman (bdk. Mrk 13:12).
Akan tetapi ujian yang
dihadapi oleh orang beriman itu justru merupakan kesempatan bagi mereka untuk
dapat “bersaksi” (ay. 13).
Dan dalam melakukan “kesaksian”-nya ini mereka tidak perlu khawatir tentang apa
yang harus mereka katakan, melainkan hanya bergantung pada janji Yesus yang
akan membantu mereka berkata-kata (bdk. Kel. 4:11, 15; Yeh. 29:21) dan
kebijaksanaan yang akan mereka butuhkan saat itu (bdk. 12:11-12; Mat. 10:19-20,
Mrk 13:11). Ini semua akan mereka terima melalui karya Roh
Kudus kepada mereka (Mrk 13:11). Mereka akan menemukan bahwa kesaksian mereka
akan menjadi sangat kuat. Ini semua akhirnya memang benar-benar terjadi dalam
kehidupan gereja mula-mula (mis., Kis 4:14; 6:10; 8:3; 12:4; 21:11; 22:4, 27:1,
28:17) dan di sepanjang sejarah gereja. Dalam hal ini, Yesus berjanji bahwa Dia
akan selalu menjaga mereka agar tetap aman (ay. 18). Ini mungkin berarti bahwa
tidak ada bahaya yang akan menimpa mereka tanpa seizin Bapa (ay 16; bnd. Kis 27:34).
Beberapa penafsir percaya bahwa hal ini hanyalah mengacu pada keselamatan
rohani, tetapi tidak terhadap keselamatan jasmani.
Hal terpenting di sini (ay. 19) adalah
bahwa: dengan ketekunan dalam karya, saat mereka dianiaya, hal itu
justru akan melestarikan kehidupan mereka (Yun. ktesesthe tas
psychas hymon). Artinya, mereka tidak akan mati sebelum dikehendaki
Tuhan (ay 18). Beberapa penafsir percaya bahwa ayat ini bertujuan menyatakan
bahwa mereka yang bertahan sampai akhir akan mengalami keselamatan (bnd. Mat
24:13, Mrk 13:13). Mereka yang tetap setia sampai akhir dari masa Kesengsaraan
akan masuk ke dalam kerajaan tanpa kematian (bnd. Mat 24:13, Mrk 13:13). Ini
berarti bahwa ketekunan dalam karya akan
mendatangkan ganjaran kekal (lih. ay. 36; Why 2:10).
Aplikasi
Di kalangan orang Kristen, ada yang
beranggapan bahwa pelayanan adalah sesuatu yang
dilakukan secara sukarela. Namun, “sukarela” ini kadang dimaknai sebagai
‘sesukanya’ atau se-‘rela’-nya sehingga membuat kualitas pelayanan itu sendiri
menjadi berkurang, tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh (kalau sempat),
bahkan tidak perlu membutuhkan keterampilan khusus. Definisi pelayanan yang
seperti ini seringkali dibedakan dengan definisi mengenai pekerjaan,
yakni: sesuatu yang dilakukan, semestinya secara profesional (kemampuan khusus
yang dibayar), untuk mencari nafkah, atau mendapatkan suatu hasil. Kalangan
seperti ini menganggap bahwa bekerja berbeda dengan melayani,
sebab melayani bisa dilakukan oleh siapa saja, termasuk jenis kegiatan yang dapat
dilakukan secara serabutan, dan tidak berorientasi pada hasil melainkan pada
ketekunan.
Sepintas, idea semacam ini pada kenyataannya memang ada
benarnya, bahkan seperti inilah yang berlaku secara umum di banyak gereja. Maka
tak mengherankan jika berbagai bentuk pelayanan gerejawi, dalam komisi apapun,
seringkali terkesan asal-asalan, kurang berkualitas, bahkan yang penting ada
kemauan. Sebagai contoh: jika paduan suara gerejawi, dari tahun ke tahun
menyanyikan lagu yang itu-itu saja, jumlah anggotanya tidak pernah pasti,
jadual latihan tidak menentu, bahkan tanpa latihan pun bisa tampil; hal itu
dianggap biasa/wajar dalam pelayanan. “Namanya juga pelayanan, sudah baik masih
mau tampil”.
Memang, pelayanan yang dilakukan seperti
itu tidak salah, sebab Bunda Teresa pun pernah menyatakan bahwa:
“Tuhan tidak pernah menuntut kita untuk Sukses, Dia hanya mengharuskan kita
Berusaha”. Namun sesungguhnya, pelayanan yang dilakukan seperti itu dapat
dianggap sebagai pelayanan yang kurang baik. Oleh sebab
itu sebaiknya kita perlu kembali belajar kepada Perjanjian
Baru mengenai makna pelayanan yang baik :
Kata yang dipakai dalam Perjanjian Baru untuk
menunjuk pada “pelayanan” adalah: diakoneo, douleo, leitourgeo, dan latreuo.
Makna tiap kata itu tidak sama. Diakoneo: melayani orang yang lebih rendah dari
dirinya; Douleo: menghamba, melayani orang yang lebih tinggi dari dirinya;
Leitourgeo: kerja bakti untuk kepentingan orang banyak; sedangkan Latreuo:
bekerja untuk mendapatkan latron (upah, gaji, kualitas). Dari ke-4
kata yang biasa dipakai oleh Perjanjian Baru itu, maka dapatlah ditarik
kesimpulan bahwa:pelayanan adalah aktifitas yang dilakukan, baik untuk
kepentingan sesama maupun untuk kemuliaan Allah, menuju suatu pencapaian yang
baik (berkualitas), sehingga harus dilakukan secara profesional (dengan
kemampuan dan minat).
-------
Oleh sebab itu jugalah, maka seluruh bagian
Alkitab yang sedang kita perbincangkan saat ini sesungguhnya menekankan
bahwa: pelayanan itu tak lain adalah ‘karya’ atau ‘kerja’.
Sebab ketika ‘kerja’ itu merupakan sebuah upaya “menghidupi diri sendiri” (lih.
II Tes. 3:10), maka
demikian juga ‘pelayanan’, yakni “menghidupi imannya sendiri”. Oleh karena itu,
maka ‘pelayanan’ pun perlu dilakukan dengan ketekunan, sebab
seperti halnya manusia hidup butuh makan, kehidupan iman pun butuh makanan yang
dihasilkan dari buah-buah pelayanan (agar tetap memperoleh hidup, lih. Lukas
21:19). Dan jika pelayanan yang dilakukan itu bukanlah sebuah
karya yang profesional, berkualitas, dan tanpa minat, maka tentu buah-buah yang
dihasilkannya pun tidak akan mengenyangkan kehidupan beriman. Oleh sebab itu,
maka kinerja dalam pelayanan itu haruslah sebuah upaya yang profesional,
berkualitas, serta penuh tekad dan minat.
Apa yang sedang
diwacanakan ini bukanlah bermaksud untuk membedakan, bahwa: pekerjaan itu
hanyalah aktifitas yang menyangkut kehidupan profan (duniawi), sedangkan
pelayanan itu menyangkut kehidupan iman (sorgawi). Sebab sesungguhnya keduanya,
baik pekerjaan maupun pelayanan itu adalah aktifitas yang menyangkut kehidupan
profan (duniawi) sekaligus kehidupan iman (sorgawi). Zaman Kerajaan 1000 tahun
(zaman akhir) yang sedang terjadi dan kita alami saat ini pada hakekatnya
adalah kehidupan duniawi di bawah pemerintahan (kendali) Sang Kristus, sehingga
kerja/pelayanan umatNya pun berkenaan dengan seluruh kepentingan, baik sorgawi
maupun duniawi. Pelayanan/kerja bagi kepentingan sesama, kepentingan diri
sendiri dan bagi kemuliaan Tuhan, semuanya haruslah dilakukan sesuai kehendak
Kristus, dan tidak perlu dipertentangkan antara satu dengan yang lain: mana
yang sorgawi atau mana yang duniawi. Dengan demikian, maka:
§
Mereka yang menjadi Guru, baiklah mereka
mendidik dengan ketekunan dan kinerja yang gigih bagi kebaikan para muridnya
sekaligus demi kemuliaan Sang Kristus.
§
Mereka yang menjadi pegawai negeri, baiklah
mereka mengabdi dengan ketekunan dan kinerja yang gigih bagi kebaikan
masyarakat sekaligus demi kemuliaan Sang Kristus.
§
Mereka yang menjadi dokter, baiklah mereka
mengobati dengan ketekunan dan kinerja yang gigih bagi kebaikan lingkungannya
sekaligus demi kemuliaan Sang Kristus.
Medan
17 November 2013
Pdt.
T.M. Karo-karo, STh,MA
Khotbah Minggu 17
November 2013
GMI Kasih Karunia,
Medan
Nats Alkitab : Lukas
21: 5-19
Bersama Injil Markus (13:1), di bagian ini pun
Lukas menggambarkan bahwa bangunan Bait Allah bukanlah sekedar bangunan yang
menjadi obyek wisata yang sangat terkenal, karena merupakan bangunan yang
sangat besar/megah, sangat indah (super-estetik), dan sangat kokoh/kuat dengan
dindingnya yang sangat tebal, namun juga merupakan bangunan yang menjadi simbol
negara dan simbol kedekatan hubungan antara umat Yahudi dengan Allah.
Bangunan ini adalah simbol Yudaisme –– yang menyangkut seluruh aspek kehidupan
Yahudi, mulai aspek sosial, ekonomi, politik, maupun budaya. Kondisi bangsa
Yahudi dilukiskan secara nyata oleh keberadaan bangunan ini. Oleh sebab itu,
hancurnya gedung Bait Allah juga menyatakan hancurnya Yahudi sebagai bangsa dan
negara.
Dan sungguh mengejutkan bila mengenai Bait Allah ini Tuhan Yesus
justru berkata: “akan datang harinya di mana tidak ada satu batu pun akan
dibiarkan terletak di atas batu yang lain” (ay. 6). Ini memang merupakan
nubuatan yang secara harfiah benar-benar terjadi pada th 70, dimana pasukan
Romawi di bawah pimpinan Jenderal Titus membumi-hanguskan Yerusalem, termasuk
Bait Allah. Namun, sesungguhnya kehancuran Bait Allah yang dimaksudkan Yesus menunjuk
pada konsep mengenai akhir zaman. Memang, kebetulan secara fisik
Bait Allah benar-benar runtuh pada th 70, tetapi bukan itu maksud perkataan
Tuhan di ay. 6 ini. Sebab, di bagian ini Tuhan Yesus sesungguhnya ingin
memaparkan suatu pemahaman eskatologis, bahwa: hancurnya Bait Allah adalah
simbol yang menunjuk pada hancurnya kedekatan hubungan antara manusia dengan
Allahnya. Zaman yang penuh cobaan ini, ditandai dengan: penyesatan
(ay. 8); peperangan dan pemberontakan (9-10); gempa bumi, penyakit, kelaparan,
teror, dan tanda-tanda surgawi yang besar yang akan mendahului Kedatangan Kedua
Kali (ay. 11). Secara rinci tanda-tanda
surgawi ini disebut dalam Kitab Wahyu ps. 6-18. Namun hal-hal itu belumlah
seberapa, sebab yang paling berpengaruh adalah bahwa: pada zaman ini kehidupan
orang beriman akan mengalami ujian yang berat. Berbagai ujian yang akan dialami
orang beriman itu dipaparkan Lukas dalam ay. 12, di antaranya: mereka akan
dimusuhi di sinagog-sinagog (bnd. Mat. 10:17; Mrk 13:9), ditangkap, dianiaya,
dipenjara, dan dihadapkan kepada para penguasa bangsa lain untuk diadili (bnd.
Mat 10:18; Mrk 13:9). Semua itu terjadi oleh karena “nama-Ku” –– yakni karena
iman mereka kepada Yesus. Di samping itu, di ay. 16-17, mereka juga akan
mengalami pengkhianatan dari kerabat dekat dan teman-teman (bdk. Mrk 13:12).
Akan tetapi ujian yang
dihadapi oleh orang beriman itu justru merupakan kesempatan bagi mereka untuk
dapat “bersaksi” (ay. 13).
Dan dalam melakukan “kesaksian”-nya ini mereka tidak perlu khawatir tentang apa
yang harus mereka katakan, melainkan hanya bergantung pada janji Yesus yang
akan membantu mereka berkata-kata (bdk. Kel. 4:11, 15; Yeh. 29:21) dan
kebijaksanaan yang akan mereka butuhkan saat itu (bdk. 12:11-12; Mat. 10:19-20,
Mrk 13:11). Ini semua akan mereka terima melalui karya Roh
Kudus kepada mereka (Mrk 13:11). Mereka akan menemukan bahwa kesaksian mereka
akan menjadi sangat kuat. Ini semua akhirnya memang benar-benar terjadi dalam
kehidupan gereja mula-mula (mis., Kis 4:14; 6:10; 8:3; 12:4; 21:11; 22:4, 27:1,
28:17) dan di sepanjang sejarah gereja. Dalam hal ini, Yesus berjanji bahwa Dia
akan selalu menjaga mereka agar tetap aman (ay. 18). Ini mungkin berarti bahwa
tidak ada bahaya yang akan menimpa mereka tanpa seizin Bapa (ay 16; bnd. Kis 27:34).
Beberapa penafsir percaya bahwa hal ini hanyalah mengacu pada keselamatan
rohani, tetapi tidak terhadap keselamatan jasmani.
Hal terpenting di sini (ay. 19) adalah
bahwa: dengan ketekunan dalam karya, saat mereka dianiaya, hal itu
justru akan melestarikan kehidupan mereka (Yun. ktesesthe tas
psychas hymon). Artinya, mereka tidak akan mati sebelum dikehendaki
Tuhan (ay 18). Beberapa penafsir percaya bahwa ayat ini bertujuan menyatakan
bahwa mereka yang bertahan sampai akhir akan mengalami keselamatan (bnd. Mat
24:13, Mrk 13:13). Mereka yang tetap setia sampai akhir dari masa Kesengsaraan
akan masuk ke dalam kerajaan tanpa kematian (bnd. Mat 24:13, Mrk 13:13). Ini
berarti bahwa ketekunan dalam karya akan
mendatangkan ganjaran kekal (lih. ay. 36; Why 2:10).
Aplikasi
Di kalangan orang Kristen, ada yang
beranggapan bahwa pelayanan adalah sesuatu yang
dilakukan secara sukarela. Namun, “sukarela” ini kadang dimaknai sebagai
‘sesukanya’ atau se-‘rela’-nya sehingga membuat kualitas pelayanan itu sendiri
menjadi berkurang, tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh (kalau sempat),
bahkan tidak perlu membutuhkan keterampilan khusus. Definisi pelayanan yang
seperti ini seringkali dibedakan dengan definisi mengenai pekerjaan,
yakni: sesuatu yang dilakukan, semestinya secara profesional (kemampuan khusus
yang dibayar), untuk mencari nafkah, atau mendapatkan suatu hasil. Kalangan
seperti ini menganggap bahwa bekerja berbeda dengan melayani,
sebab melayani bisa dilakukan oleh siapa saja, termasuk jenis kegiatan yang dapat
dilakukan secara serabutan, dan tidak berorientasi pada hasil melainkan pada
ketekunan.
Sepintas, idea semacam ini pada kenyataannya memang ada
benarnya, bahkan seperti inilah yang berlaku secara umum di banyak gereja. Maka
tak mengherankan jika berbagai bentuk pelayanan gerejawi, dalam komisi apapun,
seringkali terkesan asal-asalan, kurang berkualitas, bahkan yang penting ada
kemauan. Sebagai contoh: jika paduan suara gerejawi, dari tahun ke tahun
menyanyikan lagu yang itu-itu saja, jumlah anggotanya tidak pernah pasti,
jadual latihan tidak menentu, bahkan tanpa latihan pun bisa tampil; hal itu
dianggap biasa/wajar dalam pelayanan. “Namanya juga pelayanan, sudah baik masih
mau tampil”.
Memang, pelayanan yang dilakukan seperti
itu tidak salah, sebab Bunda Teresa pun pernah menyatakan bahwa:
“Tuhan tidak pernah menuntut kita untuk Sukses, Dia hanya mengharuskan kita
Berusaha”. Namun sesungguhnya, pelayanan yang dilakukan seperti itu dapat
dianggap sebagai pelayanan yang kurang baik. Oleh sebab
itu sebaiknya kita perlu kembali belajar kepada Perjanjian
Baru mengenai makna pelayanan yang baik :
Kata yang dipakai dalam Perjanjian Baru untuk
menunjuk pada “pelayanan” adalah: diakoneo, douleo, leitourgeo, dan latreuo.
Makna tiap kata itu tidak sama. Diakoneo: melayani orang yang lebih rendah dari
dirinya; Douleo: menghamba, melayani orang yang lebih tinggi dari dirinya;
Leitourgeo: kerja bakti untuk kepentingan orang banyak; sedangkan Latreuo:
bekerja untuk mendapatkan latron (upah, gaji, kualitas). Dari ke-4
kata yang biasa dipakai oleh Perjanjian Baru itu, maka dapatlah ditarik
kesimpulan bahwa:pelayanan adalah aktifitas yang dilakukan, baik untuk
kepentingan sesama maupun untuk kemuliaan Allah, menuju suatu pencapaian yang
baik (berkualitas), sehingga harus dilakukan secara profesional (dengan
kemampuan dan minat).
-------
Oleh sebab itu jugalah, maka seluruh bagian
Alkitab yang sedang kita perbincangkan saat ini sesungguhnya menekankan
bahwa: pelayanan itu tak lain adalah ‘karya’ atau ‘kerja’.
Sebab ketika ‘kerja’ itu merupakan sebuah upaya “menghidupi diri sendiri” (lih.
II Tes. 3:10), maka
demikian juga ‘pelayanan’, yakni “menghidupi imannya sendiri”. Oleh karena itu,
maka ‘pelayanan’ pun perlu dilakukan dengan ketekunan, sebab
seperti halnya manusia hidup butuh makan, kehidupan iman pun butuh makanan yang
dihasilkan dari buah-buah pelayanan (agar tetap memperoleh hidup, lih. Lukas
21:19). Dan jika pelayanan yang dilakukan itu bukanlah sebuah
karya yang profesional, berkualitas, dan tanpa minat, maka tentu buah-buah yang
dihasilkannya pun tidak akan mengenyangkan kehidupan beriman. Oleh sebab itu,
maka kinerja dalam pelayanan itu haruslah sebuah upaya yang profesional,
berkualitas, serta penuh tekad dan minat.
Apa yang sedang
diwacanakan ini bukanlah bermaksud untuk membedakan, bahwa: pekerjaan itu
hanyalah aktifitas yang menyangkut kehidupan profan (duniawi), sedangkan
pelayanan itu menyangkut kehidupan iman (sorgawi). Sebab sesungguhnya keduanya,
baik pekerjaan maupun pelayanan itu adalah aktifitas yang menyangkut kehidupan
profan (duniawi) sekaligus kehidupan iman (sorgawi). Zaman Kerajaan 1000 tahun
(zaman akhir) yang sedang terjadi dan kita alami saat ini pada hakekatnya
adalah kehidupan duniawi di bawah pemerintahan (kendali) Sang Kristus, sehingga
kerja/pelayanan umatNya pun berkenaan dengan seluruh kepentingan, baik sorgawi
maupun duniawi. Pelayanan/kerja bagi kepentingan sesama, kepentingan diri
sendiri dan bagi kemuliaan Tuhan, semuanya haruslah dilakukan sesuai kehendak
Kristus, dan tidak perlu dipertentangkan antara satu dengan yang lain: mana
yang sorgawi atau mana yang duniawi. Dengan demikian, maka:
§
Mereka yang menjadi Guru, baiklah mereka
mendidik dengan ketekunan dan kinerja yang gigih bagi kebaikan para muridnya
sekaligus demi kemuliaan Sang Kristus.
§
Mereka yang menjadi pegawai negeri, baiklah
mereka mengabdi dengan ketekunan dan kinerja yang gigih bagi kebaikan
masyarakat sekaligus demi kemuliaan Sang Kristus.
§
Mereka yang menjadi dokter, baiklah mereka
mengobati dengan ketekunan dan kinerja yang gigih bagi kebaikan lingkungannya
sekaligus demi kemuliaan Sang Kristus.
Medan
17 November 2013
Pdt.
T.M. Karo-karo, STh,MA
Khotbah Minggu 17
November 2013
GMI Kasih Karunia,
Medan
Nats Alkitab : Lukas
21: 5-19
Bersama Injil Markus (13:1), di bagian ini pun
Lukas menggambarkan bahwa bangunan Bait Allah bukanlah sekedar bangunan yang
menjadi obyek wisata yang sangat terkenal, karena merupakan bangunan yang
sangat besar/megah, sangat indah (super-estetik), dan sangat kokoh/kuat dengan
dindingnya yang sangat tebal, namun juga merupakan bangunan yang menjadi simbol
negara dan simbol kedekatan hubungan antara umat Yahudi dengan Allah.
Bangunan ini adalah simbol Yudaisme –– yang menyangkut seluruh aspek kehidupan
Yahudi, mulai aspek sosial, ekonomi, politik, maupun budaya. Kondisi bangsa
Yahudi dilukiskan secara nyata oleh keberadaan bangunan ini. Oleh sebab itu,
hancurnya gedung Bait Allah juga menyatakan hancurnya Yahudi sebagai bangsa dan
negara.
Dan sungguh mengejutkan bila mengenai Bait Allah ini Tuhan Yesus
justru berkata: “akan datang harinya di mana tidak ada satu batu pun akan
dibiarkan terletak di atas batu yang lain” (ay. 6). Ini memang merupakan
nubuatan yang secara harfiah benar-benar terjadi pada th 70, dimana pasukan
Romawi di bawah pimpinan Jenderal Titus membumi-hanguskan Yerusalem, termasuk
Bait Allah. Namun, sesungguhnya kehancuran Bait Allah yang dimaksudkan Yesus menunjuk
pada konsep mengenai akhir zaman. Memang, kebetulan secara fisik
Bait Allah benar-benar runtuh pada th 70, tetapi bukan itu maksud perkataan
Tuhan di ay. 6 ini. Sebab, di bagian ini Tuhan Yesus sesungguhnya ingin
memaparkan suatu pemahaman eskatologis, bahwa: hancurnya Bait Allah adalah
simbol yang menunjuk pada hancurnya kedekatan hubungan antara manusia dengan
Allahnya. Zaman yang penuh cobaan ini, ditandai dengan: penyesatan
(ay. 8); peperangan dan pemberontakan (9-10); gempa bumi, penyakit, kelaparan,
teror, dan tanda-tanda surgawi yang besar yang akan mendahului Kedatangan Kedua
Kali (ay. 11). Secara rinci tanda-tanda
surgawi ini disebut dalam Kitab Wahyu ps. 6-18. Namun hal-hal itu belumlah
seberapa, sebab yang paling berpengaruh adalah bahwa: pada zaman ini kehidupan
orang beriman akan mengalami ujian yang berat. Berbagai ujian yang akan dialami
orang beriman itu dipaparkan Lukas dalam ay. 12, di antaranya: mereka akan
dimusuhi di sinagog-sinagog (bnd. Mat. 10:17; Mrk 13:9), ditangkap, dianiaya,
dipenjara, dan dihadapkan kepada para penguasa bangsa lain untuk diadili (bnd.
Mat 10:18; Mrk 13:9). Semua itu terjadi oleh karena “nama-Ku” –– yakni karena
iman mereka kepada Yesus. Di samping itu, di ay. 16-17, mereka juga akan
mengalami pengkhianatan dari kerabat dekat dan teman-teman (bdk. Mrk 13:12).
Akan tetapi ujian yang
dihadapi oleh orang beriman itu justru merupakan kesempatan bagi mereka untuk
dapat “bersaksi” (ay. 13).
Dan dalam melakukan “kesaksian”-nya ini mereka tidak perlu khawatir tentang apa
yang harus mereka katakan, melainkan hanya bergantung pada janji Yesus yang
akan membantu mereka berkata-kata (bdk. Kel. 4:11, 15; Yeh. 29:21) dan
kebijaksanaan yang akan mereka butuhkan saat itu (bdk. 12:11-12; Mat. 10:19-20,
Mrk 13:11). Ini semua akan mereka terima melalui karya Roh
Kudus kepada mereka (Mrk 13:11). Mereka akan menemukan bahwa kesaksian mereka
akan menjadi sangat kuat. Ini semua akhirnya memang benar-benar terjadi dalam
kehidupan gereja mula-mula (mis., Kis 4:14; 6:10; 8:3; 12:4; 21:11; 22:4, 27:1,
28:17) dan di sepanjang sejarah gereja. Dalam hal ini, Yesus berjanji bahwa Dia
akan selalu menjaga mereka agar tetap aman (ay. 18). Ini mungkin berarti bahwa
tidak ada bahaya yang akan menimpa mereka tanpa seizin Bapa (ay 16; bnd. Kis 27:34).
Beberapa penafsir percaya bahwa hal ini hanyalah mengacu pada keselamatan
rohani, tetapi tidak terhadap keselamatan jasmani.
Hal terpenting di sini (ay. 19) adalah
bahwa: dengan ketekunan dalam karya, saat mereka dianiaya, hal itu
justru akan melestarikan kehidupan mereka (Yun. ktesesthe tas
psychas hymon). Artinya, mereka tidak akan mati sebelum dikehendaki
Tuhan (ay 18). Beberapa penafsir percaya bahwa ayat ini bertujuan menyatakan
bahwa mereka yang bertahan sampai akhir akan mengalami keselamatan (bnd. Mat
24:13, Mrk 13:13). Mereka yang tetap setia sampai akhir dari masa Kesengsaraan
akan masuk ke dalam kerajaan tanpa kematian (bnd. Mat 24:13, Mrk 13:13). Ini
berarti bahwa ketekunan dalam karya akan
mendatangkan ganjaran kekal (lih. ay. 36; Why 2:10).
Aplikasi
Di kalangan orang Kristen, ada yang
beranggapan bahwa pelayanan adalah sesuatu yang
dilakukan secara sukarela. Namun, “sukarela” ini kadang dimaknai sebagai
‘sesukanya’ atau se-‘rela’-nya sehingga membuat kualitas pelayanan itu sendiri
menjadi berkurang, tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh (kalau sempat),
bahkan tidak perlu membutuhkan keterampilan khusus. Definisi pelayanan yang
seperti ini seringkali dibedakan dengan definisi mengenai pekerjaan,
yakni: sesuatu yang dilakukan, semestinya secara profesional (kemampuan khusus
yang dibayar), untuk mencari nafkah, atau mendapatkan suatu hasil. Kalangan
seperti ini menganggap bahwa bekerja berbeda dengan melayani,
sebab melayani bisa dilakukan oleh siapa saja, termasuk jenis kegiatan yang dapat
dilakukan secara serabutan, dan tidak berorientasi pada hasil melainkan pada
ketekunan.
Sepintas, idea semacam ini pada kenyataannya memang ada
benarnya, bahkan seperti inilah yang berlaku secara umum di banyak gereja. Maka
tak mengherankan jika berbagai bentuk pelayanan gerejawi, dalam komisi apapun,
seringkali terkesan asal-asalan, kurang berkualitas, bahkan yang penting ada
kemauan. Sebagai contoh: jika paduan suara gerejawi, dari tahun ke tahun
menyanyikan lagu yang itu-itu saja, jumlah anggotanya tidak pernah pasti,
jadual latihan tidak menentu, bahkan tanpa latihan pun bisa tampil; hal itu
dianggap biasa/wajar dalam pelayanan. “Namanya juga pelayanan, sudah baik masih
mau tampil”.
Memang, pelayanan yang dilakukan seperti
itu tidak salah, sebab Bunda Teresa pun pernah menyatakan bahwa:
“Tuhan tidak pernah menuntut kita untuk Sukses, Dia hanya mengharuskan kita
Berusaha”. Namun sesungguhnya, pelayanan yang dilakukan seperti itu dapat
dianggap sebagai pelayanan yang kurang baik. Oleh sebab
itu sebaiknya kita perlu kembali belajar kepada Perjanjian
Baru mengenai makna pelayanan yang baik :
Kata yang dipakai dalam Perjanjian Baru untuk
menunjuk pada “pelayanan” adalah: diakoneo, douleo, leitourgeo, dan latreuo.
Makna tiap kata itu tidak sama. Diakoneo: melayani orang yang lebih rendah dari
dirinya; Douleo: menghamba, melayani orang yang lebih tinggi dari dirinya;
Leitourgeo: kerja bakti untuk kepentingan orang banyak; sedangkan Latreuo:
bekerja untuk mendapatkan latron (upah, gaji, kualitas). Dari ke-4
kata yang biasa dipakai oleh Perjanjian Baru itu, maka dapatlah ditarik
kesimpulan bahwa:pelayanan adalah aktifitas yang dilakukan, baik untuk
kepentingan sesama maupun untuk kemuliaan Allah, menuju suatu pencapaian yang
baik (berkualitas), sehingga harus dilakukan secara profesional (dengan
kemampuan dan minat).
-------
Oleh sebab itu jugalah, maka seluruh bagian
Alkitab yang sedang kita perbincangkan saat ini sesungguhnya menekankan
bahwa: pelayanan itu tak lain adalah ‘karya’ atau ‘kerja’.
Sebab ketika ‘kerja’ itu merupakan sebuah upaya “menghidupi diri sendiri” (lih.
II Tes. 3:10), maka
demikian juga ‘pelayanan’, yakni “menghidupi imannya sendiri”. Oleh karena itu,
maka ‘pelayanan’ pun perlu dilakukan dengan ketekunan, sebab
seperti halnya manusia hidup butuh makan, kehidupan iman pun butuh makanan yang
dihasilkan dari buah-buah pelayanan (agar tetap memperoleh hidup, lih. Lukas
21:19). Dan jika pelayanan yang dilakukan itu bukanlah sebuah
karya yang profesional, berkualitas, dan tanpa minat, maka tentu buah-buah yang
dihasilkannya pun tidak akan mengenyangkan kehidupan beriman. Oleh sebab itu,
maka kinerja dalam pelayanan itu haruslah sebuah upaya yang profesional,
berkualitas, serta penuh tekad dan minat.
Apa yang sedang
diwacanakan ini bukanlah bermaksud untuk membedakan, bahwa: pekerjaan itu
hanyalah aktifitas yang menyangkut kehidupan profan (duniawi), sedangkan
pelayanan itu menyangkut kehidupan iman (sorgawi). Sebab sesungguhnya keduanya,
baik pekerjaan maupun pelayanan itu adalah aktifitas yang menyangkut kehidupan
profan (duniawi) sekaligus kehidupan iman (sorgawi). Zaman Kerajaan 1000 tahun
(zaman akhir) yang sedang terjadi dan kita alami saat ini pada hakekatnya
adalah kehidupan duniawi di bawah pemerintahan (kendali) Sang Kristus, sehingga
kerja/pelayanan umatNya pun berkenaan dengan seluruh kepentingan, baik sorgawi
maupun duniawi. Pelayanan/kerja bagi kepentingan sesama, kepentingan diri
sendiri dan bagi kemuliaan Tuhan, semuanya haruslah dilakukan sesuai kehendak
Kristus, dan tidak perlu dipertentangkan antara satu dengan yang lain: mana
yang sorgawi atau mana yang duniawi. Dengan demikian, maka:
§
Mereka yang menjadi Guru, baiklah mereka
mendidik dengan ketekunan dan kinerja yang gigih bagi kebaikan para muridnya
sekaligus demi kemuliaan Sang Kristus.
§
Mereka yang menjadi pegawai negeri, baiklah
mereka mengabdi dengan ketekunan dan kinerja yang gigih bagi kebaikan
masyarakat sekaligus demi kemuliaan Sang Kristus.
§
Mereka yang menjadi dokter, baiklah mereka
mengobati dengan ketekunan dan kinerja yang gigih bagi kebaikan lingkungannya
sekaligus demi kemuliaan Sang Kristus.
Medan
17 November 2013
Pdt.
T.M. Karo-karo, STh,MA
Khotbah Minggu 17
November 2013
GMI Kasih Karunia,
Medan
Nats Alkitab : Lukas
21: 5-19
Bersama Injil Markus (13:1), di bagian ini pun
Lukas menggambarkan bahwa bangunan Bait Allah bukanlah sekedar bangunan yang
menjadi obyek wisata yang sangat terkenal, karena merupakan bangunan yang
sangat besar/megah, sangat indah (super-estetik), dan sangat kokoh/kuat dengan
dindingnya yang sangat tebal, namun juga merupakan bangunan yang menjadi simbol
negara dan simbol kedekatan hubungan antara umat Yahudi dengan Allah.
Bangunan ini adalah simbol Yudaisme –– yang menyangkut seluruh aspek kehidupan
Yahudi, mulai aspek sosial, ekonomi, politik, maupun budaya. Kondisi bangsa
Yahudi dilukiskan secara nyata oleh keberadaan bangunan ini. Oleh sebab itu,
hancurnya gedung Bait Allah juga menyatakan hancurnya Yahudi sebagai bangsa dan
negara.
Dan sungguh mengejutkan bila mengenai Bait Allah ini Tuhan Yesus
justru berkata: “akan datang harinya di mana tidak ada satu batu pun akan
dibiarkan terletak di atas batu yang lain” (ay. 6). Ini memang merupakan
nubuatan yang secara harfiah benar-benar terjadi pada th 70, dimana pasukan
Romawi di bawah pimpinan Jenderal Titus membumi-hanguskan Yerusalem, termasuk
Bait Allah. Namun, sesungguhnya kehancuran Bait Allah yang dimaksudkan Yesus menunjuk
pada konsep mengenai akhir zaman. Memang, kebetulan secara fisik
Bait Allah benar-benar runtuh pada th 70, tetapi bukan itu maksud perkataan
Tuhan di ay. 6 ini. Sebab, di bagian ini Tuhan Yesus sesungguhnya ingin
memaparkan suatu pemahaman eskatologis, bahwa: hancurnya Bait Allah adalah
simbol yang menunjuk pada hancurnya kedekatan hubungan antara manusia dengan
Allahnya. Zaman yang penuh cobaan ini, ditandai dengan: penyesatan
(ay. 8); peperangan dan pemberontakan (9-10); gempa bumi, penyakit, kelaparan,
teror, dan tanda-tanda surgawi yang besar yang akan mendahului Kedatangan Kedua
Kali (ay. 11). Secara rinci tanda-tanda
surgawi ini disebut dalam Kitab Wahyu ps. 6-18. Namun hal-hal itu belumlah
seberapa, sebab yang paling berpengaruh adalah bahwa: pada zaman ini kehidupan
orang beriman akan mengalami ujian yang berat. Berbagai ujian yang akan dialami
orang beriman itu dipaparkan Lukas dalam ay. 12, di antaranya: mereka akan
dimusuhi di sinagog-sinagog (bnd. Mat. 10:17; Mrk 13:9), ditangkap, dianiaya,
dipenjara, dan dihadapkan kepada para penguasa bangsa lain untuk diadili (bnd.
Mat 10:18; Mrk 13:9). Semua itu terjadi oleh karena “nama-Ku” –– yakni karena
iman mereka kepada Yesus. Di samping itu, di ay. 16-17, mereka juga akan
mengalami pengkhianatan dari kerabat dekat dan teman-teman (bdk. Mrk 13:12).
Akan tetapi ujian yang
dihadapi oleh orang beriman itu justru merupakan kesempatan bagi mereka untuk
dapat “bersaksi” (ay. 13).
Dan dalam melakukan “kesaksian”-nya ini mereka tidak perlu khawatir tentang apa
yang harus mereka katakan, melainkan hanya bergantung pada janji Yesus yang
akan membantu mereka berkata-kata (bdk. Kel. 4:11, 15; Yeh. 29:21) dan
kebijaksanaan yang akan mereka butuhkan saat itu (bdk. 12:11-12; Mat. 10:19-20,
Mrk 13:11). Ini semua akan mereka terima melalui karya Roh
Kudus kepada mereka (Mrk 13:11). Mereka akan menemukan bahwa kesaksian mereka
akan menjadi sangat kuat. Ini semua akhirnya memang benar-benar terjadi dalam
kehidupan gereja mula-mula (mis., Kis 4:14; 6:10; 8:3; 12:4; 21:11; 22:4, 27:1,
28:17) dan di sepanjang sejarah gereja. Dalam hal ini, Yesus berjanji bahwa Dia
akan selalu menjaga mereka agar tetap aman (ay. 18). Ini mungkin berarti bahwa
tidak ada bahaya yang akan menimpa mereka tanpa seizin Bapa (ay 16; bnd. Kis 27:34).
Beberapa penafsir percaya bahwa hal ini hanyalah mengacu pada keselamatan
rohani, tetapi tidak terhadap keselamatan jasmani.
Hal terpenting di sini (ay. 19) adalah
bahwa: dengan ketekunan dalam karya, saat mereka dianiaya, hal itu
justru akan melestarikan kehidupan mereka (Yun. ktesesthe tas
psychas hymon). Artinya, mereka tidak akan mati sebelum dikehendaki
Tuhan (ay 18). Beberapa penafsir percaya bahwa ayat ini bertujuan menyatakan
bahwa mereka yang bertahan sampai akhir akan mengalami keselamatan (bnd. Mat
24:13, Mrk 13:13). Mereka yang tetap setia sampai akhir dari masa Kesengsaraan
akan masuk ke dalam kerajaan tanpa kematian (bnd. Mat 24:13, Mrk 13:13). Ini
berarti bahwa ketekunan dalam karya akan
mendatangkan ganjaran kekal (lih. ay. 36; Why 2:10).
Aplikasi
Di kalangan orang Kristen, ada yang
beranggapan bahwa pelayanan adalah sesuatu yang
dilakukan secara sukarela. Namun, “sukarela” ini kadang dimaknai sebagai
‘sesukanya’ atau se-‘rela’-nya sehingga membuat kualitas pelayanan itu sendiri
menjadi berkurang, tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh (kalau sempat),
bahkan tidak perlu membutuhkan keterampilan khusus. Definisi pelayanan yang
seperti ini seringkali dibedakan dengan definisi mengenai pekerjaan,
yakni: sesuatu yang dilakukan, semestinya secara profesional (kemampuan khusus
yang dibayar), untuk mencari nafkah, atau mendapatkan suatu hasil. Kalangan
seperti ini menganggap bahwa bekerja berbeda dengan melayani,
sebab melayani bisa dilakukan oleh siapa saja, termasuk jenis kegiatan yang dapat
dilakukan secara serabutan, dan tidak berorientasi pada hasil melainkan pada
ketekunan.
Sepintas, idea semacam ini pada kenyataannya memang ada
benarnya, bahkan seperti inilah yang berlaku secara umum di banyak gereja. Maka
tak mengherankan jika berbagai bentuk pelayanan gerejawi, dalam komisi apapun,
seringkali terkesan asal-asalan, kurang berkualitas, bahkan yang penting ada
kemauan. Sebagai contoh: jika paduan suara gerejawi, dari tahun ke tahun
menyanyikan lagu yang itu-itu saja, jumlah anggotanya tidak pernah pasti,
jadual latihan tidak menentu, bahkan tanpa latihan pun bisa tampil; hal itu
dianggap biasa/wajar dalam pelayanan. “Namanya juga pelayanan, sudah baik masih
mau tampil”.
Memang, pelayanan yang dilakukan seperti
itu tidak salah, sebab Bunda Teresa pun pernah menyatakan bahwa:
“Tuhan tidak pernah menuntut kita untuk Sukses, Dia hanya mengharuskan kita
Berusaha”. Namun sesungguhnya, pelayanan yang dilakukan seperti itu dapat
dianggap sebagai pelayanan yang kurang baik. Oleh sebab
itu sebaiknya kita perlu kembali belajar kepada Perjanjian
Baru mengenai makna pelayanan yang baik :
Kata yang dipakai dalam Perjanjian Baru untuk
menunjuk pada “pelayanan” adalah: diakoneo, douleo, leitourgeo, dan latreuo.
Makna tiap kata itu tidak sama. Diakoneo: melayani orang yang lebih rendah dari
dirinya; Douleo: menghamba, melayani orang yang lebih tinggi dari dirinya;
Leitourgeo: kerja bakti untuk kepentingan orang banyak; sedangkan Latreuo:
bekerja untuk mendapatkan latron (upah, gaji, kualitas). Dari ke-4
kata yang biasa dipakai oleh Perjanjian Baru itu, maka dapatlah ditarik
kesimpulan bahwa:pelayanan adalah aktifitas yang dilakukan, baik untuk
kepentingan sesama maupun untuk kemuliaan Allah, menuju suatu pencapaian yang
baik (berkualitas), sehingga harus dilakukan secara profesional (dengan
kemampuan dan minat).
-------
Oleh sebab itu jugalah, maka seluruh bagian
Alkitab yang sedang kita perbincangkan saat ini sesungguhnya menekankan
bahwa: pelayanan itu tak lain adalah ‘karya’ atau ‘kerja’.
Sebab ketika ‘kerja’ itu merupakan sebuah upaya “menghidupi diri sendiri” (lih.
II Tes. 3:10), maka
demikian juga ‘pelayanan’, yakni “menghidupi imannya sendiri”. Oleh karena itu,
maka ‘pelayanan’ pun perlu dilakukan dengan ketekunan, sebab
seperti halnya manusia hidup butuh makan, kehidupan iman pun butuh makanan yang
dihasilkan dari buah-buah pelayanan (agar tetap memperoleh hidup, lih. Lukas
21:19). Dan jika pelayanan yang dilakukan itu bukanlah sebuah
karya yang profesional, berkualitas, dan tanpa minat, maka tentu buah-buah yang
dihasilkannya pun tidak akan mengenyangkan kehidupan beriman. Oleh sebab itu,
maka kinerja dalam pelayanan itu haruslah sebuah upaya yang profesional,
berkualitas, serta penuh tekad dan minat.
Apa yang sedang
diwacanakan ini bukanlah bermaksud untuk membedakan, bahwa: pekerjaan itu
hanyalah aktifitas yang menyangkut kehidupan profan (duniawi), sedangkan
pelayanan itu menyangkut kehidupan iman (sorgawi). Sebab sesungguhnya keduanya,
baik pekerjaan maupun pelayanan itu adalah aktifitas yang menyangkut kehidupan
profan (duniawi) sekaligus kehidupan iman (sorgawi). Zaman Kerajaan 1000 tahun
(zaman akhir) yang sedang terjadi dan kita alami saat ini pada hakekatnya
adalah kehidupan duniawi di bawah pemerintahan (kendali) Sang Kristus, sehingga
kerja/pelayanan umatNya pun berkenaan dengan seluruh kepentingan, baik sorgawi
maupun duniawi. Pelayanan/kerja bagi kepentingan sesama, kepentingan diri
sendiri dan bagi kemuliaan Tuhan, semuanya haruslah dilakukan sesuai kehendak
Kristus, dan tidak perlu dipertentangkan antara satu dengan yang lain: mana
yang sorgawi atau mana yang duniawi. Dengan demikian, maka:
§
Mereka yang menjadi Guru, baiklah mereka
mendidik dengan ketekunan dan kinerja yang gigih bagi kebaikan para muridnya
sekaligus demi kemuliaan Sang Kristus.
§
Mereka yang menjadi pegawai negeri, baiklah
mereka mengabdi dengan ketekunan dan kinerja yang gigih bagi kebaikan
masyarakat sekaligus demi kemuliaan Sang Kristus.
§
Mereka yang menjadi dokter, baiklah mereka
mengobati dengan ketekunan dan kinerja yang gigih bagi kebaikan lingkungannya
sekaligus demi kemuliaan Sang Kristus.
Medan
17 November 2013
Pdt.
T.M. Karo-karo, STh,MA
Khotbah Minggu 17
November 2013
GMI Kasih Karunia,
Medan
Nats Alkitab : Lukas
21: 5-19
Bersama Injil Markus (13:1), di bagian ini pun
Lukas menggambarkan bahwa bangunan Bait Allah bukanlah sekedar bangunan yang
menjadi obyek wisata yang sangat terkenal, karena merupakan bangunan yang
sangat besar/megah, sangat indah (super-estetik), dan sangat kokoh/kuat dengan
dindingnya yang sangat tebal, namun juga merupakan bangunan yang menjadi simbol
negara dan simbol kedekatan hubungan antara umat Yahudi dengan Allah.
Bangunan ini adalah simbol Yudaisme –– yang menyangkut seluruh aspek kehidupan
Yahudi, mulai aspek sosial, ekonomi, politik, maupun budaya. Kondisi bangsa
Yahudi dilukiskan secara nyata oleh keberadaan bangunan ini. Oleh sebab itu,
hancurnya gedung Bait Allah juga menyatakan hancurnya Yahudi sebagai bangsa dan
negara.
Dan sungguh mengejutkan bila mengenai Bait Allah ini Tuhan Yesus
justru berkata: “akan datang harinya di mana tidak ada satu batu pun akan
dibiarkan terletak di atas batu yang lain” (ay. 6). Ini memang merupakan
nubuatan yang secara harfiah benar-benar terjadi pada th 70, dimana pasukan
Romawi di bawah pimpinan Jenderal Titus membumi-hanguskan Yerusalem, termasuk
Bait Allah. Namun, sesungguhnya kehancuran Bait Allah yang dimaksudkan Yesus menunjuk
pada konsep mengenai akhir zaman. Memang, kebetulan secara fisik
Bait Allah benar-benar runtuh pada th 70, tetapi bukan itu maksud perkataan
Tuhan di ay. 6 ini. Sebab, di bagian ini Tuhan Yesus sesungguhnya ingin
memaparkan suatu pemahaman eskatologis, bahwa: hancurnya Bait Allah adalah
simbol yang menunjuk pada hancurnya kedekatan hubungan antara manusia dengan
Allahnya. Zaman yang penuh cobaan ini, ditandai dengan: penyesatan
(ay. 8); peperangan dan pemberontakan (9-10); gempa bumi, penyakit, kelaparan,
teror, dan tanda-tanda surgawi yang besar yang akan mendahului Kedatangan Kedua
Kali (ay. 11). Secara rinci tanda-tanda
surgawi ini disebut dalam Kitab Wahyu ps. 6-18. Namun hal-hal itu belumlah
seberapa, sebab yang paling berpengaruh adalah bahwa: pada zaman ini kehidupan
orang beriman akan mengalami ujian yang berat. Berbagai ujian yang akan dialami
orang beriman itu dipaparkan Lukas dalam ay. 12, di antaranya: mereka akan
dimusuhi di sinagog-sinagog (bnd. Mat. 10:17; Mrk 13:9), ditangkap, dianiaya,
dipenjara, dan dihadapkan kepada para penguasa bangsa lain untuk diadili (bnd.
Mat 10:18; Mrk 13:9). Semua itu terjadi oleh karena “nama-Ku” –– yakni karena
iman mereka kepada Yesus. Di samping itu, di ay. 16-17, mereka juga akan
mengalami pengkhianatan dari kerabat dekat dan teman-teman (bdk. Mrk 13:12).
Akan tetapi ujian yang
dihadapi oleh orang beriman itu justru merupakan kesempatan bagi mereka untuk
dapat “bersaksi” (ay. 13).
Dan dalam melakukan “kesaksian”-nya ini mereka tidak perlu khawatir tentang apa
yang harus mereka katakan, melainkan hanya bergantung pada janji Yesus yang
akan membantu mereka berkata-kata (bdk. Kel. 4:11, 15; Yeh. 29:21) dan
kebijaksanaan yang akan mereka butuhkan saat itu (bdk. 12:11-12; Mat. 10:19-20,
Mrk 13:11). Ini semua akan mereka terima melalui karya Roh
Kudus kepada mereka (Mrk 13:11). Mereka akan menemukan bahwa kesaksian mereka
akan menjadi sangat kuat. Ini semua akhirnya memang benar-benar terjadi dalam
kehidupan gereja mula-mula (mis., Kis 4:14; 6:10; 8:3; 12:4; 21:11; 22:4, 27:1,
28:17) dan di sepanjang sejarah gereja. Dalam hal ini, Yesus berjanji bahwa Dia
akan selalu menjaga mereka agar tetap aman (ay. 18). Ini mungkin berarti bahwa
tidak ada bahaya yang akan menimpa mereka tanpa seizin Bapa (ay 16; bnd. Kis 27:34).
Beberapa penafsir percaya bahwa hal ini hanyalah mengacu pada keselamatan
rohani, tetapi tidak terhadap keselamatan jasmani.
Hal terpenting di sini (ay. 19) adalah
bahwa: dengan ketekunan dalam karya, saat mereka dianiaya, hal itu
justru akan melestarikan kehidupan mereka (Yun. ktesesthe tas
psychas hymon). Artinya, mereka tidak akan mati sebelum dikehendaki
Tuhan (ay 18). Beberapa penafsir percaya bahwa ayat ini bertujuan menyatakan
bahwa mereka yang bertahan sampai akhir akan mengalami keselamatan (bnd. Mat
24:13, Mrk 13:13). Mereka yang tetap setia sampai akhir dari masa Kesengsaraan
akan masuk ke dalam kerajaan tanpa kematian (bnd. Mat 24:13, Mrk 13:13). Ini
berarti bahwa ketekunan dalam karya akan
mendatangkan ganjaran kekal (lih. ay. 36; Why 2:10).
Aplikasi
Di kalangan orang Kristen, ada yang
beranggapan bahwa pelayanan adalah sesuatu yang
dilakukan secara sukarela. Namun, “sukarela” ini kadang dimaknai sebagai
‘sesukanya’ atau se-‘rela’-nya sehingga membuat kualitas pelayanan itu sendiri
menjadi berkurang, tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh (kalau sempat),
bahkan tidak perlu membutuhkan keterampilan khusus. Definisi pelayanan yang
seperti ini seringkali dibedakan dengan definisi mengenai pekerjaan,
yakni: sesuatu yang dilakukan, semestinya secara profesional (kemampuan khusus
yang dibayar), untuk mencari nafkah, atau mendapatkan suatu hasil. Kalangan
seperti ini menganggap bahwa bekerja berbeda dengan melayani,
sebab melayani bisa dilakukan oleh siapa saja, termasuk jenis kegiatan yang dapat
dilakukan secara serabutan, dan tidak berorientasi pada hasil melainkan pada
ketekunan.
Sepintas, idea semacam ini pada kenyataannya memang ada
benarnya, bahkan seperti inilah yang berlaku secara umum di banyak gereja. Maka
tak mengherankan jika berbagai bentuk pelayanan gerejawi, dalam komisi apapun,
seringkali terkesan asal-asalan, kurang berkualitas, bahkan yang penting ada
kemauan. Sebagai contoh: jika paduan suara gerejawi, dari tahun ke tahun
menyanyikan lagu yang itu-itu saja, jumlah anggotanya tidak pernah pasti,
jadual latihan tidak menentu, bahkan tanpa latihan pun bisa tampil; hal itu
dianggap biasa/wajar dalam pelayanan. “Namanya juga pelayanan, sudah baik masih
mau tampil”.
Memang, pelayanan yang dilakukan seperti
itu tidak salah, sebab Bunda Teresa pun pernah menyatakan bahwa:
“Tuhan tidak pernah menuntut kita untuk Sukses, Dia hanya mengharuskan kita
Berusaha”. Namun sesungguhnya, pelayanan yang dilakukan seperti itu dapat
dianggap sebagai pelayanan yang kurang baik. Oleh sebab
itu sebaiknya kita perlu kembali belajar kepada Perjanjian
Baru mengenai makna pelayanan yang baik :
Kata yang dipakai dalam Perjanjian Baru untuk
menunjuk pada “pelayanan” adalah: diakoneo, douleo, leitourgeo, dan latreuo.
Makna tiap kata itu tidak sama. Diakoneo: melayani orang yang lebih rendah dari
dirinya; Douleo: menghamba, melayani orang yang lebih tinggi dari dirinya;
Leitourgeo: kerja bakti untuk kepentingan orang banyak; sedangkan Latreuo:
bekerja untuk mendapatkan latron (upah, gaji, kualitas). Dari ke-4
kata yang biasa dipakai oleh Perjanjian Baru itu, maka dapatlah ditarik
kesimpulan bahwa:pelayanan adalah aktifitas yang dilakukan, baik untuk
kepentingan sesama maupun untuk kemuliaan Allah, menuju suatu pencapaian yang
baik (berkualitas), sehingga harus dilakukan secara profesional (dengan
kemampuan dan minat).
-------
Oleh sebab itu jugalah, maka seluruh bagian
Alkitab yang sedang kita perbincangkan saat ini sesungguhnya menekankan
bahwa: pelayanan itu tak lain adalah ‘karya’ atau ‘kerja’.
Sebab ketika ‘kerja’ itu merupakan sebuah upaya “menghidupi diri sendiri” (lih.
II Tes. 3:10), maka
demikian juga ‘pelayanan’, yakni “menghidupi imannya sendiri”. Oleh karena itu,
maka ‘pelayanan’ pun perlu dilakukan dengan ketekunan, sebab
seperti halnya manusia hidup butuh makan, kehidupan iman pun butuh makanan yang
dihasilkan dari buah-buah pelayanan (agar tetap memperoleh hidup, lih. Lukas
21:19). Dan jika pelayanan yang dilakukan itu bukanlah sebuah
karya yang profesional, berkualitas, dan tanpa minat, maka tentu buah-buah yang
dihasilkannya pun tidak akan mengenyangkan kehidupan beriman. Oleh sebab itu,
maka kinerja dalam pelayanan itu haruslah sebuah upaya yang profesional,
berkualitas, serta penuh tekad dan minat.
Apa yang sedang
diwacanakan ini bukanlah bermaksud untuk membedakan, bahwa: pekerjaan itu
hanyalah aktifitas yang menyangkut kehidupan profan (duniawi), sedangkan
pelayanan itu menyangkut kehidupan iman (sorgawi). Sebab sesungguhnya keduanya,
baik pekerjaan maupun pelayanan itu adalah aktifitas yang menyangkut kehidupan
profan (duniawi) sekaligus kehidupan iman (sorgawi). Zaman Kerajaan 1000 tahun
(zaman akhir) yang sedang terjadi dan kita alami saat ini pada hakekatnya
adalah kehidupan duniawi di bawah pemerintahan (kendali) Sang Kristus, sehingga
kerja/pelayanan umatNya pun berkenaan dengan seluruh kepentingan, baik sorgawi
maupun duniawi. Pelayanan/kerja bagi kepentingan sesama, kepentingan diri
sendiri dan bagi kemuliaan Tuhan, semuanya haruslah dilakukan sesuai kehendak
Kristus, dan tidak perlu dipertentangkan antara satu dengan yang lain: mana
yang sorgawi atau mana yang duniawi. Dengan demikian, maka:
§
Mereka yang menjadi Guru, baiklah mereka
mendidik dengan ketekunan dan kinerja yang gigih bagi kebaikan para muridnya
sekaligus demi kemuliaan Sang Kristus.
§
Mereka yang menjadi pegawai negeri, baiklah
mereka mengabdi dengan ketekunan dan kinerja yang gigih bagi kebaikan
masyarakat sekaligus demi kemuliaan Sang Kristus.
§
Mereka yang menjadi dokter, baiklah mereka
mengobati dengan ketekunan dan kinerja yang gigih bagi kebaikan lingkungannya
sekaligus demi kemuliaan Sang Kristus.
Medan
17 November 2013
Pdt.
T.M. Karo-karo, STh,MA
Khotbah Minggu 17
November 2013
GMI Kasih Karunia,
Medan
Nats Alkitab : Lukas
21: 5-19
Bersama Injil Markus (13:1), di bagian ini pun
Lukas menggambarkan bahwa bangunan Bait Allah bukanlah sekedar bangunan yang
menjadi obyek wisata yang sangat terkenal, karena merupakan bangunan yang
sangat besar/megah, sangat indah (super-estetik), dan sangat kokoh/kuat dengan
dindingnya yang sangat tebal, namun juga merupakan bangunan yang menjadi simbol
negara dan simbol kedekatan hubungan antara umat Yahudi dengan Allah.
Bangunan ini adalah simbol Yudaisme –– yang menyangkut seluruh aspek kehidupan
Yahudi, mulai aspek sosial, ekonomi, politik, maupun budaya. Kondisi bangsa
Yahudi dilukiskan secara nyata oleh keberadaan bangunan ini. Oleh sebab itu,
hancurnya gedung Bait Allah juga menyatakan hancurnya Yahudi sebagai bangsa dan
negara.
Dan sungguh mengejutkan bila mengenai Bait Allah ini Tuhan Yesus
justru berkata: “akan datang harinya di mana tidak ada satu batu pun akan
dibiarkan terletak di atas batu yang lain” (ay. 6). Ini memang merupakan
nubuatan yang secara harfiah benar-benar terjadi pada th 70, dimana pasukan
Romawi di bawah pimpinan Jenderal Titus membumi-hanguskan Yerusalem, termasuk
Bait Allah. Namun, sesungguhnya kehancuran Bait Allah yang dimaksudkan Yesus menunjuk
pada konsep mengenai akhir zaman. Memang, kebetulan secara fisik
Bait Allah benar-benar runtuh pada th 70, tetapi bukan itu maksud perkataan
Tuhan di ay. 6 ini. Sebab, di bagian ini Tuhan Yesus sesungguhnya ingin
memaparkan suatu pemahaman eskatologis, bahwa: hancurnya Bait Allah adalah
simbol yang menunjuk pada hancurnya kedekatan hubungan antara manusia dengan
Allahnya. Zaman yang penuh cobaan ini, ditandai dengan: penyesatan
(ay. 8); peperangan dan pemberontakan (9-10); gempa bumi, penyakit, kelaparan,
teror, dan tanda-tanda surgawi yang besar yang akan mendahului Kedatangan Kedua
Kali (ay. 11). Secara rinci tanda-tanda
surgawi ini disebut dalam Kitab Wahyu ps. 6-18. Namun hal-hal itu belumlah
seberapa, sebab yang paling berpengaruh adalah bahwa: pada zaman ini kehidupan
orang beriman akan mengalami ujian yang berat. Berbagai ujian yang akan dialami
orang beriman itu dipaparkan Lukas dalam ay. 12, di antaranya: mereka akan
dimusuhi di sinagog-sinagog (bnd. Mat. 10:17; Mrk 13:9), ditangkap, dianiaya,
dipenjara, dan dihadapkan kepada para penguasa bangsa lain untuk diadili (bnd.
Mat 10:18; Mrk 13:9). Semua itu terjadi oleh karena “nama-Ku” –– yakni karena
iman mereka kepada Yesus. Di samping itu, di ay. 16-17, mereka juga akan
mengalami pengkhianatan dari kerabat dekat dan teman-teman (bdk. Mrk 13:12).
Akan tetapi ujian yang
dihadapi oleh orang beriman itu justru merupakan kesempatan bagi mereka untuk
dapat “bersaksi” (ay. 13).
Dan dalam melakukan “kesaksian”-nya ini mereka tidak perlu khawatir tentang apa
yang harus mereka katakan, melainkan hanya bergantung pada janji Yesus yang
akan membantu mereka berkata-kata (bdk. Kel. 4:11, 15; Yeh. 29:21) dan
kebijaksanaan yang akan mereka butuhkan saat itu (bdk. 12:11-12; Mat. 10:19-20,
Mrk 13:11). Ini semua akan mereka terima melalui karya Roh
Kudus kepada mereka (Mrk 13:11). Mereka akan menemukan bahwa kesaksian mereka
akan menjadi sangat kuat. Ini semua akhirnya memang benar-benar terjadi dalam
kehidupan gereja mula-mula (mis., Kis 4:14; 6:10; 8:3; 12:4; 21:11; 22:4, 27:1,
28:17) dan di sepanjang sejarah gereja. Dalam hal ini, Yesus berjanji bahwa Dia
akan selalu menjaga mereka agar tetap aman (ay. 18). Ini mungkin berarti bahwa
tidak ada bahaya yang akan menimpa mereka tanpa seizin Bapa (ay 16; bnd. Kis 27:34).
Beberapa penafsir percaya bahwa hal ini hanyalah mengacu pada keselamatan
rohani, tetapi tidak terhadap keselamatan jasmani.
Hal terpenting di sini (ay. 19) adalah
bahwa: dengan ketekunan dalam karya, saat mereka dianiaya, hal itu
justru akan melestarikan kehidupan mereka (Yun. ktesesthe tas
psychas hymon). Artinya, mereka tidak akan mati sebelum dikehendaki
Tuhan (ay 18). Beberapa penafsir percaya bahwa ayat ini bertujuan menyatakan
bahwa mereka yang bertahan sampai akhir akan mengalami keselamatan (bnd. Mat
24:13, Mrk 13:13). Mereka yang tetap setia sampai akhir dari masa Kesengsaraan
akan masuk ke dalam kerajaan tanpa kematian (bnd. Mat 24:13, Mrk 13:13). Ini
berarti bahwa ketekunan dalam karya akan
mendatangkan ganjaran kekal (lih. ay. 36; Why 2:10).
Aplikasi
Di kalangan orang Kristen, ada yang
beranggapan bahwa pelayanan adalah sesuatu yang
dilakukan secara sukarela. Namun, “sukarela” ini kadang dimaknai sebagai
‘sesukanya’ atau se-‘rela’-nya sehingga membuat kualitas pelayanan itu sendiri
menjadi berkurang, tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh (kalau sempat),
bahkan tidak perlu membutuhkan keterampilan khusus. Definisi pelayanan yang
seperti ini seringkali dibedakan dengan definisi mengenai pekerjaan,
yakni: sesuatu yang dilakukan, semestinya secara profesional (kemampuan khusus
yang dibayar), untuk mencari nafkah, atau mendapatkan suatu hasil. Kalangan
seperti ini menganggap bahwa bekerja berbeda dengan melayani,
sebab melayani bisa dilakukan oleh siapa saja, termasuk jenis kegiatan yang dapat
dilakukan secara serabutan, dan tidak berorientasi pada hasil melainkan pada
ketekunan.
Sepintas, idea semacam ini pada kenyataannya memang ada
benarnya, bahkan seperti inilah yang berlaku secara umum di banyak gereja. Maka
tak mengherankan jika berbagai bentuk pelayanan gerejawi, dalam komisi apapun,
seringkali terkesan asal-asalan, kurang berkualitas, bahkan yang penting ada
kemauan. Sebagai contoh: jika paduan suara gerejawi, dari tahun ke tahun
menyanyikan lagu yang itu-itu saja, jumlah anggotanya tidak pernah pasti,
jadual latihan tidak menentu, bahkan tanpa latihan pun bisa tampil; hal itu
dianggap biasa/wajar dalam pelayanan. “Namanya juga pelayanan, sudah baik masih
mau tampil”.
Memang, pelayanan yang dilakukan seperti
itu tidak salah, sebab Bunda Teresa pun pernah menyatakan bahwa:
“Tuhan tidak pernah menuntut kita untuk Sukses, Dia hanya mengharuskan kita
Berusaha”. Namun sesungguhnya, pelayanan yang dilakukan seperti itu dapat
dianggap sebagai pelayanan yang kurang baik. Oleh sebab
itu sebaiknya kita perlu kembali belajar kepada Perjanjian
Baru mengenai makna pelayanan yang baik :
Kata yang dipakai dalam Perjanjian Baru untuk
menunjuk pada “pelayanan” adalah: diakoneo, douleo, leitourgeo, dan latreuo.
Makna tiap kata itu tidak sama. Diakoneo: melayani orang yang lebih rendah dari
dirinya; Douleo: menghamba, melayani orang yang lebih tinggi dari dirinya;
Leitourgeo: kerja bakti untuk kepentingan orang banyak; sedangkan Latreuo:
bekerja untuk mendapatkan latron (upah, gaji, kualitas). Dari ke-4
kata yang biasa dipakai oleh Perjanjian Baru itu, maka dapatlah ditarik
kesimpulan bahwa:pelayanan adalah aktifitas yang dilakukan, baik untuk
kepentingan sesama maupun untuk kemuliaan Allah, menuju suatu pencapaian yang
baik (berkualitas), sehingga harus dilakukan secara profesional (dengan
kemampuan dan minat).
-------
Oleh sebab itu jugalah, maka seluruh bagian
Alkitab yang sedang kita perbincangkan saat ini sesungguhnya menekankan
bahwa: pelayanan itu tak lain adalah ‘karya’ atau ‘kerja’.
Sebab ketika ‘kerja’ itu merupakan sebuah upaya “menghidupi diri sendiri” (lih.
II Tes. 3:10), maka
demikian juga ‘pelayanan’, yakni “menghidupi imannya sendiri”. Oleh karena itu,
maka ‘pelayanan’ pun perlu dilakukan dengan ketekunan, sebab
seperti halnya manusia hidup butuh makan, kehidupan iman pun butuh makanan yang
dihasilkan dari buah-buah pelayanan (agar tetap memperoleh hidup, lih. Lukas
21:19). Dan jika pelayanan yang dilakukan itu bukanlah sebuah
karya yang profesional, berkualitas, dan tanpa minat, maka tentu buah-buah yang
dihasilkannya pun tidak akan mengenyangkan kehidupan beriman. Oleh sebab itu,
maka kinerja dalam pelayanan itu haruslah sebuah upaya yang profesional,
berkualitas, serta penuh tekad dan minat.
Apa yang sedang
diwacanakan ini bukanlah bermaksud untuk membedakan, bahwa: pekerjaan itu
hanyalah aktifitas yang menyangkut kehidupan profan (duniawi), sedangkan
pelayanan itu menyangkut kehidupan iman (sorgawi). Sebab sesungguhnya keduanya,
baik pekerjaan maupun pelayanan itu adalah aktifitas yang menyangkut kehidupan
profan (duniawi) sekaligus kehidupan iman (sorgawi). Zaman Kerajaan 1000 tahun
(zaman akhir) yang sedang terjadi dan kita alami saat ini pada hakekatnya
adalah kehidupan duniawi di bawah pemerintahan (kendali) Sang Kristus, sehingga
kerja/pelayanan umatNya pun berkenaan dengan seluruh kepentingan, baik sorgawi
maupun duniawi. Pelayanan/kerja bagi kepentingan sesama, kepentingan diri
sendiri dan bagi kemuliaan Tuhan, semuanya haruslah dilakukan sesuai kehendak
Kristus, dan tidak perlu dipertentangkan antara satu dengan yang lain: mana
yang sorgawi atau mana yang duniawi. Dengan demikian, maka:
§
Mereka yang menjadi Guru, baiklah mereka
mendidik dengan ketekunan dan kinerja yang gigih bagi kebaikan para muridnya
sekaligus demi kemuliaan Sang Kristus.
§
Mereka yang menjadi pegawai negeri, baiklah
mereka mengabdi dengan ketekunan dan kinerja yang gigih bagi kebaikan
masyarakat sekaligus demi kemuliaan Sang Kristus.
§
Mereka yang menjadi dokter, baiklah mereka
mengobati dengan ketekunan dan kinerja yang gigih bagi kebaikan lingkungannya
sekaligus demi kemuliaan Sang Kristus.
Medan
17 November 2013
Pdt.
T.M. Karo-karo, STh,MA
Khotbah Minggu 17
November 2013
GMI Kasih Karunia,
Medan
Nats Alkitab : Lukas
21: 5-19
Bersama Injil Markus (13:1), di bagian ini pun
Lukas menggambarkan bahwa bangunan Bait Allah bukanlah sekedar bangunan yang
menjadi obyek wisata yang sangat terkenal, karena merupakan bangunan yang
sangat besar/megah, sangat indah (super-estetik), dan sangat kokoh/kuat dengan
dindingnya yang sangat tebal, namun juga merupakan bangunan yang menjadi simbol
negara dan simbol kedekatan hubungan antara umat Yahudi dengan Allah.
Bangunan ini adalah simbol Yudaisme –– yang menyangkut seluruh aspek kehidupan
Yahudi, mulai aspek sosial, ekonomi, politik, maupun budaya. Kondisi bangsa
Yahudi dilukiskan secara nyata oleh keberadaan bangunan ini. Oleh sebab itu,
hancurnya gedung Bait Allah juga menyatakan hancurnya Yahudi sebagai bangsa dan
negara.
Dan sungguh mengejutkan bila mengenai Bait Allah ini Tuhan Yesus
justru berkata: “akan datang harinya di mana tidak ada satu batu pun akan
dibiarkan terletak di atas batu yang lain” (ay. 6). Ini memang merupakan
nubuatan yang secara harfiah benar-benar terjadi pada th 70, dimana pasukan
Romawi di bawah pimpinan Jenderal Titus membumi-hanguskan Yerusalem, termasuk
Bait Allah. Namun, sesungguhnya kehancuran Bait Allah yang dimaksudkan Yesus menunjuk
pada konsep mengenai akhir zaman. Memang, kebetulan secara fisik
Bait Allah benar-benar runtuh pada th 70, tetapi bukan itu maksud perkataan
Tuhan di ay. 6 ini. Sebab, di bagian ini Tuhan Yesus sesungguhnya ingin
memaparkan suatu pemahaman eskatologis, bahwa: hancurnya Bait Allah adalah
simbol yang menunjuk pada hancurnya kedekatan hubungan antara manusia dengan
Allahnya. Zaman yang penuh cobaan ini, ditandai dengan: penyesatan
(ay. 8); peperangan dan pemberontakan (9-10); gempa bumi, penyakit, kelaparan,
teror, dan tanda-tanda surgawi yang besar yang akan mendahului Kedatangan Kedua
Kali (ay. 11). Secara rinci tanda-tanda
surgawi ini disebut dalam Kitab Wahyu ps. 6-18. Namun hal-hal itu belumlah
seberapa, sebab yang paling berpengaruh adalah bahwa: pada zaman ini kehidupan
orang beriman akan mengalami ujian yang berat. Berbagai ujian yang akan dialami
orang beriman itu dipaparkan Lukas dalam ay. 12, di antaranya: mereka akan
dimusuhi di sinagog-sinagog (bnd. Mat. 10:17; Mrk 13:9), ditangkap, dianiaya,
dipenjara, dan dihadapkan kepada para penguasa bangsa lain untuk diadili (bnd.
Mat 10:18; Mrk 13:9). Semua itu terjadi oleh karena “nama-Ku” –– yakni karena
iman mereka kepada Yesus. Di samping itu, di ay. 16-17, mereka juga akan
mengalami pengkhianatan dari kerabat dekat dan teman-teman (bdk. Mrk 13:12).
Akan tetapi ujian yang
dihadapi oleh orang beriman itu justru merupakan kesempatan bagi mereka untuk
dapat “bersaksi” (ay. 13).
Dan dalam melakukan “kesaksian”-nya ini mereka tidak perlu khawatir tentang apa
yang harus mereka katakan, melainkan hanya bergantung pada janji Yesus yang
akan membantu mereka berkata-kata (bdk. Kel. 4:11, 15; Yeh. 29:21) dan
kebijaksanaan yang akan mereka butuhkan saat itu (bdk. 12:11-12; Mat. 10:19-20,
Mrk 13:11). Ini semua akan mereka terima melalui karya Roh
Kudus kepada mereka (Mrk 13:11). Mereka akan menemukan bahwa kesaksian mereka
akan menjadi sangat kuat. Ini semua akhirnya memang benar-benar terjadi dalam
kehidupan gereja mula-mula (mis., Kis 4:14; 6:10; 8:3; 12:4; 21:11; 22:4, 27:1,
28:17) dan di sepanjang sejarah gereja. Dalam hal ini, Yesus berjanji bahwa Dia
akan selalu menjaga mereka agar tetap aman (ay. 18). Ini mungkin berarti bahwa
tidak ada bahaya yang akan menimpa mereka tanpa seizin Bapa (ay 16; bnd. Kis 27:34).
Beberapa penafsir percaya bahwa hal ini hanyalah mengacu pada keselamatan
rohani, tetapi tidak terhadap keselamatan jasmani.
Hal terpenting di sini (ay. 19) adalah
bahwa: dengan ketekunan dalam karya, saat mereka dianiaya, hal itu
justru akan melestarikan kehidupan mereka (Yun. ktesesthe tas
psychas hymon). Artinya, mereka tidak akan mati sebelum dikehendaki
Tuhan (ay 18). Beberapa penafsir percaya bahwa ayat ini bertujuan menyatakan
bahwa mereka yang bertahan sampai akhir akan mengalami keselamatan (bnd. Mat
24:13, Mrk 13:13). Mereka yang tetap setia sampai akhir dari masa Kesengsaraan
akan masuk ke dalam kerajaan tanpa kematian (bnd. Mat 24:13, Mrk 13:13). Ini
berarti bahwa ketekunan dalam karya akan
mendatangkan ganjaran kekal (lih. ay. 36; Why 2:10).
Aplikasi
Di kalangan orang Kristen, ada yang
beranggapan bahwa pelayanan adalah sesuatu yang
dilakukan secara sukarela. Namun, “sukarela” ini kadang dimaknai sebagai
‘sesukanya’ atau se-‘rela’-nya sehingga membuat kualitas pelayanan itu sendiri
menjadi berkurang, tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh (kalau sempat),
bahkan tidak perlu membutuhkan keterampilan khusus. Definisi pelayanan yang
seperti ini seringkali dibedakan dengan definisi mengenai pekerjaan,
yakni: sesuatu yang dilakukan, semestinya secara profesional (kemampuan khusus
yang dibayar), untuk mencari nafkah, atau mendapatkan suatu hasil. Kalangan
seperti ini menganggap bahwa bekerja berbeda dengan melayani,
sebab melayani bisa dilakukan oleh siapa saja, termasuk jenis kegiatan yang dapat
dilakukan secara serabutan, dan tidak berorientasi pada hasil melainkan pada
ketekunan.
Sepintas, idea semacam ini pada kenyataannya memang ada
benarnya, bahkan seperti inilah yang berlaku secara umum di banyak gereja. Maka
tak mengherankan jika berbagai bentuk pelayanan gerejawi, dalam komisi apapun,
seringkali terkesan asal-asalan, kurang berkualitas, bahkan yang penting ada
kemauan. Sebagai contoh: jika paduan suara gerejawi, dari tahun ke tahun
menyanyikan lagu yang itu-itu saja, jumlah anggotanya tidak pernah pasti,
jadual latihan tidak menentu, bahkan tanpa latihan pun bisa tampil; hal itu
dianggap biasa/wajar dalam pelayanan. “Namanya juga pelayanan, sudah baik masih
mau tampil”.
Memang, pelayanan yang dilakukan seperti
itu tidak salah, sebab Bunda Teresa pun pernah menyatakan bahwa:
“Tuhan tidak pernah menuntut kita untuk Sukses, Dia hanya mengharuskan kita
Berusaha”. Namun sesungguhnya, pelayanan yang dilakukan seperti itu dapat
dianggap sebagai pelayanan yang kurang baik. Oleh sebab
itu sebaiknya kita perlu kembali belajar kepada Perjanjian
Baru mengenai makna pelayanan yang baik :
Kata yang dipakai dalam Perjanjian Baru untuk
menunjuk pada “pelayanan” adalah: diakoneo, douleo, leitourgeo, dan latreuo.
Makna tiap kata itu tidak sama. Diakoneo: melayani orang yang lebih rendah dari
dirinya; Douleo: menghamba, melayani orang yang lebih tinggi dari dirinya;
Leitourgeo: kerja bakti untuk kepentingan orang banyak; sedangkan Latreuo:
bekerja untuk mendapatkan latron (upah, gaji, kualitas). Dari ke-4
kata yang biasa dipakai oleh Perjanjian Baru itu, maka dapatlah ditarik
kesimpulan bahwa:pelayanan adalah aktifitas yang dilakukan, baik untuk
kepentingan sesama maupun untuk kemuliaan Allah, menuju suatu pencapaian yang
baik (berkualitas), sehingga harus dilakukan secara profesional (dengan
kemampuan dan minat).
-------
Oleh sebab itu jugalah, maka seluruh bagian
Alkitab yang sedang kita perbincangkan saat ini sesungguhnya menekankan
bahwa: pelayanan itu tak lain adalah ‘karya’ atau ‘kerja’.
Sebab ketika ‘kerja’ itu merupakan sebuah upaya “menghidupi diri sendiri” (lih.
II Tes. 3:10), maka
demikian juga ‘pelayanan’, yakni “menghidupi imannya sendiri”. Oleh karena itu,
maka ‘pelayanan’ pun perlu dilakukan dengan ketekunan, sebab
seperti halnya manusia hidup butuh makan, kehidupan iman pun butuh makanan yang
dihasilkan dari buah-buah pelayanan (agar tetap memperoleh hidup, lih. Lukas
21:19). Dan jika pelayanan yang dilakukan itu bukanlah sebuah
karya yang profesional, berkualitas, dan tanpa minat, maka tentu buah-buah yang
dihasilkannya pun tidak akan mengenyangkan kehidupan beriman. Oleh sebab itu,
maka kinerja dalam pelayanan itu haruslah sebuah upaya yang profesional,
berkualitas, serta penuh tekad dan minat.
Apa yang sedang
diwacanakan ini bukanlah bermaksud untuk membedakan, bahwa: pekerjaan itu
hanyalah aktifitas yang menyangkut kehidupan profan (duniawi), sedangkan
pelayanan itu menyangkut kehidupan iman (sorgawi). Sebab sesungguhnya keduanya,
baik pekerjaan maupun pelayanan itu adalah aktifitas yang menyangkut kehidupan
profan (duniawi) sekaligus kehidupan iman (sorgawi). Zaman Kerajaan 1000 tahun
(zaman akhir) yang sedang terjadi dan kita alami saat ini pada hakekatnya
adalah kehidupan duniawi di bawah pemerintahan (kendali) Sang Kristus, sehingga
kerja/pelayanan umatNya pun berkenaan dengan seluruh kepentingan, baik sorgawi
maupun duniawi. Pelayanan/kerja bagi kepentingan sesama, kepentingan diri
sendiri dan bagi kemuliaan Tuhan, semuanya haruslah dilakukan sesuai kehendak
Kristus, dan tidak perlu dipertentangkan antara satu dengan yang lain: mana
yang sorgawi atau mana yang duniawi. Dengan demikian, maka:
§
Mereka yang menjadi Guru, baiklah mereka
mendidik dengan ketekunan dan kinerja yang gigih bagi kebaikan para muridnya
sekaligus demi kemuliaan Sang Kristus.
§
Mereka yang menjadi pegawai negeri, baiklah
mereka mengabdi dengan ketekunan dan kinerja yang gigih bagi kebaikan
masyarakat sekaligus demi kemuliaan Sang Kristus.
§
Mereka yang menjadi dokter, baiklah mereka
mengobati dengan ketekunan dan kinerja yang gigih bagi kebaikan lingkungannya
sekaligus demi kemuliaan Sang Kristus.
Medan
17 November 2013
Pdt.
T.M. Karo-karo, STh,MA
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.