Sunday, November 17, 2013

Khotbah Minggu 17 November 2013
GMI Kasih Karunia, Medan
Nats Alkitab : Lukas 21: 5-19

Bersama Injil Markus (13:1), di bagian ini pun Lukas menggambarkan bahwa bangunan Bait Allah bukanlah sekedar bangunan yang menjadi obyek wisata yang sangat terkenal, karena merupakan bangunan yang sangat besar/megah, sangat indah (super-estetik), dan sangat kokoh/kuat dengan dindingnya yang sangat tebal, namun juga merupakan bangunan yang menjadi simbol negara dan simbol kedekatan hubungan antara umat Yahudi dengan Allah. Bangunan ini adalah simbol Yudaisme –– yang menyangkut seluruh aspek kehidupan Yahudi, mulai aspek sosial, ekonomi, politik, maupun budaya. Kondisi bangsa Yahudi dilukiskan secara nyata oleh keberadaan bangunan ini. Oleh sebab itu, hancurnya gedung Bait Allah juga menyatakan hancurnya Yahudi sebagai bangsa dan negara.
Dan sungguh mengejutkan bila mengenai Bait Allah ini Tuhan Yesus justru berkata: “akan datang harinya di mana tidak ada satu batu pun akan dibiarkan terletak di atas batu yang lain” (ay. 6). Ini memang merupakan nubuatan yang secara harfiah benar-benar terjadi pada th 70, dimana pasukan Romawi di bawah pimpinan Jenderal Titus membumi-hanguskan Yerusalem, termasuk Bait Allah. Namun, sesungguhnya kehancuran Bait Allah yang dimaksudkan Yesus menunjuk pada konsep mengenai akhir zaman. Memang, kebetulan secara fisik Bait Allah benar-benar runtuh pada th 70, tetapi bukan itu maksud perkataan Tuhan di ay. 6 ini. Sebab, di bagian ini Tuhan Yesus sesungguhnya ingin memaparkan suatu pemahaman eskatologis, bahwa: hancurnya Bait Allah adalah simbol yang menunjuk pada hancurnya kedekatan hubungan antara manusia dengan Allahnya. Zaman yang penuh cobaan ini, ditandai dengan: penyesatan (ay. 8); peperangan dan pemberontakan (9-10); gempa bumi, penyakit, kelaparan, teror, dan tanda-tanda surgawi yang besar yang akan mendahului Kedatangan Kedua Kali (ay. 11). Secara rinci tanda-tanda surgawi ini disebut dalam Kitab Wahyu ps. 6-18. Namun hal-hal itu belumlah seberapa, sebab yang paling berpengaruh adalah bahwa: pada zaman ini kehidupan orang beriman akan mengalami ujian yang berat. Berbagai ujian yang akan dialami orang beriman itu dipaparkan Lukas dalam ay. 12, di antaranya: mereka akan dimusuhi di sinagog-sinagog (bnd. Mat. 10:17; Mrk 13:9), ditangkap, dianiaya, dipenjara, dan dihadapkan kepada para penguasa bangsa lain untuk diadili (bnd. Mat 10:18; Mrk 13:9). Semua itu terjadi oleh karena “nama-Ku” –– yakni karena iman mereka kepada Yesus. Di samping itu, di ay. 16-17, mereka juga akan mengalami pengkhianatan dari kerabat dekat dan teman-teman (bdk. Mrk 13:12).
Akan tetapi ujian yang dihadapi oleh orang beriman itu justru merupakan kesempatan bagi mereka untuk dapat “bersaksi” (ay. 13). Dan dalam melakukan “kesaksian”-nya ini mereka tidak perlu khawatir tentang apa yang harus mereka katakan, melainkan hanya bergantung pada janji Yesus yang akan membantu mereka berkata-kata (bdk. Kel. 4:11, 15; Yeh. 29:21) dan kebijaksanaan yang akan mereka butuhkan saat itu (bdk. 12:11-12; Mat. 10:19-20, Mrk 13:11). Ini semua akan mereka terima melalui karya Roh Kudus kepada mereka (Mrk 13:11). Mereka akan menemukan bahwa kesaksian mereka akan menjadi sangat kuat. Ini semua akhirnya memang benar-benar terjadi dalam kehidupan gereja mula-mula (mis., Kis 4:14; 6:10; 8:3; 12:4; 21:11; 22:4, 27:1, 28:17) dan di sepanjang sejarah gereja. Dalam hal ini, Yesus berjanji bahwa Dia akan selalu menjaga mereka agar tetap aman (ay. 18). Ini mungkin berarti bahwa tidak ada bahaya yang akan menimpa mereka tanpa seizin Bapa (ay 16; bnd. Kis 27:34). Beberapa penafsir percaya bahwa  hal ini hanyalah mengacu pada keselamatan rohani, tetapi tidak terhadap keselamatan jasmani.
Hal terpenting di sini (ay. 19) adalah bahwa: dengan ketekunan dalam karya, saat mereka dianiaya, hal itu justru akan melestarikan kehidupan mereka (Yun. ktesesthe tas psychas hymon). Artinya, mereka tidak akan mati sebelum dikehendaki Tuhan (ay 18). Beberapa penafsir percaya bahwa ayat ini bertujuan menyatakan bahwa mereka yang bertahan sampai akhir akan mengalami keselamatan (bnd. Mat 24:13, Mrk 13:13). Mereka yang tetap setia sampai akhir dari masa Kesengsaraan akan masuk ke dalam kerajaan tanpa kematian (bnd. Mat 24:13, Mrk 13:13). Ini berarti bahwa ketekunan dalam karya akan mendatangkan ganjaran kekal (lih. ay. 36; Why 2:10).

Aplikasi

Di kalangan orang Kristen, ada yang beranggapan bahwa pelayanan adalah sesuatu yang dilakukan secara sukarela. Namun, “sukarela” ini kadang dimaknai sebagai ‘sesukanya’ atau se-‘rela’-nya sehingga membuat kualitas pelayanan itu sendiri menjadi berkurang, tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh (kalau sempat), bahkan tidak perlu membutuhkan keterampilan khusus. Definisi pelayanan yang seperti ini seringkali dibedakan dengan definisi mengenai pekerjaan, yakni: sesuatu yang dilakukan, semestinya secara profesional (kemampuan khusus yang dibayar), untuk mencari nafkah, atau mendapatkan suatu hasil. Kalangan seperti ini menganggap bahwa bekerja berbeda dengan melayani, sebab melayani bisa dilakukan oleh siapa saja, termasuk jenis kegiatan yang dapat dilakukan secara serabutan, dan tidak berorientasi pada hasil melainkan pada ketekunan.
Sepintas, idea semacam ini pada kenyataannya memang ada benarnya, bahkan seperti inilah yang berlaku secara umum di banyak gereja. Maka tak mengherankan jika berbagai bentuk pelayanan gerejawi, dalam komisi apapun, seringkali terkesan asal-asalan, kurang berkualitas, bahkan yang penting ada kemauan. Sebagai contoh: jika paduan suara gerejawi, dari tahun ke tahun menyanyikan lagu yang itu-itu saja, jumlah anggotanya tidak pernah pasti, jadual latihan tidak menentu, bahkan tanpa latihan pun bisa tampil; hal itu dianggap biasa/wajar dalam pelayanan. “Namanya juga pelayanan, sudah baik masih mau tampil”.
Memang, pelayanan yang dilakukan seperti itu tidak salah, sebab Bunda Teresa pun pernah menyatakan bahwa: “Tuhan tidak pernah menuntut kita untuk Sukses, Dia hanya mengharuskan kita Berusaha”. Namun sesungguhnya, pelayanan yang dilakukan seperti itu dapat dianggap sebagai pelayanan yang kurang baik. Oleh sebab itu sebaiknya kita perlu kembali belajar kepada Perjanjian Baru mengenai makna pelayanan yang baik :
Kata yang dipakai dalam Perjanjian Baru untuk menunjuk pada “pelayanan” adalah: diakoneo, douleo, leitourgeo, dan latreuo. Makna tiap kata itu tidak sama. Diakoneo: melayani orang yang lebih rendah dari dirinya; Douleo: menghamba, melayani orang yang lebih tinggi dari dirinya; Leitourgeo: kerja bakti untuk kepentingan orang banyak; sedangkan Latreuo: bekerja untuk mendapatkan latron (upah, gaji, kualitas). Dari ke-4 kata yang biasa dipakai oleh Perjanjian Baru itu, maka dapatlah ditarik kesimpulan bahwa:pelayanan adalah aktifitas yang dilakukan, baik untuk kepentingan sesama maupun untuk kemuliaan Allah, menuju suatu pencapaian yang baik (berkualitas), sehingga harus dilakukan secara profesional (dengan kemampuan dan minat).
-------
Oleh sebab itu jugalah, maka seluruh bagian Alkitab yang sedang kita perbincangkan saat ini sesungguhnya menekankan bahwa: pelayanan itu tak lain adalah ‘karya’ atau ‘kerja’. Sebab ketika ‘kerja’ itu merupakan sebuah upaya “menghidupi diri sendiri” (lih. II Tes. 3:10), maka demikian juga ‘pelayanan’, yakni “menghidupi imannya sendiri”. Oleh karena itu, maka ‘pelayanan’ pun perlu dilakukan dengan ketekunan, sebab seperti halnya manusia hidup butuh makan, kehidupan iman pun butuh makanan yang dihasilkan dari buah-buah pelayanan (agar tetap memperoleh hidup, lih. Lukas 21:19). Dan jika pelayanan yang dilakukan itu bukanlah sebuah karya yang profesional, berkualitas, dan tanpa minat, maka tentu buah-buah yang dihasilkannya pun tidak akan mengenyangkan kehidupan beriman. Oleh sebab itu, maka kinerja dalam pelayanan itu  haruslah sebuah upaya yang profesional, berkualitas, serta penuh tekad dan minat.
Apa yang sedang diwacanakan ini bukanlah bermaksud untuk membedakan, bahwa: pekerjaan itu hanyalah aktifitas yang menyangkut kehidupan profan (duniawi), sedangkan pelayanan itu menyangkut kehidupan iman (sorgawi). Sebab sesungguhnya keduanya, baik pekerjaan maupun pelayanan itu adalah aktifitas yang menyangkut kehidupan profan (duniawi) sekaligus kehidupan iman (sorgawi). Zaman Kerajaan 1000 tahun (zaman akhir) yang sedang terjadi dan kita alami saat ini pada hakekatnya adalah kehidupan duniawi di bawah pemerintahan (kendali) Sang Kristus, sehingga kerja/pelayanan umatNya pun berkenaan dengan seluruh kepentingan, baik sorgawi maupun duniawi. Pelayanan/kerja bagi kepentingan sesama, kepentingan diri sendiri dan bagi kemuliaan Tuhan, semuanya haruslah dilakukan sesuai kehendak Kristus, dan tidak perlu dipertentangkan antara satu dengan yang lain: mana yang sorgawi atau mana yang duniawi. Dengan demikian, maka:
§  Mereka yang menjadi Guru, baiklah mereka mendidik dengan ketekunan dan kinerja yang gigih bagi kebaikan para muridnya sekaligus demi kemuliaan Sang Kristus.
§  Mereka yang menjadi pegawai negeri, baiklah mereka mengabdi dengan ketekunan dan kinerja yang gigih bagi kebaikan masyarakat sekaligus demi kemuliaan Sang Kristus.
§  Mereka yang menjadi dokter, baiklah mereka mengobati dengan ketekunan dan kinerja yang gigih bagi kebaikan lingkungannya sekaligus demi kemuliaan Sang Kristus.

Medan 17 November 2013
Pdt. T.M. Karo-karo, STh,MA

 Khotbah Minggu 17 November 2013
GMI Kasih Karunia, Medan
Nats Alkitab : Lukas 21: 5-19

Bersama Injil Markus (13:1), di bagian ini pun Lukas menggambarkan bahwa bangunan Bait Allah bukanlah sekedar bangunan yang menjadi obyek wisata yang sangat terkenal, karena merupakan bangunan yang sangat besar/megah, sangat indah (super-estetik), dan sangat kokoh/kuat dengan dindingnya yang sangat tebal, namun juga merupakan bangunan yang menjadi simbol negara dan simbol kedekatan hubungan antara umat Yahudi dengan Allah. Bangunan ini adalah simbol Yudaisme –– yang menyangkut seluruh aspek kehidupan Yahudi, mulai aspek sosial, ekonomi, politik, maupun budaya. Kondisi bangsa Yahudi dilukiskan secara nyata oleh keberadaan bangunan ini. Oleh sebab itu, hancurnya gedung Bait Allah juga menyatakan hancurnya Yahudi sebagai bangsa dan negara.
Dan sungguh mengejutkan bila mengenai Bait Allah ini Tuhan Yesus justru berkata: “akan datang harinya di mana tidak ada satu batu pun akan dibiarkan terletak di atas batu yang lain” (ay. 6). Ini memang merupakan nubuatan yang secara harfiah benar-benar terjadi pada th 70, dimana pasukan Romawi di bawah pimpinan Jenderal Titus membumi-hanguskan Yerusalem, termasuk Bait Allah. Namun, sesungguhnya kehancuran Bait Allah yang dimaksudkan Yesus menunjuk pada konsep mengenai akhir zaman. Memang, kebetulan secara fisik Bait Allah benar-benar runtuh pada th 70, tetapi bukan itu maksud perkataan Tuhan di ay. 6 ini. Sebab, di bagian ini Tuhan Yesus sesungguhnya ingin memaparkan suatu pemahaman eskatologis, bahwa: hancurnya Bait Allah adalah simbol yang menunjuk pada hancurnya kedekatan hubungan antara manusia dengan Allahnya. Zaman yang penuh cobaan ini, ditandai dengan: penyesatan (ay. 8); peperangan dan pemberontakan (9-10); gempa bumi, penyakit, kelaparan, teror, dan tanda-tanda surgawi yang besar yang akan mendahului Kedatangan Kedua Kali (ay. 11). Secara rinci tanda-tanda surgawi ini disebut dalam Kitab Wahyu ps. 6-18. Namun hal-hal itu belumlah seberapa, sebab yang paling berpengaruh adalah bahwa: pada zaman ini kehidupan orang beriman akan mengalami ujian yang berat. Berbagai ujian yang akan dialami orang beriman itu dipaparkan Lukas dalam ay. 12, di antaranya: mereka akan dimusuhi di sinagog-sinagog (bnd. Mat. 10:17; Mrk 13:9), ditangkap, dianiaya, dipenjara, dan dihadapkan kepada para penguasa bangsa lain untuk diadili (bnd. Mat 10:18; Mrk 13:9). Semua itu terjadi oleh karena “nama-Ku” –– yakni karena iman mereka kepada Yesus. Di samping itu, di ay. 16-17, mereka juga akan mengalami pengkhianatan dari kerabat dekat dan teman-teman (bdk. Mrk 13:12).
Akan tetapi ujian yang dihadapi oleh orang beriman itu justru merupakan kesempatan bagi mereka untuk dapat “bersaksi” (ay. 13). Dan dalam melakukan “kesaksian”-nya ini mereka tidak perlu khawatir tentang apa yang harus mereka katakan, melainkan hanya bergantung pada janji Yesus yang akan membantu mereka berkata-kata (bdk. Kel. 4:11, 15; Yeh. 29:21) dan kebijaksanaan yang akan mereka butuhkan saat itu (bdk. 12:11-12; Mat. 10:19-20, Mrk 13:11). Ini semua akan mereka terima melalui karya Roh Kudus kepada mereka (Mrk 13:11). Mereka akan menemukan bahwa kesaksian mereka akan menjadi sangat kuat. Ini semua akhirnya memang benar-benar terjadi dalam kehidupan gereja mula-mula (mis., Kis 4:14; 6:10; 8:3; 12:4; 21:11; 22:4, 27:1, 28:17) dan di sepanjang sejarah gereja. Dalam hal ini, Yesus berjanji bahwa Dia akan selalu menjaga mereka agar tetap aman (ay. 18). Ini mungkin berarti bahwa tidak ada bahaya yang akan menimpa mereka tanpa seizin Bapa (ay 16; bnd. Kis 27:34). Beberapa penafsir percaya bahwa  hal ini hanyalah mengacu pada keselamatan rohani, tetapi tidak terhadap keselamatan jasmani.
Hal terpenting di sini (ay. 19) adalah bahwa: dengan ketekunan dalam karya, saat mereka dianiaya, hal itu justru akan melestarikan kehidupan mereka (Yun. ktesesthe tas psychas hymon). Artinya, mereka tidak akan mati sebelum dikehendaki Tuhan (ay 18). Beberapa penafsir percaya bahwa ayat ini bertujuan menyatakan bahwa mereka yang bertahan sampai akhir akan mengalami keselamatan (bnd. Mat 24:13, Mrk 13:13). Mereka yang tetap setia sampai akhir dari masa Kesengsaraan akan masuk ke dalam kerajaan tanpa kematian (bnd. Mat 24:13, Mrk 13:13). Ini berarti bahwa ketekunan dalam karya akan mendatangkan ganjaran kekal (lih. ay. 36; Why 2:10).

Aplikasi

Di kalangan orang Kristen, ada yang beranggapan bahwa pelayanan adalah sesuatu yang dilakukan secara sukarela. Namun, “sukarela” ini kadang dimaknai sebagai ‘sesukanya’ atau se-‘rela’-nya sehingga membuat kualitas pelayanan itu sendiri menjadi berkurang, tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh (kalau sempat), bahkan tidak perlu membutuhkan keterampilan khusus. Definisi pelayanan yang seperti ini seringkali dibedakan dengan definisi mengenai pekerjaan, yakni: sesuatu yang dilakukan, semestinya secara profesional (kemampuan khusus yang dibayar), untuk mencari nafkah, atau mendapatkan suatu hasil. Kalangan seperti ini menganggap bahwa bekerja berbeda dengan melayani, sebab melayani bisa dilakukan oleh siapa saja, termasuk jenis kegiatan yang dapat dilakukan secara serabutan, dan tidak berorientasi pada hasil melainkan pada ketekunan.
Sepintas, idea semacam ini pada kenyataannya memang ada benarnya, bahkan seperti inilah yang berlaku secara umum di banyak gereja. Maka tak mengherankan jika berbagai bentuk pelayanan gerejawi, dalam komisi apapun, seringkali terkesan asal-asalan, kurang berkualitas, bahkan yang penting ada kemauan. Sebagai contoh: jika paduan suara gerejawi, dari tahun ke tahun menyanyikan lagu yang itu-itu saja, jumlah anggotanya tidak pernah pasti, jadual latihan tidak menentu, bahkan tanpa latihan pun bisa tampil; hal itu dianggap biasa/wajar dalam pelayanan. “Namanya juga pelayanan, sudah baik masih mau tampil”.
Memang, pelayanan yang dilakukan seperti itu tidak salah, sebab Bunda Teresa pun pernah menyatakan bahwa: “Tuhan tidak pernah menuntut kita untuk Sukses, Dia hanya mengharuskan kita Berusaha”. Namun sesungguhnya, pelayanan yang dilakukan seperti itu dapat dianggap sebagai pelayanan yang kurang baik. Oleh sebab itu sebaiknya kita perlu kembali belajar kepada Perjanjian Baru mengenai makna pelayanan yang baik :
Kata yang dipakai dalam Perjanjian Baru untuk menunjuk pada “pelayanan” adalah: diakoneo, douleo, leitourgeo, dan latreuo. Makna tiap kata itu tidak sama. Diakoneo: melayani orang yang lebih rendah dari dirinya; Douleo: menghamba, melayani orang yang lebih tinggi dari dirinya; Leitourgeo: kerja bakti untuk kepentingan orang banyak; sedangkan Latreuo: bekerja untuk mendapatkan latron (upah, gaji, kualitas). Dari ke-4 kata yang biasa dipakai oleh Perjanjian Baru itu, maka dapatlah ditarik kesimpulan bahwa:pelayanan adalah aktifitas yang dilakukan, baik untuk kepentingan sesama maupun untuk kemuliaan Allah, menuju suatu pencapaian yang baik (berkualitas), sehingga harus dilakukan secara profesional (dengan kemampuan dan minat).
-------
Oleh sebab itu jugalah, maka seluruh bagian Alkitab yang sedang kita perbincangkan saat ini sesungguhnya menekankan bahwa: pelayanan itu tak lain adalah ‘karya’ atau ‘kerja’. Sebab ketika ‘kerja’ itu merupakan sebuah upaya “menghidupi diri sendiri” (lih. II Tes. 3:10), maka demikian juga ‘pelayanan’, yakni “menghidupi imannya sendiri”. Oleh karena itu, maka ‘pelayanan’ pun perlu dilakukan dengan ketekunan, sebab seperti halnya manusia hidup butuh makan, kehidupan iman pun butuh makanan yang dihasilkan dari buah-buah pelayanan (agar tetap memperoleh hidup, lih. Lukas 21:19). Dan jika pelayanan yang dilakukan itu bukanlah sebuah karya yang profesional, berkualitas, dan tanpa minat, maka tentu buah-buah yang dihasilkannya pun tidak akan mengenyangkan kehidupan beriman. Oleh sebab itu, maka kinerja dalam pelayanan itu  haruslah sebuah upaya yang profesional, berkualitas, serta penuh tekad dan minat.
Apa yang sedang diwacanakan ini bukanlah bermaksud untuk membedakan, bahwa: pekerjaan itu hanyalah aktifitas yang menyangkut kehidupan profan (duniawi), sedangkan pelayanan itu menyangkut kehidupan iman (sorgawi). Sebab sesungguhnya keduanya, baik pekerjaan maupun pelayanan itu adalah aktifitas yang menyangkut kehidupan profan (duniawi) sekaligus kehidupan iman (sorgawi). Zaman Kerajaan 1000 tahun (zaman akhir) yang sedang terjadi dan kita alami saat ini pada hakekatnya adalah kehidupan duniawi di bawah pemerintahan (kendali) Sang Kristus, sehingga kerja/pelayanan umatNya pun berkenaan dengan seluruh kepentingan, baik sorgawi maupun duniawi. Pelayanan/kerja bagi kepentingan sesama, kepentingan diri sendiri dan bagi kemuliaan Tuhan, semuanya haruslah dilakukan sesuai kehendak Kristus, dan tidak perlu dipertentangkan antara satu dengan yang lain: mana yang sorgawi atau mana yang duniawi. Dengan demikian, maka:
§  Mereka yang menjadi Guru, baiklah mereka mendidik dengan ketekunan dan kinerja yang gigih bagi kebaikan para muridnya sekaligus demi kemuliaan Sang Kristus.
§  Mereka yang menjadi pegawai negeri, baiklah mereka mengabdi dengan ketekunan dan kinerja yang gigih bagi kebaikan masyarakat sekaligus demi kemuliaan Sang Kristus.
§  Mereka yang menjadi dokter, baiklah mereka mengobati dengan ketekunan dan kinerja yang gigih bagi kebaikan lingkungannya sekaligus demi kemuliaan Sang Kristus.

Medan 17 November 2013
Pdt. T.M. Karo-karo, STh,MA
 Khotbah Minggu 17 November 2013
GMI Kasih Karunia, Medan
Nats Alkitab : Lukas 21: 5-19

Bersama Injil Markus (13:1), di bagian ini pun Lukas menggambarkan bahwa bangunan Bait Allah bukanlah sekedar bangunan yang menjadi obyek wisata yang sangat terkenal, karena merupakan bangunan yang sangat besar/megah, sangat indah (super-estetik), dan sangat kokoh/kuat dengan dindingnya yang sangat tebal, namun juga merupakan bangunan yang menjadi simbol negara dan simbol kedekatan hubungan antara umat Yahudi dengan Allah. Bangunan ini adalah simbol Yudaisme –– yang menyangkut seluruh aspek kehidupan Yahudi, mulai aspek sosial, ekonomi, politik, maupun budaya. Kondisi bangsa Yahudi dilukiskan secara nyata oleh keberadaan bangunan ini. Oleh sebab itu, hancurnya gedung Bait Allah juga menyatakan hancurnya Yahudi sebagai bangsa dan negara.
Dan sungguh mengejutkan bila mengenai Bait Allah ini Tuhan Yesus justru berkata: “akan datang harinya di mana tidak ada satu batu pun akan dibiarkan terletak di atas batu yang lain” (ay. 6). Ini memang merupakan nubuatan yang secara harfiah benar-benar terjadi pada th 70, dimana pasukan Romawi di bawah pimpinan Jenderal Titus membumi-hanguskan Yerusalem, termasuk Bait Allah. Namun, sesungguhnya kehancuran Bait Allah yang dimaksudkan Yesus menunjuk pada konsep mengenai akhir zaman. Memang, kebetulan secara fisik Bait Allah benar-benar runtuh pada th 70, tetapi bukan itu maksud perkataan Tuhan di ay. 6 ini. Sebab, di bagian ini Tuhan Yesus sesungguhnya ingin memaparkan suatu pemahaman eskatologis, bahwa: hancurnya Bait Allah adalah simbol yang menunjuk pada hancurnya kedekatan hubungan antara manusia dengan Allahnya. Zaman yang penuh cobaan ini, ditandai dengan: penyesatan (ay. 8); peperangan dan pemberontakan (9-10); gempa bumi, penyakit, kelaparan, teror, dan tanda-tanda surgawi yang besar yang akan mendahului Kedatangan Kedua Kali (ay. 11). Secara rinci tanda-tanda surgawi ini disebut dalam Kitab Wahyu ps. 6-18. Namun hal-hal itu belumlah seberapa, sebab yang paling berpengaruh adalah bahwa: pada zaman ini kehidupan orang beriman akan mengalami ujian yang berat. Berbagai ujian yang akan dialami orang beriman itu dipaparkan Lukas dalam ay. 12, di antaranya: mereka akan dimusuhi di sinagog-sinagog (bnd. Mat. 10:17; Mrk 13:9), ditangkap, dianiaya, dipenjara, dan dihadapkan kepada para penguasa bangsa lain untuk diadili (bnd. Mat 10:18; Mrk 13:9). Semua itu terjadi oleh karena “nama-Ku” –– yakni karena iman mereka kepada Yesus. Di samping itu, di ay. 16-17, mereka juga akan mengalami pengkhianatan dari kerabat dekat dan teman-teman (bdk. Mrk 13:12).
Akan tetapi ujian yang dihadapi oleh orang beriman itu justru merupakan kesempatan bagi mereka untuk dapat “bersaksi” (ay. 13). Dan dalam melakukan “kesaksian”-nya ini mereka tidak perlu khawatir tentang apa yang harus mereka katakan, melainkan hanya bergantung pada janji Yesus yang akan membantu mereka berkata-kata (bdk. Kel. 4:11, 15; Yeh. 29:21) dan kebijaksanaan yang akan mereka butuhkan saat itu (bdk. 12:11-12; Mat. 10:19-20, Mrk 13:11). Ini semua akan mereka terima melalui karya Roh Kudus kepada mereka (Mrk 13:11). Mereka akan menemukan bahwa kesaksian mereka akan menjadi sangat kuat. Ini semua akhirnya memang benar-benar terjadi dalam kehidupan gereja mula-mula (mis., Kis 4:14; 6:10; 8:3; 12:4; 21:11; 22:4, 27:1, 28:17) dan di sepanjang sejarah gereja. Dalam hal ini, Yesus berjanji bahwa Dia akan selalu menjaga mereka agar tetap aman (ay. 18). Ini mungkin berarti bahwa tidak ada bahaya yang akan menimpa mereka tanpa seizin Bapa (ay 16; bnd. Kis 27:34). Beberapa penafsir percaya bahwa  hal ini hanyalah mengacu pada keselamatan rohani, tetapi tidak terhadap keselamatan jasmani.
Hal terpenting di sini (ay. 19) adalah bahwa: dengan ketekunan dalam karya, saat mereka dianiaya, hal itu justru akan melestarikan kehidupan mereka (Yun. ktesesthe tas psychas hymon). Artinya, mereka tidak akan mati sebelum dikehendaki Tuhan (ay 18). Beberapa penafsir percaya bahwa ayat ini bertujuan menyatakan bahwa mereka yang bertahan sampai akhir akan mengalami keselamatan (bnd. Mat 24:13, Mrk 13:13). Mereka yang tetap setia sampai akhir dari masa Kesengsaraan akan masuk ke dalam kerajaan tanpa kematian (bnd. Mat 24:13, Mrk 13:13). Ini berarti bahwa ketekunan dalam karya akan mendatangkan ganjaran kekal (lih. ay. 36; Why 2:10).

Aplikasi

Di kalangan orang Kristen, ada yang beranggapan bahwa pelayanan adalah sesuatu yang dilakukan secara sukarela. Namun, “sukarela” ini kadang dimaknai sebagai ‘sesukanya’ atau se-‘rela’-nya sehingga membuat kualitas pelayanan itu sendiri menjadi berkurang, tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh (kalau sempat), bahkan tidak perlu membutuhkan keterampilan khusus. Definisi pelayanan yang seperti ini seringkali dibedakan dengan definisi mengenai pekerjaan, yakni: sesuatu yang dilakukan, semestinya secara profesional (kemampuan khusus yang dibayar), untuk mencari nafkah, atau mendapatkan suatu hasil. Kalangan seperti ini menganggap bahwa bekerja berbeda dengan melayani, sebab melayani bisa dilakukan oleh siapa saja, termasuk jenis kegiatan yang dapat dilakukan secara serabutan, dan tidak berorientasi pada hasil melainkan pada ketekunan.
Sepintas, idea semacam ini pada kenyataannya memang ada benarnya, bahkan seperti inilah yang berlaku secara umum di banyak gereja. Maka tak mengherankan jika berbagai bentuk pelayanan gerejawi, dalam komisi apapun, seringkali terkesan asal-asalan, kurang berkualitas, bahkan yang penting ada kemauan. Sebagai contoh: jika paduan suara gerejawi, dari tahun ke tahun menyanyikan lagu yang itu-itu saja, jumlah anggotanya tidak pernah pasti, jadual latihan tidak menentu, bahkan tanpa latihan pun bisa tampil; hal itu dianggap biasa/wajar dalam pelayanan. “Namanya juga pelayanan, sudah baik masih mau tampil”.
Memang, pelayanan yang dilakukan seperti itu tidak salah, sebab Bunda Teresa pun pernah menyatakan bahwa: “Tuhan tidak pernah menuntut kita untuk Sukses, Dia hanya mengharuskan kita Berusaha”. Namun sesungguhnya, pelayanan yang dilakukan seperti itu dapat dianggap sebagai pelayanan yang kurang baik. Oleh sebab itu sebaiknya kita perlu kembali belajar kepada Perjanjian Baru mengenai makna pelayanan yang baik :
Kata yang dipakai dalam Perjanjian Baru untuk menunjuk pada “pelayanan” adalah: diakoneo, douleo, leitourgeo, dan latreuo. Makna tiap kata itu tidak sama. Diakoneo: melayani orang yang lebih rendah dari dirinya; Douleo: menghamba, melayani orang yang lebih tinggi dari dirinya; Leitourgeo: kerja bakti untuk kepentingan orang banyak; sedangkan Latreuo: bekerja untuk mendapatkan latron (upah, gaji, kualitas). Dari ke-4 kata yang biasa dipakai oleh Perjanjian Baru itu, maka dapatlah ditarik kesimpulan bahwa:pelayanan adalah aktifitas yang dilakukan, baik untuk kepentingan sesama maupun untuk kemuliaan Allah, menuju suatu pencapaian yang baik (berkualitas), sehingga harus dilakukan secara profesional (dengan kemampuan dan minat).
-------
Oleh sebab itu jugalah, maka seluruh bagian Alkitab yang sedang kita perbincangkan saat ini sesungguhnya menekankan bahwa: pelayanan itu tak lain adalah ‘karya’ atau ‘kerja’. Sebab ketika ‘kerja’ itu merupakan sebuah upaya “menghidupi diri sendiri” (lih. II Tes. 3:10), maka demikian juga ‘pelayanan’, yakni “menghidupi imannya sendiri”. Oleh karena itu, maka ‘pelayanan’ pun perlu dilakukan dengan ketekunan, sebab seperti halnya manusia hidup butuh makan, kehidupan iman pun butuh makanan yang dihasilkan dari buah-buah pelayanan (agar tetap memperoleh hidup, lih. Lukas 21:19). Dan jika pelayanan yang dilakukan itu bukanlah sebuah karya yang profesional, berkualitas, dan tanpa minat, maka tentu buah-buah yang dihasilkannya pun tidak akan mengenyangkan kehidupan beriman. Oleh sebab itu, maka kinerja dalam pelayanan itu  haruslah sebuah upaya yang profesional, berkualitas, serta penuh tekad dan minat.
Apa yang sedang diwacanakan ini bukanlah bermaksud untuk membedakan, bahwa: pekerjaan itu hanyalah aktifitas yang menyangkut kehidupan profan (duniawi), sedangkan pelayanan itu menyangkut kehidupan iman (sorgawi). Sebab sesungguhnya keduanya, baik pekerjaan maupun pelayanan itu adalah aktifitas yang menyangkut kehidupan profan (duniawi) sekaligus kehidupan iman (sorgawi). Zaman Kerajaan 1000 tahun (zaman akhir) yang sedang terjadi dan kita alami saat ini pada hakekatnya adalah kehidupan duniawi di bawah pemerintahan (kendali) Sang Kristus, sehingga kerja/pelayanan umatNya pun berkenaan dengan seluruh kepentingan, baik sorgawi maupun duniawi. Pelayanan/kerja bagi kepentingan sesama, kepentingan diri sendiri dan bagi kemuliaan Tuhan, semuanya haruslah dilakukan sesuai kehendak Kristus, dan tidak perlu dipertentangkan antara satu dengan yang lain: mana yang sorgawi atau mana yang duniawi. Dengan demikian, maka:
§  Mereka yang menjadi Guru, baiklah mereka mendidik dengan ketekunan dan kinerja yang gigih bagi kebaikan para muridnya sekaligus demi kemuliaan Sang Kristus.
§  Mereka yang menjadi pegawai negeri, baiklah mereka mengabdi dengan ketekunan dan kinerja yang gigih bagi kebaikan masyarakat sekaligus demi kemuliaan Sang Kristus.
§  Mereka yang menjadi dokter, baiklah mereka mengobati dengan ketekunan dan kinerja yang gigih bagi kebaikan lingkungannya sekaligus demi kemuliaan Sang Kristus.

Medan 17 November 2013
Pdt. T.M. Karo-karo, STh,MA
 Khotbah Minggu 17 November 2013
GMI Kasih Karunia, Medan
Nats Alkitab : Lukas 21: 5-19

Bersama Injil Markus (13:1), di bagian ini pun Lukas menggambarkan bahwa bangunan Bait Allah bukanlah sekedar bangunan yang menjadi obyek wisata yang sangat terkenal, karena merupakan bangunan yang sangat besar/megah, sangat indah (super-estetik), dan sangat kokoh/kuat dengan dindingnya yang sangat tebal, namun juga merupakan bangunan yang menjadi simbol negara dan simbol kedekatan hubungan antara umat Yahudi dengan Allah. Bangunan ini adalah simbol Yudaisme –– yang menyangkut seluruh aspek kehidupan Yahudi, mulai aspek sosial, ekonomi, politik, maupun budaya. Kondisi bangsa Yahudi dilukiskan secara nyata oleh keberadaan bangunan ini. Oleh sebab itu, hancurnya gedung Bait Allah juga menyatakan hancurnya Yahudi sebagai bangsa dan negara.
Dan sungguh mengejutkan bila mengenai Bait Allah ini Tuhan Yesus justru berkata: “akan datang harinya di mana tidak ada satu batu pun akan dibiarkan terletak di atas batu yang lain” (ay. 6). Ini memang merupakan nubuatan yang secara harfiah benar-benar terjadi pada th 70, dimana pasukan Romawi di bawah pimpinan Jenderal Titus membumi-hanguskan Yerusalem, termasuk Bait Allah. Namun, sesungguhnya kehancuran Bait Allah yang dimaksudkan Yesus menunjuk pada konsep mengenai akhir zaman. Memang, kebetulan secara fisik Bait Allah benar-benar runtuh pada th 70, tetapi bukan itu maksud perkataan Tuhan di ay. 6 ini. Sebab, di bagian ini Tuhan Yesus sesungguhnya ingin memaparkan suatu pemahaman eskatologis, bahwa: hancurnya Bait Allah adalah simbol yang menunjuk pada hancurnya kedekatan hubungan antara manusia dengan Allahnya. Zaman yang penuh cobaan ini, ditandai dengan: penyesatan (ay. 8); peperangan dan pemberontakan (9-10); gempa bumi, penyakit, kelaparan, teror, dan tanda-tanda surgawi yang besar yang akan mendahului Kedatangan Kedua Kali (ay. 11). Secara rinci tanda-tanda surgawi ini disebut dalam Kitab Wahyu ps. 6-18. Namun hal-hal itu belumlah seberapa, sebab yang paling berpengaruh adalah bahwa: pada zaman ini kehidupan orang beriman akan mengalami ujian yang berat. Berbagai ujian yang akan dialami orang beriman itu dipaparkan Lukas dalam ay. 12, di antaranya: mereka akan dimusuhi di sinagog-sinagog (bnd. Mat. 10:17; Mrk 13:9), ditangkap, dianiaya, dipenjara, dan dihadapkan kepada para penguasa bangsa lain untuk diadili (bnd. Mat 10:18; Mrk 13:9). Semua itu terjadi oleh karena “nama-Ku” –– yakni karena iman mereka kepada Yesus. Di samping itu, di ay. 16-17, mereka juga akan mengalami pengkhianatan dari kerabat dekat dan teman-teman (bdk. Mrk 13:12).
Akan tetapi ujian yang dihadapi oleh orang beriman itu justru merupakan kesempatan bagi mereka untuk dapat “bersaksi” (ay. 13). Dan dalam melakukan “kesaksian”-nya ini mereka tidak perlu khawatir tentang apa yang harus mereka katakan, melainkan hanya bergantung pada janji Yesus yang akan membantu mereka berkata-kata (bdk. Kel. 4:11, 15; Yeh. 29:21) dan kebijaksanaan yang akan mereka butuhkan saat itu (bdk. 12:11-12; Mat. 10:19-20, Mrk 13:11). Ini semua akan mereka terima melalui karya Roh Kudus kepada mereka (Mrk 13:11). Mereka akan menemukan bahwa kesaksian mereka akan menjadi sangat kuat. Ini semua akhirnya memang benar-benar terjadi dalam kehidupan gereja mula-mula (mis., Kis 4:14; 6:10; 8:3; 12:4; 21:11; 22:4, 27:1, 28:17) dan di sepanjang sejarah gereja. Dalam hal ini, Yesus berjanji bahwa Dia akan selalu menjaga mereka agar tetap aman (ay. 18). Ini mungkin berarti bahwa tidak ada bahaya yang akan menimpa mereka tanpa seizin Bapa (ay 16; bnd. Kis 27:34). Beberapa penafsir percaya bahwa  hal ini hanyalah mengacu pada keselamatan rohani, tetapi tidak terhadap keselamatan jasmani.
Hal terpenting di sini (ay. 19) adalah bahwa: dengan ketekunan dalam karya, saat mereka dianiaya, hal itu justru akan melestarikan kehidupan mereka (Yun. ktesesthe tas psychas hymon). Artinya, mereka tidak akan mati sebelum dikehendaki Tuhan (ay 18). Beberapa penafsir percaya bahwa ayat ini bertujuan menyatakan bahwa mereka yang bertahan sampai akhir akan mengalami keselamatan (bnd. Mat 24:13, Mrk 13:13). Mereka yang tetap setia sampai akhir dari masa Kesengsaraan akan masuk ke dalam kerajaan tanpa kematian (bnd. Mat 24:13, Mrk 13:13). Ini berarti bahwa ketekunan dalam karya akan mendatangkan ganjaran kekal (lih. ay. 36; Why 2:10).

Aplikasi

Di kalangan orang Kristen, ada yang beranggapan bahwa pelayanan adalah sesuatu yang dilakukan secara sukarela. Namun, “sukarela” ini kadang dimaknai sebagai ‘sesukanya’ atau se-‘rela’-nya sehingga membuat kualitas pelayanan itu sendiri menjadi berkurang, tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh (kalau sempat), bahkan tidak perlu membutuhkan keterampilan khusus. Definisi pelayanan yang seperti ini seringkali dibedakan dengan definisi mengenai pekerjaan, yakni: sesuatu yang dilakukan, semestinya secara profesional (kemampuan khusus yang dibayar), untuk mencari nafkah, atau mendapatkan suatu hasil. Kalangan seperti ini menganggap bahwa bekerja berbeda dengan melayani, sebab melayani bisa dilakukan oleh siapa saja, termasuk jenis kegiatan yang dapat dilakukan secara serabutan, dan tidak berorientasi pada hasil melainkan pada ketekunan.
Sepintas, idea semacam ini pada kenyataannya memang ada benarnya, bahkan seperti inilah yang berlaku secara umum di banyak gereja. Maka tak mengherankan jika berbagai bentuk pelayanan gerejawi, dalam komisi apapun, seringkali terkesan asal-asalan, kurang berkualitas, bahkan yang penting ada kemauan. Sebagai contoh: jika paduan suara gerejawi, dari tahun ke tahun menyanyikan lagu yang itu-itu saja, jumlah anggotanya tidak pernah pasti, jadual latihan tidak menentu, bahkan tanpa latihan pun bisa tampil; hal itu dianggap biasa/wajar dalam pelayanan. “Namanya juga pelayanan, sudah baik masih mau tampil”.
Memang, pelayanan yang dilakukan seperti itu tidak salah, sebab Bunda Teresa pun pernah menyatakan bahwa: “Tuhan tidak pernah menuntut kita untuk Sukses, Dia hanya mengharuskan kita Berusaha”. Namun sesungguhnya, pelayanan yang dilakukan seperti itu dapat dianggap sebagai pelayanan yang kurang baik. Oleh sebab itu sebaiknya kita perlu kembali belajar kepada Perjanjian Baru mengenai makna pelayanan yang baik :
Kata yang dipakai dalam Perjanjian Baru untuk menunjuk pada “pelayanan” adalah: diakoneo, douleo, leitourgeo, dan latreuo. Makna tiap kata itu tidak sama. Diakoneo: melayani orang yang lebih rendah dari dirinya; Douleo: menghamba, melayani orang yang lebih tinggi dari dirinya; Leitourgeo: kerja bakti untuk kepentingan orang banyak; sedangkan Latreuo: bekerja untuk mendapatkan latron (upah, gaji, kualitas). Dari ke-4 kata yang biasa dipakai oleh Perjanjian Baru itu, maka dapatlah ditarik kesimpulan bahwa:pelayanan adalah aktifitas yang dilakukan, baik untuk kepentingan sesama maupun untuk kemuliaan Allah, menuju suatu pencapaian yang baik (berkualitas), sehingga harus dilakukan secara profesional (dengan kemampuan dan minat).
-------
Oleh sebab itu jugalah, maka seluruh bagian Alkitab yang sedang kita perbincangkan saat ini sesungguhnya menekankan bahwa: pelayanan itu tak lain adalah ‘karya’ atau ‘kerja’. Sebab ketika ‘kerja’ itu merupakan sebuah upaya “menghidupi diri sendiri” (lih. II Tes. 3:10), maka demikian juga ‘pelayanan’, yakni “menghidupi imannya sendiri”. Oleh karena itu, maka ‘pelayanan’ pun perlu dilakukan dengan ketekunan, sebab seperti halnya manusia hidup butuh makan, kehidupan iman pun butuh makanan yang dihasilkan dari buah-buah pelayanan (agar tetap memperoleh hidup, lih. Lukas 21:19). Dan jika pelayanan yang dilakukan itu bukanlah sebuah karya yang profesional, berkualitas, dan tanpa minat, maka tentu buah-buah yang dihasilkannya pun tidak akan mengenyangkan kehidupan beriman. Oleh sebab itu, maka kinerja dalam pelayanan itu  haruslah sebuah upaya yang profesional, berkualitas, serta penuh tekad dan minat.
Apa yang sedang diwacanakan ini bukanlah bermaksud untuk membedakan, bahwa: pekerjaan itu hanyalah aktifitas yang menyangkut kehidupan profan (duniawi), sedangkan pelayanan itu menyangkut kehidupan iman (sorgawi). Sebab sesungguhnya keduanya, baik pekerjaan maupun pelayanan itu adalah aktifitas yang menyangkut kehidupan profan (duniawi) sekaligus kehidupan iman (sorgawi). Zaman Kerajaan 1000 tahun (zaman akhir) yang sedang terjadi dan kita alami saat ini pada hakekatnya adalah kehidupan duniawi di bawah pemerintahan (kendali) Sang Kristus, sehingga kerja/pelayanan umatNya pun berkenaan dengan seluruh kepentingan, baik sorgawi maupun duniawi. Pelayanan/kerja bagi kepentingan sesama, kepentingan diri sendiri dan bagi kemuliaan Tuhan, semuanya haruslah dilakukan sesuai kehendak Kristus, dan tidak perlu dipertentangkan antara satu dengan yang lain: mana yang sorgawi atau mana yang duniawi. Dengan demikian, maka:
§  Mereka yang menjadi Guru, baiklah mereka mendidik dengan ketekunan dan kinerja yang gigih bagi kebaikan para muridnya sekaligus demi kemuliaan Sang Kristus.
§  Mereka yang menjadi pegawai negeri, baiklah mereka mengabdi dengan ketekunan dan kinerja yang gigih bagi kebaikan masyarakat sekaligus demi kemuliaan Sang Kristus.
§  Mereka yang menjadi dokter, baiklah mereka mengobati dengan ketekunan dan kinerja yang gigih bagi kebaikan lingkungannya sekaligus demi kemuliaan Sang Kristus.

Medan 17 November 2013
Pdt. T.M. Karo-karo, STh,MA
 Khotbah Minggu 17 November 2013
GMI Kasih Karunia, Medan
Nats Alkitab : Lukas 21: 5-19

Bersama Injil Markus (13:1), di bagian ini pun Lukas menggambarkan bahwa bangunan Bait Allah bukanlah sekedar bangunan yang menjadi obyek wisata yang sangat terkenal, karena merupakan bangunan yang sangat besar/megah, sangat indah (super-estetik), dan sangat kokoh/kuat dengan dindingnya yang sangat tebal, namun juga merupakan bangunan yang menjadi simbol negara dan simbol kedekatan hubungan antara umat Yahudi dengan Allah. Bangunan ini adalah simbol Yudaisme –– yang menyangkut seluruh aspek kehidupan Yahudi, mulai aspek sosial, ekonomi, politik, maupun budaya. Kondisi bangsa Yahudi dilukiskan secara nyata oleh keberadaan bangunan ini. Oleh sebab itu, hancurnya gedung Bait Allah juga menyatakan hancurnya Yahudi sebagai bangsa dan negara.
Dan sungguh mengejutkan bila mengenai Bait Allah ini Tuhan Yesus justru berkata: “akan datang harinya di mana tidak ada satu batu pun akan dibiarkan terletak di atas batu yang lain” (ay. 6). Ini memang merupakan nubuatan yang secara harfiah benar-benar terjadi pada th 70, dimana pasukan Romawi di bawah pimpinan Jenderal Titus membumi-hanguskan Yerusalem, termasuk Bait Allah. Namun, sesungguhnya kehancuran Bait Allah yang dimaksudkan Yesus menunjuk pada konsep mengenai akhir zaman. Memang, kebetulan secara fisik Bait Allah benar-benar runtuh pada th 70, tetapi bukan itu maksud perkataan Tuhan di ay. 6 ini. Sebab, di bagian ini Tuhan Yesus sesungguhnya ingin memaparkan suatu pemahaman eskatologis, bahwa: hancurnya Bait Allah adalah simbol yang menunjuk pada hancurnya kedekatan hubungan antara manusia dengan Allahnya. Zaman yang penuh cobaan ini, ditandai dengan: penyesatan (ay. 8); peperangan dan pemberontakan (9-10); gempa bumi, penyakit, kelaparan, teror, dan tanda-tanda surgawi yang besar yang akan mendahului Kedatangan Kedua Kali (ay. 11). Secara rinci tanda-tanda surgawi ini disebut dalam Kitab Wahyu ps. 6-18. Namun hal-hal itu belumlah seberapa, sebab yang paling berpengaruh adalah bahwa: pada zaman ini kehidupan orang beriman akan mengalami ujian yang berat. Berbagai ujian yang akan dialami orang beriman itu dipaparkan Lukas dalam ay. 12, di antaranya: mereka akan dimusuhi di sinagog-sinagog (bnd. Mat. 10:17; Mrk 13:9), ditangkap, dianiaya, dipenjara, dan dihadapkan kepada para penguasa bangsa lain untuk diadili (bnd. Mat 10:18; Mrk 13:9). Semua itu terjadi oleh karena “nama-Ku” –– yakni karena iman mereka kepada Yesus. Di samping itu, di ay. 16-17, mereka juga akan mengalami pengkhianatan dari kerabat dekat dan teman-teman (bdk. Mrk 13:12).
Akan tetapi ujian yang dihadapi oleh orang beriman itu justru merupakan kesempatan bagi mereka untuk dapat “bersaksi” (ay. 13). Dan dalam melakukan “kesaksian”-nya ini mereka tidak perlu khawatir tentang apa yang harus mereka katakan, melainkan hanya bergantung pada janji Yesus yang akan membantu mereka berkata-kata (bdk. Kel. 4:11, 15; Yeh. 29:21) dan kebijaksanaan yang akan mereka butuhkan saat itu (bdk. 12:11-12; Mat. 10:19-20, Mrk 13:11). Ini semua akan mereka terima melalui karya Roh Kudus kepada mereka (Mrk 13:11). Mereka akan menemukan bahwa kesaksian mereka akan menjadi sangat kuat. Ini semua akhirnya memang benar-benar terjadi dalam kehidupan gereja mula-mula (mis., Kis 4:14; 6:10; 8:3; 12:4; 21:11; 22:4, 27:1, 28:17) dan di sepanjang sejarah gereja. Dalam hal ini, Yesus berjanji bahwa Dia akan selalu menjaga mereka agar tetap aman (ay. 18). Ini mungkin berarti bahwa tidak ada bahaya yang akan menimpa mereka tanpa seizin Bapa (ay 16; bnd. Kis 27:34). Beberapa penafsir percaya bahwa  hal ini hanyalah mengacu pada keselamatan rohani, tetapi tidak terhadap keselamatan jasmani.
Hal terpenting di sini (ay. 19) adalah bahwa: dengan ketekunan dalam karya, saat mereka dianiaya, hal itu justru akan melestarikan kehidupan mereka (Yun. ktesesthe tas psychas hymon). Artinya, mereka tidak akan mati sebelum dikehendaki Tuhan (ay 18). Beberapa penafsir percaya bahwa ayat ini bertujuan menyatakan bahwa mereka yang bertahan sampai akhir akan mengalami keselamatan (bnd. Mat 24:13, Mrk 13:13). Mereka yang tetap setia sampai akhir dari masa Kesengsaraan akan masuk ke dalam kerajaan tanpa kematian (bnd. Mat 24:13, Mrk 13:13). Ini berarti bahwa ketekunan dalam karya akan mendatangkan ganjaran kekal (lih. ay. 36; Why 2:10).

Aplikasi

Di kalangan orang Kristen, ada yang beranggapan bahwa pelayanan adalah sesuatu yang dilakukan secara sukarela. Namun, “sukarela” ini kadang dimaknai sebagai ‘sesukanya’ atau se-‘rela’-nya sehingga membuat kualitas pelayanan itu sendiri menjadi berkurang, tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh (kalau sempat), bahkan tidak perlu membutuhkan keterampilan khusus. Definisi pelayanan yang seperti ini seringkali dibedakan dengan definisi mengenai pekerjaan, yakni: sesuatu yang dilakukan, semestinya secara profesional (kemampuan khusus yang dibayar), untuk mencari nafkah, atau mendapatkan suatu hasil. Kalangan seperti ini menganggap bahwa bekerja berbeda dengan melayani, sebab melayani bisa dilakukan oleh siapa saja, termasuk jenis kegiatan yang dapat dilakukan secara serabutan, dan tidak berorientasi pada hasil melainkan pada ketekunan.
Sepintas, idea semacam ini pada kenyataannya memang ada benarnya, bahkan seperti inilah yang berlaku secara umum di banyak gereja. Maka tak mengherankan jika berbagai bentuk pelayanan gerejawi, dalam komisi apapun, seringkali terkesan asal-asalan, kurang berkualitas, bahkan yang penting ada kemauan. Sebagai contoh: jika paduan suara gerejawi, dari tahun ke tahun menyanyikan lagu yang itu-itu saja, jumlah anggotanya tidak pernah pasti, jadual latihan tidak menentu, bahkan tanpa latihan pun bisa tampil; hal itu dianggap biasa/wajar dalam pelayanan. “Namanya juga pelayanan, sudah baik masih mau tampil”.
Memang, pelayanan yang dilakukan seperti itu tidak salah, sebab Bunda Teresa pun pernah menyatakan bahwa: “Tuhan tidak pernah menuntut kita untuk Sukses, Dia hanya mengharuskan kita Berusaha”. Namun sesungguhnya, pelayanan yang dilakukan seperti itu dapat dianggap sebagai pelayanan yang kurang baik. Oleh sebab itu sebaiknya kita perlu kembali belajar kepada Perjanjian Baru mengenai makna pelayanan yang baik :
Kata yang dipakai dalam Perjanjian Baru untuk menunjuk pada “pelayanan” adalah: diakoneo, douleo, leitourgeo, dan latreuo. Makna tiap kata itu tidak sama. Diakoneo: melayani orang yang lebih rendah dari dirinya; Douleo: menghamba, melayani orang yang lebih tinggi dari dirinya; Leitourgeo: kerja bakti untuk kepentingan orang banyak; sedangkan Latreuo: bekerja untuk mendapatkan latron (upah, gaji, kualitas). Dari ke-4 kata yang biasa dipakai oleh Perjanjian Baru itu, maka dapatlah ditarik kesimpulan bahwa:pelayanan adalah aktifitas yang dilakukan, baik untuk kepentingan sesama maupun untuk kemuliaan Allah, menuju suatu pencapaian yang baik (berkualitas), sehingga harus dilakukan secara profesional (dengan kemampuan dan minat).
-------
Oleh sebab itu jugalah, maka seluruh bagian Alkitab yang sedang kita perbincangkan saat ini sesungguhnya menekankan bahwa: pelayanan itu tak lain adalah ‘karya’ atau ‘kerja’. Sebab ketika ‘kerja’ itu merupakan sebuah upaya “menghidupi diri sendiri” (lih. II Tes. 3:10), maka demikian juga ‘pelayanan’, yakni “menghidupi imannya sendiri”. Oleh karena itu, maka ‘pelayanan’ pun perlu dilakukan dengan ketekunan, sebab seperti halnya manusia hidup butuh makan, kehidupan iman pun butuh makanan yang dihasilkan dari buah-buah pelayanan (agar tetap memperoleh hidup, lih. Lukas 21:19). Dan jika pelayanan yang dilakukan itu bukanlah sebuah karya yang profesional, berkualitas, dan tanpa minat, maka tentu buah-buah yang dihasilkannya pun tidak akan mengenyangkan kehidupan beriman. Oleh sebab itu, maka kinerja dalam pelayanan itu  haruslah sebuah upaya yang profesional, berkualitas, serta penuh tekad dan minat.
Apa yang sedang diwacanakan ini bukanlah bermaksud untuk membedakan, bahwa: pekerjaan itu hanyalah aktifitas yang menyangkut kehidupan profan (duniawi), sedangkan pelayanan itu menyangkut kehidupan iman (sorgawi). Sebab sesungguhnya keduanya, baik pekerjaan maupun pelayanan itu adalah aktifitas yang menyangkut kehidupan profan (duniawi) sekaligus kehidupan iman (sorgawi). Zaman Kerajaan 1000 tahun (zaman akhir) yang sedang terjadi dan kita alami saat ini pada hakekatnya adalah kehidupan duniawi di bawah pemerintahan (kendali) Sang Kristus, sehingga kerja/pelayanan umatNya pun berkenaan dengan seluruh kepentingan, baik sorgawi maupun duniawi. Pelayanan/kerja bagi kepentingan sesama, kepentingan diri sendiri dan bagi kemuliaan Tuhan, semuanya haruslah dilakukan sesuai kehendak Kristus, dan tidak perlu dipertentangkan antara satu dengan yang lain: mana yang sorgawi atau mana yang duniawi. Dengan demikian, maka:
§  Mereka yang menjadi Guru, baiklah mereka mendidik dengan ketekunan dan kinerja yang gigih bagi kebaikan para muridnya sekaligus demi kemuliaan Sang Kristus.
§  Mereka yang menjadi pegawai negeri, baiklah mereka mengabdi dengan ketekunan dan kinerja yang gigih bagi kebaikan masyarakat sekaligus demi kemuliaan Sang Kristus.
§  Mereka yang menjadi dokter, baiklah mereka mengobati dengan ketekunan dan kinerja yang gigih bagi kebaikan lingkungannya sekaligus demi kemuliaan Sang Kristus.

Medan 17 November 2013
Pdt. T.M. Karo-karo, STh,MA
 Khotbah Minggu 17 November 2013
GMI Kasih Karunia, Medan
Nats Alkitab : Lukas 21: 5-19

Bersama Injil Markus (13:1), di bagian ini pun Lukas menggambarkan bahwa bangunan Bait Allah bukanlah sekedar bangunan yang menjadi obyek wisata yang sangat terkenal, karena merupakan bangunan yang sangat besar/megah, sangat indah (super-estetik), dan sangat kokoh/kuat dengan dindingnya yang sangat tebal, namun juga merupakan bangunan yang menjadi simbol negara dan simbol kedekatan hubungan antara umat Yahudi dengan Allah. Bangunan ini adalah simbol Yudaisme –– yang menyangkut seluruh aspek kehidupan Yahudi, mulai aspek sosial, ekonomi, politik, maupun budaya. Kondisi bangsa Yahudi dilukiskan secara nyata oleh keberadaan bangunan ini. Oleh sebab itu, hancurnya gedung Bait Allah juga menyatakan hancurnya Yahudi sebagai bangsa dan negara.
Dan sungguh mengejutkan bila mengenai Bait Allah ini Tuhan Yesus justru berkata: “akan datang harinya di mana tidak ada satu batu pun akan dibiarkan terletak di atas batu yang lain” (ay. 6). Ini memang merupakan nubuatan yang secara harfiah benar-benar terjadi pada th 70, dimana pasukan Romawi di bawah pimpinan Jenderal Titus membumi-hanguskan Yerusalem, termasuk Bait Allah. Namun, sesungguhnya kehancuran Bait Allah yang dimaksudkan Yesus menunjuk pada konsep mengenai akhir zaman. Memang, kebetulan secara fisik Bait Allah benar-benar runtuh pada th 70, tetapi bukan itu maksud perkataan Tuhan di ay. 6 ini. Sebab, di bagian ini Tuhan Yesus sesungguhnya ingin memaparkan suatu pemahaman eskatologis, bahwa: hancurnya Bait Allah adalah simbol yang menunjuk pada hancurnya kedekatan hubungan antara manusia dengan Allahnya. Zaman yang penuh cobaan ini, ditandai dengan: penyesatan (ay. 8); peperangan dan pemberontakan (9-10); gempa bumi, penyakit, kelaparan, teror, dan tanda-tanda surgawi yang besar yang akan mendahului Kedatangan Kedua Kali (ay. 11). Secara rinci tanda-tanda surgawi ini disebut dalam Kitab Wahyu ps. 6-18. Namun hal-hal itu belumlah seberapa, sebab yang paling berpengaruh adalah bahwa: pada zaman ini kehidupan orang beriman akan mengalami ujian yang berat. Berbagai ujian yang akan dialami orang beriman itu dipaparkan Lukas dalam ay. 12, di antaranya: mereka akan dimusuhi di sinagog-sinagog (bnd. Mat. 10:17; Mrk 13:9), ditangkap, dianiaya, dipenjara, dan dihadapkan kepada para penguasa bangsa lain untuk diadili (bnd. Mat 10:18; Mrk 13:9). Semua itu terjadi oleh karena “nama-Ku” –– yakni karena iman mereka kepada Yesus. Di samping itu, di ay. 16-17, mereka juga akan mengalami pengkhianatan dari kerabat dekat dan teman-teman (bdk. Mrk 13:12).
Akan tetapi ujian yang dihadapi oleh orang beriman itu justru merupakan kesempatan bagi mereka untuk dapat “bersaksi” (ay. 13). Dan dalam melakukan “kesaksian”-nya ini mereka tidak perlu khawatir tentang apa yang harus mereka katakan, melainkan hanya bergantung pada janji Yesus yang akan membantu mereka berkata-kata (bdk. Kel. 4:11, 15; Yeh. 29:21) dan kebijaksanaan yang akan mereka butuhkan saat itu (bdk. 12:11-12; Mat. 10:19-20, Mrk 13:11). Ini semua akan mereka terima melalui karya Roh Kudus kepada mereka (Mrk 13:11). Mereka akan menemukan bahwa kesaksian mereka akan menjadi sangat kuat. Ini semua akhirnya memang benar-benar terjadi dalam kehidupan gereja mula-mula (mis., Kis 4:14; 6:10; 8:3; 12:4; 21:11; 22:4, 27:1, 28:17) dan di sepanjang sejarah gereja. Dalam hal ini, Yesus berjanji bahwa Dia akan selalu menjaga mereka agar tetap aman (ay. 18). Ini mungkin berarti bahwa tidak ada bahaya yang akan menimpa mereka tanpa seizin Bapa (ay 16; bnd. Kis 27:34). Beberapa penafsir percaya bahwa  hal ini hanyalah mengacu pada keselamatan rohani, tetapi tidak terhadap keselamatan jasmani.
Hal terpenting di sini (ay. 19) adalah bahwa: dengan ketekunan dalam karya, saat mereka dianiaya, hal itu justru akan melestarikan kehidupan mereka (Yun. ktesesthe tas psychas hymon). Artinya, mereka tidak akan mati sebelum dikehendaki Tuhan (ay 18). Beberapa penafsir percaya bahwa ayat ini bertujuan menyatakan bahwa mereka yang bertahan sampai akhir akan mengalami keselamatan (bnd. Mat 24:13, Mrk 13:13). Mereka yang tetap setia sampai akhir dari masa Kesengsaraan akan masuk ke dalam kerajaan tanpa kematian (bnd. Mat 24:13, Mrk 13:13). Ini berarti bahwa ketekunan dalam karya akan mendatangkan ganjaran kekal (lih. ay. 36; Why 2:10).

Aplikasi

Di kalangan orang Kristen, ada yang beranggapan bahwa pelayanan adalah sesuatu yang dilakukan secara sukarela. Namun, “sukarela” ini kadang dimaknai sebagai ‘sesukanya’ atau se-‘rela’-nya sehingga membuat kualitas pelayanan itu sendiri menjadi berkurang, tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh (kalau sempat), bahkan tidak perlu membutuhkan keterampilan khusus. Definisi pelayanan yang seperti ini seringkali dibedakan dengan definisi mengenai pekerjaan, yakni: sesuatu yang dilakukan, semestinya secara profesional (kemampuan khusus yang dibayar), untuk mencari nafkah, atau mendapatkan suatu hasil. Kalangan seperti ini menganggap bahwa bekerja berbeda dengan melayani, sebab melayani bisa dilakukan oleh siapa saja, termasuk jenis kegiatan yang dapat dilakukan secara serabutan, dan tidak berorientasi pada hasil melainkan pada ketekunan.
Sepintas, idea semacam ini pada kenyataannya memang ada benarnya, bahkan seperti inilah yang berlaku secara umum di banyak gereja. Maka tak mengherankan jika berbagai bentuk pelayanan gerejawi, dalam komisi apapun, seringkali terkesan asal-asalan, kurang berkualitas, bahkan yang penting ada kemauan. Sebagai contoh: jika paduan suara gerejawi, dari tahun ke tahun menyanyikan lagu yang itu-itu saja, jumlah anggotanya tidak pernah pasti, jadual latihan tidak menentu, bahkan tanpa latihan pun bisa tampil; hal itu dianggap biasa/wajar dalam pelayanan. “Namanya juga pelayanan, sudah baik masih mau tampil”.
Memang, pelayanan yang dilakukan seperti itu tidak salah, sebab Bunda Teresa pun pernah menyatakan bahwa: “Tuhan tidak pernah menuntut kita untuk Sukses, Dia hanya mengharuskan kita Berusaha”. Namun sesungguhnya, pelayanan yang dilakukan seperti itu dapat dianggap sebagai pelayanan yang kurang baik. Oleh sebab itu sebaiknya kita perlu kembali belajar kepada Perjanjian Baru mengenai makna pelayanan yang baik :
Kata yang dipakai dalam Perjanjian Baru untuk menunjuk pada “pelayanan” adalah: diakoneo, douleo, leitourgeo, dan latreuo. Makna tiap kata itu tidak sama. Diakoneo: melayani orang yang lebih rendah dari dirinya; Douleo: menghamba, melayani orang yang lebih tinggi dari dirinya; Leitourgeo: kerja bakti untuk kepentingan orang banyak; sedangkan Latreuo: bekerja untuk mendapatkan latron (upah, gaji, kualitas). Dari ke-4 kata yang biasa dipakai oleh Perjanjian Baru itu, maka dapatlah ditarik kesimpulan bahwa:pelayanan adalah aktifitas yang dilakukan, baik untuk kepentingan sesama maupun untuk kemuliaan Allah, menuju suatu pencapaian yang baik (berkualitas), sehingga harus dilakukan secara profesional (dengan kemampuan dan minat).
-------
Oleh sebab itu jugalah, maka seluruh bagian Alkitab yang sedang kita perbincangkan saat ini sesungguhnya menekankan bahwa: pelayanan itu tak lain adalah ‘karya’ atau ‘kerja’. Sebab ketika ‘kerja’ itu merupakan sebuah upaya “menghidupi diri sendiri” (lih. II Tes. 3:10), maka demikian juga ‘pelayanan’, yakni “menghidupi imannya sendiri”. Oleh karena itu, maka ‘pelayanan’ pun perlu dilakukan dengan ketekunan, sebab seperti halnya manusia hidup butuh makan, kehidupan iman pun butuh makanan yang dihasilkan dari buah-buah pelayanan (agar tetap memperoleh hidup, lih. Lukas 21:19). Dan jika pelayanan yang dilakukan itu bukanlah sebuah karya yang profesional, berkualitas, dan tanpa minat, maka tentu buah-buah yang dihasilkannya pun tidak akan mengenyangkan kehidupan beriman. Oleh sebab itu, maka kinerja dalam pelayanan itu  haruslah sebuah upaya yang profesional, berkualitas, serta penuh tekad dan minat.
Apa yang sedang diwacanakan ini bukanlah bermaksud untuk membedakan, bahwa: pekerjaan itu hanyalah aktifitas yang menyangkut kehidupan profan (duniawi), sedangkan pelayanan itu menyangkut kehidupan iman (sorgawi). Sebab sesungguhnya keduanya, baik pekerjaan maupun pelayanan itu adalah aktifitas yang menyangkut kehidupan profan (duniawi) sekaligus kehidupan iman (sorgawi). Zaman Kerajaan 1000 tahun (zaman akhir) yang sedang terjadi dan kita alami saat ini pada hakekatnya adalah kehidupan duniawi di bawah pemerintahan (kendali) Sang Kristus, sehingga kerja/pelayanan umatNya pun berkenaan dengan seluruh kepentingan, baik sorgawi maupun duniawi. Pelayanan/kerja bagi kepentingan sesama, kepentingan diri sendiri dan bagi kemuliaan Tuhan, semuanya haruslah dilakukan sesuai kehendak Kristus, dan tidak perlu dipertentangkan antara satu dengan yang lain: mana yang sorgawi atau mana yang duniawi. Dengan demikian, maka:
§  Mereka yang menjadi Guru, baiklah mereka mendidik dengan ketekunan dan kinerja yang gigih bagi kebaikan para muridnya sekaligus demi kemuliaan Sang Kristus.
§  Mereka yang menjadi pegawai negeri, baiklah mereka mengabdi dengan ketekunan dan kinerja yang gigih bagi kebaikan masyarakat sekaligus demi kemuliaan Sang Kristus.
§  Mereka yang menjadi dokter, baiklah mereka mengobati dengan ketekunan dan kinerja yang gigih bagi kebaikan lingkungannya sekaligus demi kemuliaan Sang Kristus.

Medan 17 November 2013
Pdt. T.M. Karo-karo, STh,MA
 Khotbah Minggu 17 November 2013
GMI Kasih Karunia, Medan
Nats Alkitab : Lukas 21: 5-19

Bersama Injil Markus (13:1), di bagian ini pun Lukas menggambarkan bahwa bangunan Bait Allah bukanlah sekedar bangunan yang menjadi obyek wisata yang sangat terkenal, karena merupakan bangunan yang sangat besar/megah, sangat indah (super-estetik), dan sangat kokoh/kuat dengan dindingnya yang sangat tebal, namun juga merupakan bangunan yang menjadi simbol negara dan simbol kedekatan hubungan antara umat Yahudi dengan Allah. Bangunan ini adalah simbol Yudaisme –– yang menyangkut seluruh aspek kehidupan Yahudi, mulai aspek sosial, ekonomi, politik, maupun budaya. Kondisi bangsa Yahudi dilukiskan secara nyata oleh keberadaan bangunan ini. Oleh sebab itu, hancurnya gedung Bait Allah juga menyatakan hancurnya Yahudi sebagai bangsa dan negara.
Dan sungguh mengejutkan bila mengenai Bait Allah ini Tuhan Yesus justru berkata: “akan datang harinya di mana tidak ada satu batu pun akan dibiarkan terletak di atas batu yang lain” (ay. 6). Ini memang merupakan nubuatan yang secara harfiah benar-benar terjadi pada th 70, dimana pasukan Romawi di bawah pimpinan Jenderal Titus membumi-hanguskan Yerusalem, termasuk Bait Allah. Namun, sesungguhnya kehancuran Bait Allah yang dimaksudkan Yesus menunjuk pada konsep mengenai akhir zaman. Memang, kebetulan secara fisik Bait Allah benar-benar runtuh pada th 70, tetapi bukan itu maksud perkataan Tuhan di ay. 6 ini. Sebab, di bagian ini Tuhan Yesus sesungguhnya ingin memaparkan suatu pemahaman eskatologis, bahwa: hancurnya Bait Allah adalah simbol yang menunjuk pada hancurnya kedekatan hubungan antara manusia dengan Allahnya. Zaman yang penuh cobaan ini, ditandai dengan: penyesatan (ay. 8); peperangan dan pemberontakan (9-10); gempa bumi, penyakit, kelaparan, teror, dan tanda-tanda surgawi yang besar yang akan mendahului Kedatangan Kedua Kali (ay. 11). Secara rinci tanda-tanda surgawi ini disebut dalam Kitab Wahyu ps. 6-18. Namun hal-hal itu belumlah seberapa, sebab yang paling berpengaruh adalah bahwa: pada zaman ini kehidupan orang beriman akan mengalami ujian yang berat. Berbagai ujian yang akan dialami orang beriman itu dipaparkan Lukas dalam ay. 12, di antaranya: mereka akan dimusuhi di sinagog-sinagog (bnd. Mat. 10:17; Mrk 13:9), ditangkap, dianiaya, dipenjara, dan dihadapkan kepada para penguasa bangsa lain untuk diadili (bnd. Mat 10:18; Mrk 13:9). Semua itu terjadi oleh karena “nama-Ku” –– yakni karena iman mereka kepada Yesus. Di samping itu, di ay. 16-17, mereka juga akan mengalami pengkhianatan dari kerabat dekat dan teman-teman (bdk. Mrk 13:12).
Akan tetapi ujian yang dihadapi oleh orang beriman itu justru merupakan kesempatan bagi mereka untuk dapat “bersaksi” (ay. 13). Dan dalam melakukan “kesaksian”-nya ini mereka tidak perlu khawatir tentang apa yang harus mereka katakan, melainkan hanya bergantung pada janji Yesus yang akan membantu mereka berkata-kata (bdk. Kel. 4:11, 15; Yeh. 29:21) dan kebijaksanaan yang akan mereka butuhkan saat itu (bdk. 12:11-12; Mat. 10:19-20, Mrk 13:11). Ini semua akan mereka terima melalui karya Roh Kudus kepada mereka (Mrk 13:11). Mereka akan menemukan bahwa kesaksian mereka akan menjadi sangat kuat. Ini semua akhirnya memang benar-benar terjadi dalam kehidupan gereja mula-mula (mis., Kis 4:14; 6:10; 8:3; 12:4; 21:11; 22:4, 27:1, 28:17) dan di sepanjang sejarah gereja. Dalam hal ini, Yesus berjanji bahwa Dia akan selalu menjaga mereka agar tetap aman (ay. 18). Ini mungkin berarti bahwa tidak ada bahaya yang akan menimpa mereka tanpa seizin Bapa (ay 16; bnd. Kis 27:34). Beberapa penafsir percaya bahwa  hal ini hanyalah mengacu pada keselamatan rohani, tetapi tidak terhadap keselamatan jasmani.
Hal terpenting di sini (ay. 19) adalah bahwa: dengan ketekunan dalam karya, saat mereka dianiaya, hal itu justru akan melestarikan kehidupan mereka (Yun. ktesesthe tas psychas hymon). Artinya, mereka tidak akan mati sebelum dikehendaki Tuhan (ay 18). Beberapa penafsir percaya bahwa ayat ini bertujuan menyatakan bahwa mereka yang bertahan sampai akhir akan mengalami keselamatan (bnd. Mat 24:13, Mrk 13:13). Mereka yang tetap setia sampai akhir dari masa Kesengsaraan akan masuk ke dalam kerajaan tanpa kematian (bnd. Mat 24:13, Mrk 13:13). Ini berarti bahwa ketekunan dalam karya akan mendatangkan ganjaran kekal (lih. ay. 36; Why 2:10).

Aplikasi

Di kalangan orang Kristen, ada yang beranggapan bahwa pelayanan adalah sesuatu yang dilakukan secara sukarela. Namun, “sukarela” ini kadang dimaknai sebagai ‘sesukanya’ atau se-‘rela’-nya sehingga membuat kualitas pelayanan itu sendiri menjadi berkurang, tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh (kalau sempat), bahkan tidak perlu membutuhkan keterampilan khusus. Definisi pelayanan yang seperti ini seringkali dibedakan dengan definisi mengenai pekerjaan, yakni: sesuatu yang dilakukan, semestinya secara profesional (kemampuan khusus yang dibayar), untuk mencari nafkah, atau mendapatkan suatu hasil. Kalangan seperti ini menganggap bahwa bekerja berbeda dengan melayani, sebab melayani bisa dilakukan oleh siapa saja, termasuk jenis kegiatan yang dapat dilakukan secara serabutan, dan tidak berorientasi pada hasil melainkan pada ketekunan.
Sepintas, idea semacam ini pada kenyataannya memang ada benarnya, bahkan seperti inilah yang berlaku secara umum di banyak gereja. Maka tak mengherankan jika berbagai bentuk pelayanan gerejawi, dalam komisi apapun, seringkali terkesan asal-asalan, kurang berkualitas, bahkan yang penting ada kemauan. Sebagai contoh: jika paduan suara gerejawi, dari tahun ke tahun menyanyikan lagu yang itu-itu saja, jumlah anggotanya tidak pernah pasti, jadual latihan tidak menentu, bahkan tanpa latihan pun bisa tampil; hal itu dianggap biasa/wajar dalam pelayanan. “Namanya juga pelayanan, sudah baik masih mau tampil”.
Memang, pelayanan yang dilakukan seperti itu tidak salah, sebab Bunda Teresa pun pernah menyatakan bahwa: “Tuhan tidak pernah menuntut kita untuk Sukses, Dia hanya mengharuskan kita Berusaha”. Namun sesungguhnya, pelayanan yang dilakukan seperti itu dapat dianggap sebagai pelayanan yang kurang baik. Oleh sebab itu sebaiknya kita perlu kembali belajar kepada Perjanjian Baru mengenai makna pelayanan yang baik :
Kata yang dipakai dalam Perjanjian Baru untuk menunjuk pada “pelayanan” adalah: diakoneo, douleo, leitourgeo, dan latreuo. Makna tiap kata itu tidak sama. Diakoneo: melayani orang yang lebih rendah dari dirinya; Douleo: menghamba, melayani orang yang lebih tinggi dari dirinya; Leitourgeo: kerja bakti untuk kepentingan orang banyak; sedangkan Latreuo: bekerja untuk mendapatkan latron (upah, gaji, kualitas). Dari ke-4 kata yang biasa dipakai oleh Perjanjian Baru itu, maka dapatlah ditarik kesimpulan bahwa:pelayanan adalah aktifitas yang dilakukan, baik untuk kepentingan sesama maupun untuk kemuliaan Allah, menuju suatu pencapaian yang baik (berkualitas), sehingga harus dilakukan secara profesional (dengan kemampuan dan minat).
-------
Oleh sebab itu jugalah, maka seluruh bagian Alkitab yang sedang kita perbincangkan saat ini sesungguhnya menekankan bahwa: pelayanan itu tak lain adalah ‘karya’ atau ‘kerja’. Sebab ketika ‘kerja’ itu merupakan sebuah upaya “menghidupi diri sendiri” (lih. II Tes. 3:10), maka demikian juga ‘pelayanan’, yakni “menghidupi imannya sendiri”. Oleh karena itu, maka ‘pelayanan’ pun perlu dilakukan dengan ketekunan, sebab seperti halnya manusia hidup butuh makan, kehidupan iman pun butuh makanan yang dihasilkan dari buah-buah pelayanan (agar tetap memperoleh hidup, lih. Lukas 21:19). Dan jika pelayanan yang dilakukan itu bukanlah sebuah karya yang profesional, berkualitas, dan tanpa minat, maka tentu buah-buah yang dihasilkannya pun tidak akan mengenyangkan kehidupan beriman. Oleh sebab itu, maka kinerja dalam pelayanan itu  haruslah sebuah upaya yang profesional, berkualitas, serta penuh tekad dan minat.
Apa yang sedang diwacanakan ini bukanlah bermaksud untuk membedakan, bahwa: pekerjaan itu hanyalah aktifitas yang menyangkut kehidupan profan (duniawi), sedangkan pelayanan itu menyangkut kehidupan iman (sorgawi). Sebab sesungguhnya keduanya, baik pekerjaan maupun pelayanan itu adalah aktifitas yang menyangkut kehidupan profan (duniawi) sekaligus kehidupan iman (sorgawi). Zaman Kerajaan 1000 tahun (zaman akhir) yang sedang terjadi dan kita alami saat ini pada hakekatnya adalah kehidupan duniawi di bawah pemerintahan (kendali) Sang Kristus, sehingga kerja/pelayanan umatNya pun berkenaan dengan seluruh kepentingan, baik sorgawi maupun duniawi. Pelayanan/kerja bagi kepentingan sesama, kepentingan diri sendiri dan bagi kemuliaan Tuhan, semuanya haruslah dilakukan sesuai kehendak Kristus, dan tidak perlu dipertentangkan antara satu dengan yang lain: mana yang sorgawi atau mana yang duniawi. Dengan demikian, maka:
§  Mereka yang menjadi Guru, baiklah mereka mendidik dengan ketekunan dan kinerja yang gigih bagi kebaikan para muridnya sekaligus demi kemuliaan Sang Kristus.
§  Mereka yang menjadi pegawai negeri, baiklah mereka mengabdi dengan ketekunan dan kinerja yang gigih bagi kebaikan masyarakat sekaligus demi kemuliaan Sang Kristus.
§  Mereka yang menjadi dokter, baiklah mereka mengobati dengan ketekunan dan kinerja yang gigih bagi kebaikan lingkungannya sekaligus demi kemuliaan Sang Kristus.

Medan 17 November 2013
Pdt. T.M. Karo-karo, STh,MA
 Khotbah Minggu 17 November 2013
GMI Kasih Karunia, Medan
Nats Alkitab : Lukas 21: 5-19

Bersama Injil Markus (13:1), di bagian ini pun Lukas menggambarkan bahwa bangunan Bait Allah bukanlah sekedar bangunan yang menjadi obyek wisata yang sangat terkenal, karena merupakan bangunan yang sangat besar/megah, sangat indah (super-estetik), dan sangat kokoh/kuat dengan dindingnya yang sangat tebal, namun juga merupakan bangunan yang menjadi simbol negara dan simbol kedekatan hubungan antara umat Yahudi dengan Allah. Bangunan ini adalah simbol Yudaisme –– yang menyangkut seluruh aspek kehidupan Yahudi, mulai aspek sosial, ekonomi, politik, maupun budaya. Kondisi bangsa Yahudi dilukiskan secara nyata oleh keberadaan bangunan ini. Oleh sebab itu, hancurnya gedung Bait Allah juga menyatakan hancurnya Yahudi sebagai bangsa dan negara.
Dan sungguh mengejutkan bila mengenai Bait Allah ini Tuhan Yesus justru berkata: “akan datang harinya di mana tidak ada satu batu pun akan dibiarkan terletak di atas batu yang lain” (ay. 6). Ini memang merupakan nubuatan yang secara harfiah benar-benar terjadi pada th 70, dimana pasukan Romawi di bawah pimpinan Jenderal Titus membumi-hanguskan Yerusalem, termasuk Bait Allah. Namun, sesungguhnya kehancuran Bait Allah yang dimaksudkan Yesus menunjuk pada konsep mengenai akhir zaman. Memang, kebetulan secara fisik Bait Allah benar-benar runtuh pada th 70, tetapi bukan itu maksud perkataan Tuhan di ay. 6 ini. Sebab, di bagian ini Tuhan Yesus sesungguhnya ingin memaparkan suatu pemahaman eskatologis, bahwa: hancurnya Bait Allah adalah simbol yang menunjuk pada hancurnya kedekatan hubungan antara manusia dengan Allahnya. Zaman yang penuh cobaan ini, ditandai dengan: penyesatan (ay. 8); peperangan dan pemberontakan (9-10); gempa bumi, penyakit, kelaparan, teror, dan tanda-tanda surgawi yang besar yang akan mendahului Kedatangan Kedua Kali (ay. 11). Secara rinci tanda-tanda surgawi ini disebut dalam Kitab Wahyu ps. 6-18. Namun hal-hal itu belumlah seberapa, sebab yang paling berpengaruh adalah bahwa: pada zaman ini kehidupan orang beriman akan mengalami ujian yang berat. Berbagai ujian yang akan dialami orang beriman itu dipaparkan Lukas dalam ay. 12, di antaranya: mereka akan dimusuhi di sinagog-sinagog (bnd. Mat. 10:17; Mrk 13:9), ditangkap, dianiaya, dipenjara, dan dihadapkan kepada para penguasa bangsa lain untuk diadili (bnd. Mat 10:18; Mrk 13:9). Semua itu terjadi oleh karena “nama-Ku” –– yakni karena iman mereka kepada Yesus. Di samping itu, di ay. 16-17, mereka juga akan mengalami pengkhianatan dari kerabat dekat dan teman-teman (bdk. Mrk 13:12).
Akan tetapi ujian yang dihadapi oleh orang beriman itu justru merupakan kesempatan bagi mereka untuk dapat “bersaksi” (ay. 13). Dan dalam melakukan “kesaksian”-nya ini mereka tidak perlu khawatir tentang apa yang harus mereka katakan, melainkan hanya bergantung pada janji Yesus yang akan membantu mereka berkata-kata (bdk. Kel. 4:11, 15; Yeh. 29:21) dan kebijaksanaan yang akan mereka butuhkan saat itu (bdk. 12:11-12; Mat. 10:19-20, Mrk 13:11). Ini semua akan mereka terima melalui karya Roh Kudus kepada mereka (Mrk 13:11). Mereka akan menemukan bahwa kesaksian mereka akan menjadi sangat kuat. Ini semua akhirnya memang benar-benar terjadi dalam kehidupan gereja mula-mula (mis., Kis 4:14; 6:10; 8:3; 12:4; 21:11; 22:4, 27:1, 28:17) dan di sepanjang sejarah gereja. Dalam hal ini, Yesus berjanji bahwa Dia akan selalu menjaga mereka agar tetap aman (ay. 18). Ini mungkin berarti bahwa tidak ada bahaya yang akan menimpa mereka tanpa seizin Bapa (ay 16; bnd. Kis 27:34). Beberapa penafsir percaya bahwa  hal ini hanyalah mengacu pada keselamatan rohani, tetapi tidak terhadap keselamatan jasmani.
Hal terpenting di sini (ay. 19) adalah bahwa: dengan ketekunan dalam karya, saat mereka dianiaya, hal itu justru akan melestarikan kehidupan mereka (Yun. ktesesthe tas psychas hymon). Artinya, mereka tidak akan mati sebelum dikehendaki Tuhan (ay 18). Beberapa penafsir percaya bahwa ayat ini bertujuan menyatakan bahwa mereka yang bertahan sampai akhir akan mengalami keselamatan (bnd. Mat 24:13, Mrk 13:13). Mereka yang tetap setia sampai akhir dari masa Kesengsaraan akan masuk ke dalam kerajaan tanpa kematian (bnd. Mat 24:13, Mrk 13:13). Ini berarti bahwa ketekunan dalam karya akan mendatangkan ganjaran kekal (lih. ay. 36; Why 2:10).

Aplikasi

Di kalangan orang Kristen, ada yang beranggapan bahwa pelayanan adalah sesuatu yang dilakukan secara sukarela. Namun, “sukarela” ini kadang dimaknai sebagai ‘sesukanya’ atau se-‘rela’-nya sehingga membuat kualitas pelayanan itu sendiri menjadi berkurang, tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh (kalau sempat), bahkan tidak perlu membutuhkan keterampilan khusus. Definisi pelayanan yang seperti ini seringkali dibedakan dengan definisi mengenai pekerjaan, yakni: sesuatu yang dilakukan, semestinya secara profesional (kemampuan khusus yang dibayar), untuk mencari nafkah, atau mendapatkan suatu hasil. Kalangan seperti ini menganggap bahwa bekerja berbeda dengan melayani, sebab melayani bisa dilakukan oleh siapa saja, termasuk jenis kegiatan yang dapat dilakukan secara serabutan, dan tidak berorientasi pada hasil melainkan pada ketekunan.
Sepintas, idea semacam ini pada kenyataannya memang ada benarnya, bahkan seperti inilah yang berlaku secara umum di banyak gereja. Maka tak mengherankan jika berbagai bentuk pelayanan gerejawi, dalam komisi apapun, seringkali terkesan asal-asalan, kurang berkualitas, bahkan yang penting ada kemauan. Sebagai contoh: jika paduan suara gerejawi, dari tahun ke tahun menyanyikan lagu yang itu-itu saja, jumlah anggotanya tidak pernah pasti, jadual latihan tidak menentu, bahkan tanpa latihan pun bisa tampil; hal itu dianggap biasa/wajar dalam pelayanan. “Namanya juga pelayanan, sudah baik masih mau tampil”.
Memang, pelayanan yang dilakukan seperti itu tidak salah, sebab Bunda Teresa pun pernah menyatakan bahwa: “Tuhan tidak pernah menuntut kita untuk Sukses, Dia hanya mengharuskan kita Berusaha”. Namun sesungguhnya, pelayanan yang dilakukan seperti itu dapat dianggap sebagai pelayanan yang kurang baik. Oleh sebab itu sebaiknya kita perlu kembali belajar kepada Perjanjian Baru mengenai makna pelayanan yang baik :
Kata yang dipakai dalam Perjanjian Baru untuk menunjuk pada “pelayanan” adalah: diakoneo, douleo, leitourgeo, dan latreuo. Makna tiap kata itu tidak sama. Diakoneo: melayani orang yang lebih rendah dari dirinya; Douleo: menghamba, melayani orang yang lebih tinggi dari dirinya; Leitourgeo: kerja bakti untuk kepentingan orang banyak; sedangkan Latreuo: bekerja untuk mendapatkan latron (upah, gaji, kualitas). Dari ke-4 kata yang biasa dipakai oleh Perjanjian Baru itu, maka dapatlah ditarik kesimpulan bahwa:pelayanan adalah aktifitas yang dilakukan, baik untuk kepentingan sesama maupun untuk kemuliaan Allah, menuju suatu pencapaian yang baik (berkualitas), sehingga harus dilakukan secara profesional (dengan kemampuan dan minat).
-------
Oleh sebab itu jugalah, maka seluruh bagian Alkitab yang sedang kita perbincangkan saat ini sesungguhnya menekankan bahwa: pelayanan itu tak lain adalah ‘karya’ atau ‘kerja’. Sebab ketika ‘kerja’ itu merupakan sebuah upaya “menghidupi diri sendiri” (lih. II Tes. 3:10), maka demikian juga ‘pelayanan’, yakni “menghidupi imannya sendiri”. Oleh karena itu, maka ‘pelayanan’ pun perlu dilakukan dengan ketekunan, sebab seperti halnya manusia hidup butuh makan, kehidupan iman pun butuh makanan yang dihasilkan dari buah-buah pelayanan (agar tetap memperoleh hidup, lih. Lukas 21:19). Dan jika pelayanan yang dilakukan itu bukanlah sebuah karya yang profesional, berkualitas, dan tanpa minat, maka tentu buah-buah yang dihasilkannya pun tidak akan mengenyangkan kehidupan beriman. Oleh sebab itu, maka kinerja dalam pelayanan itu  haruslah sebuah upaya yang profesional, berkualitas, serta penuh tekad dan minat.
Apa yang sedang diwacanakan ini bukanlah bermaksud untuk membedakan, bahwa: pekerjaan itu hanyalah aktifitas yang menyangkut kehidupan profan (duniawi), sedangkan pelayanan itu menyangkut kehidupan iman (sorgawi). Sebab sesungguhnya keduanya, baik pekerjaan maupun pelayanan itu adalah aktifitas yang menyangkut kehidupan profan (duniawi) sekaligus kehidupan iman (sorgawi). Zaman Kerajaan 1000 tahun (zaman akhir) yang sedang terjadi dan kita alami saat ini pada hakekatnya adalah kehidupan duniawi di bawah pemerintahan (kendali) Sang Kristus, sehingga kerja/pelayanan umatNya pun berkenaan dengan seluruh kepentingan, baik sorgawi maupun duniawi. Pelayanan/kerja bagi kepentingan sesama, kepentingan diri sendiri dan bagi kemuliaan Tuhan, semuanya haruslah dilakukan sesuai kehendak Kristus, dan tidak perlu dipertentangkan antara satu dengan yang lain: mana yang sorgawi atau mana yang duniawi. Dengan demikian, maka:
§  Mereka yang menjadi Guru, baiklah mereka mendidik dengan ketekunan dan kinerja yang gigih bagi kebaikan para muridnya sekaligus demi kemuliaan Sang Kristus.
§  Mereka yang menjadi pegawai negeri, baiklah mereka mengabdi dengan ketekunan dan kinerja yang gigih bagi kebaikan masyarakat sekaligus demi kemuliaan Sang Kristus.
§  Mereka yang menjadi dokter, baiklah mereka mengobati dengan ketekunan dan kinerja yang gigih bagi kebaikan lingkungannya sekaligus demi kemuliaan Sang Kristus.

Medan 17 November 2013
Pdt. T.M. Karo-karo, STh,MA
 Khotbah Minggu 17 November 2013
GMI Kasih Karunia, Medan
Nats Alkitab : Lukas 21: 5-19

Bersama Injil Markus (13:1), di bagian ini pun Lukas menggambarkan bahwa bangunan Bait Allah bukanlah sekedar bangunan yang menjadi obyek wisata yang sangat terkenal, karena merupakan bangunan yang sangat besar/megah, sangat indah (super-estetik), dan sangat kokoh/kuat dengan dindingnya yang sangat tebal, namun juga merupakan bangunan yang menjadi simbol negara dan simbol kedekatan hubungan antara umat Yahudi dengan Allah. Bangunan ini adalah simbol Yudaisme –– yang menyangkut seluruh aspek kehidupan Yahudi, mulai aspek sosial, ekonomi, politik, maupun budaya. Kondisi bangsa Yahudi dilukiskan secara nyata oleh keberadaan bangunan ini. Oleh sebab itu, hancurnya gedung Bait Allah juga menyatakan hancurnya Yahudi sebagai bangsa dan negara.
Dan sungguh mengejutkan bila mengenai Bait Allah ini Tuhan Yesus justru berkata: “akan datang harinya di mana tidak ada satu batu pun akan dibiarkan terletak di atas batu yang lain” (ay. 6). Ini memang merupakan nubuatan yang secara harfiah benar-benar terjadi pada th 70, dimana pasukan Romawi di bawah pimpinan Jenderal Titus membumi-hanguskan Yerusalem, termasuk Bait Allah. Namun, sesungguhnya kehancuran Bait Allah yang dimaksudkan Yesus menunjuk pada konsep mengenai akhir zaman. Memang, kebetulan secara fisik Bait Allah benar-benar runtuh pada th 70, tetapi bukan itu maksud perkataan Tuhan di ay. 6 ini. Sebab, di bagian ini Tuhan Yesus sesungguhnya ingin memaparkan suatu pemahaman eskatologis, bahwa: hancurnya Bait Allah adalah simbol yang menunjuk pada hancurnya kedekatan hubungan antara manusia dengan Allahnya. Zaman yang penuh cobaan ini, ditandai dengan: penyesatan (ay. 8); peperangan dan pemberontakan (9-10); gempa bumi, penyakit, kelaparan, teror, dan tanda-tanda surgawi yang besar yang akan mendahului Kedatangan Kedua Kali (ay. 11). Secara rinci tanda-tanda surgawi ini disebut dalam Kitab Wahyu ps. 6-18. Namun hal-hal itu belumlah seberapa, sebab yang paling berpengaruh adalah bahwa: pada zaman ini kehidupan orang beriman akan mengalami ujian yang berat. Berbagai ujian yang akan dialami orang beriman itu dipaparkan Lukas dalam ay. 12, di antaranya: mereka akan dimusuhi di sinagog-sinagog (bnd. Mat. 10:17; Mrk 13:9), ditangkap, dianiaya, dipenjara, dan dihadapkan kepada para penguasa bangsa lain untuk diadili (bnd. Mat 10:18; Mrk 13:9). Semua itu terjadi oleh karena “nama-Ku” –– yakni karena iman mereka kepada Yesus. Di samping itu, di ay. 16-17, mereka juga akan mengalami pengkhianatan dari kerabat dekat dan teman-teman (bdk. Mrk 13:12).
Akan tetapi ujian yang dihadapi oleh orang beriman itu justru merupakan kesempatan bagi mereka untuk dapat “bersaksi” (ay. 13). Dan dalam melakukan “kesaksian”-nya ini mereka tidak perlu khawatir tentang apa yang harus mereka katakan, melainkan hanya bergantung pada janji Yesus yang akan membantu mereka berkata-kata (bdk. Kel. 4:11, 15; Yeh. 29:21) dan kebijaksanaan yang akan mereka butuhkan saat itu (bdk. 12:11-12; Mat. 10:19-20, Mrk 13:11). Ini semua akan mereka terima melalui karya Roh Kudus kepada mereka (Mrk 13:11). Mereka akan menemukan bahwa kesaksian mereka akan menjadi sangat kuat. Ini semua akhirnya memang benar-benar terjadi dalam kehidupan gereja mula-mula (mis., Kis 4:14; 6:10; 8:3; 12:4; 21:11; 22:4, 27:1, 28:17) dan di sepanjang sejarah gereja. Dalam hal ini, Yesus berjanji bahwa Dia akan selalu menjaga mereka agar tetap aman (ay. 18). Ini mungkin berarti bahwa tidak ada bahaya yang akan menimpa mereka tanpa seizin Bapa (ay 16; bnd. Kis 27:34). Beberapa penafsir percaya bahwa  hal ini hanyalah mengacu pada keselamatan rohani, tetapi tidak terhadap keselamatan jasmani.
Hal terpenting di sini (ay. 19) adalah bahwa: dengan ketekunan dalam karya, saat mereka dianiaya, hal itu justru akan melestarikan kehidupan mereka (Yun. ktesesthe tas psychas hymon). Artinya, mereka tidak akan mati sebelum dikehendaki Tuhan (ay 18). Beberapa penafsir percaya bahwa ayat ini bertujuan menyatakan bahwa mereka yang bertahan sampai akhir akan mengalami keselamatan (bnd. Mat 24:13, Mrk 13:13). Mereka yang tetap setia sampai akhir dari masa Kesengsaraan akan masuk ke dalam kerajaan tanpa kematian (bnd. Mat 24:13, Mrk 13:13). Ini berarti bahwa ketekunan dalam karya akan mendatangkan ganjaran kekal (lih. ay. 36; Why 2:10).

Aplikasi

Di kalangan orang Kristen, ada yang beranggapan bahwa pelayanan adalah sesuatu yang dilakukan secara sukarela. Namun, “sukarela” ini kadang dimaknai sebagai ‘sesukanya’ atau se-‘rela’-nya sehingga membuat kualitas pelayanan itu sendiri menjadi berkurang, tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh (kalau sempat), bahkan tidak perlu membutuhkan keterampilan khusus. Definisi pelayanan yang seperti ini seringkali dibedakan dengan definisi mengenai pekerjaan, yakni: sesuatu yang dilakukan, semestinya secara profesional (kemampuan khusus yang dibayar), untuk mencari nafkah, atau mendapatkan suatu hasil. Kalangan seperti ini menganggap bahwa bekerja berbeda dengan melayani, sebab melayani bisa dilakukan oleh siapa saja, termasuk jenis kegiatan yang dapat dilakukan secara serabutan, dan tidak berorientasi pada hasil melainkan pada ketekunan.
Sepintas, idea semacam ini pada kenyataannya memang ada benarnya, bahkan seperti inilah yang berlaku secara umum di banyak gereja. Maka tak mengherankan jika berbagai bentuk pelayanan gerejawi, dalam komisi apapun, seringkali terkesan asal-asalan, kurang berkualitas, bahkan yang penting ada kemauan. Sebagai contoh: jika paduan suara gerejawi, dari tahun ke tahun menyanyikan lagu yang itu-itu saja, jumlah anggotanya tidak pernah pasti, jadual latihan tidak menentu, bahkan tanpa latihan pun bisa tampil; hal itu dianggap biasa/wajar dalam pelayanan. “Namanya juga pelayanan, sudah baik masih mau tampil”.
Memang, pelayanan yang dilakukan seperti itu tidak salah, sebab Bunda Teresa pun pernah menyatakan bahwa: “Tuhan tidak pernah menuntut kita untuk Sukses, Dia hanya mengharuskan kita Berusaha”. Namun sesungguhnya, pelayanan yang dilakukan seperti itu dapat dianggap sebagai pelayanan yang kurang baik. Oleh sebab itu sebaiknya kita perlu kembali belajar kepada Perjanjian Baru mengenai makna pelayanan yang baik :
Kata yang dipakai dalam Perjanjian Baru untuk menunjuk pada “pelayanan” adalah: diakoneo, douleo, leitourgeo, dan latreuo. Makna tiap kata itu tidak sama. Diakoneo: melayani orang yang lebih rendah dari dirinya; Douleo: menghamba, melayani orang yang lebih tinggi dari dirinya; Leitourgeo: kerja bakti untuk kepentingan orang banyak; sedangkan Latreuo: bekerja untuk mendapatkan latron (upah, gaji, kualitas). Dari ke-4 kata yang biasa dipakai oleh Perjanjian Baru itu, maka dapatlah ditarik kesimpulan bahwa:pelayanan adalah aktifitas yang dilakukan, baik untuk kepentingan sesama maupun untuk kemuliaan Allah, menuju suatu pencapaian yang baik (berkualitas), sehingga harus dilakukan secara profesional (dengan kemampuan dan minat).
-------
Oleh sebab itu jugalah, maka seluruh bagian Alkitab yang sedang kita perbincangkan saat ini sesungguhnya menekankan bahwa: pelayanan itu tak lain adalah ‘karya’ atau ‘kerja’. Sebab ketika ‘kerja’ itu merupakan sebuah upaya “menghidupi diri sendiri” (lih. II Tes. 3:10), maka demikian juga ‘pelayanan’, yakni “menghidupi imannya sendiri”. Oleh karena itu, maka ‘pelayanan’ pun perlu dilakukan dengan ketekunan, sebab seperti halnya manusia hidup butuh makan, kehidupan iman pun butuh makanan yang dihasilkan dari buah-buah pelayanan (agar tetap memperoleh hidup, lih. Lukas 21:19). Dan jika pelayanan yang dilakukan itu bukanlah sebuah karya yang profesional, berkualitas, dan tanpa minat, maka tentu buah-buah yang dihasilkannya pun tidak akan mengenyangkan kehidupan beriman. Oleh sebab itu, maka kinerja dalam pelayanan itu  haruslah sebuah upaya yang profesional, berkualitas, serta penuh tekad dan minat.
Apa yang sedang diwacanakan ini bukanlah bermaksud untuk membedakan, bahwa: pekerjaan itu hanyalah aktifitas yang menyangkut kehidupan profan (duniawi), sedangkan pelayanan itu menyangkut kehidupan iman (sorgawi). Sebab sesungguhnya keduanya, baik pekerjaan maupun pelayanan itu adalah aktifitas yang menyangkut kehidupan profan (duniawi) sekaligus kehidupan iman (sorgawi). Zaman Kerajaan 1000 tahun (zaman akhir) yang sedang terjadi dan kita alami saat ini pada hakekatnya adalah kehidupan duniawi di bawah pemerintahan (kendali) Sang Kristus, sehingga kerja/pelayanan umatNya pun berkenaan dengan seluruh kepentingan, baik sorgawi maupun duniawi. Pelayanan/kerja bagi kepentingan sesama, kepentingan diri sendiri dan bagi kemuliaan Tuhan, semuanya haruslah dilakukan sesuai kehendak Kristus, dan tidak perlu dipertentangkan antara satu dengan yang lain: mana yang sorgawi atau mana yang duniawi. Dengan demikian, maka:
§  Mereka yang menjadi Guru, baiklah mereka mendidik dengan ketekunan dan kinerja yang gigih bagi kebaikan para muridnya sekaligus demi kemuliaan Sang Kristus.
§  Mereka yang menjadi pegawai negeri, baiklah mereka mengabdi dengan ketekunan dan kinerja yang gigih bagi kebaikan masyarakat sekaligus demi kemuliaan Sang Kristus.
§  Mereka yang menjadi dokter, baiklah mereka mengobati dengan ketekunan dan kinerja yang gigih bagi kebaikan lingkungannya sekaligus demi kemuliaan Sang Kristus.

Medan 17 November 2013
Pdt. T.M. Karo-karo, STh,MA
 Khotbah Minggu 17 November 2013
GMI Kasih Karunia, Medan
Nats Alkitab : Lukas 21: 5-19

Bersama Injil Markus (13:1), di bagian ini pun Lukas menggambarkan bahwa bangunan Bait Allah bukanlah sekedar bangunan yang menjadi obyek wisata yang sangat terkenal, karena merupakan bangunan yang sangat besar/megah, sangat indah (super-estetik), dan sangat kokoh/kuat dengan dindingnya yang sangat tebal, namun juga merupakan bangunan yang menjadi simbol negara dan simbol kedekatan hubungan antara umat Yahudi dengan Allah. Bangunan ini adalah simbol Yudaisme –– yang menyangkut seluruh aspek kehidupan Yahudi, mulai aspek sosial, ekonomi, politik, maupun budaya. Kondisi bangsa Yahudi dilukiskan secara nyata oleh keberadaan bangunan ini. Oleh sebab itu, hancurnya gedung Bait Allah juga menyatakan hancurnya Yahudi sebagai bangsa dan negara.
Dan sungguh mengejutkan bila mengenai Bait Allah ini Tuhan Yesus justru berkata: “akan datang harinya di mana tidak ada satu batu pun akan dibiarkan terletak di atas batu yang lain” (ay. 6). Ini memang merupakan nubuatan yang secara harfiah benar-benar terjadi pada th 70, dimana pasukan Romawi di bawah pimpinan Jenderal Titus membumi-hanguskan Yerusalem, termasuk Bait Allah. Namun, sesungguhnya kehancuran Bait Allah yang dimaksudkan Yesus menunjuk pada konsep mengenai akhir zaman. Memang, kebetulan secara fisik Bait Allah benar-benar runtuh pada th 70, tetapi bukan itu maksud perkataan Tuhan di ay. 6 ini. Sebab, di bagian ini Tuhan Yesus sesungguhnya ingin memaparkan suatu pemahaman eskatologis, bahwa: hancurnya Bait Allah adalah simbol yang menunjuk pada hancurnya kedekatan hubungan antara manusia dengan Allahnya. Zaman yang penuh cobaan ini, ditandai dengan: penyesatan (ay. 8); peperangan dan pemberontakan (9-10); gempa bumi, penyakit, kelaparan, teror, dan tanda-tanda surgawi yang besar yang akan mendahului Kedatangan Kedua Kali (ay. 11). Secara rinci tanda-tanda surgawi ini disebut dalam Kitab Wahyu ps. 6-18. Namun hal-hal itu belumlah seberapa, sebab yang paling berpengaruh adalah bahwa: pada zaman ini kehidupan orang beriman akan mengalami ujian yang berat. Berbagai ujian yang akan dialami orang beriman itu dipaparkan Lukas dalam ay. 12, di antaranya: mereka akan dimusuhi di sinagog-sinagog (bnd. Mat. 10:17; Mrk 13:9), ditangkap, dianiaya, dipenjara, dan dihadapkan kepada para penguasa bangsa lain untuk diadili (bnd. Mat 10:18; Mrk 13:9). Semua itu terjadi oleh karena “nama-Ku” –– yakni karena iman mereka kepada Yesus. Di samping itu, di ay. 16-17, mereka juga akan mengalami pengkhianatan dari kerabat dekat dan teman-teman (bdk. Mrk 13:12).
Akan tetapi ujian yang dihadapi oleh orang beriman itu justru merupakan kesempatan bagi mereka untuk dapat “bersaksi” (ay. 13). Dan dalam melakukan “kesaksian”-nya ini mereka tidak perlu khawatir tentang apa yang harus mereka katakan, melainkan hanya bergantung pada janji Yesus yang akan membantu mereka berkata-kata (bdk. Kel. 4:11, 15; Yeh. 29:21) dan kebijaksanaan yang akan mereka butuhkan saat itu (bdk. 12:11-12; Mat. 10:19-20, Mrk 13:11). Ini semua akan mereka terima melalui karya Roh Kudus kepada mereka (Mrk 13:11). Mereka akan menemukan bahwa kesaksian mereka akan menjadi sangat kuat. Ini semua akhirnya memang benar-benar terjadi dalam kehidupan gereja mula-mula (mis., Kis 4:14; 6:10; 8:3; 12:4; 21:11; 22:4, 27:1, 28:17) dan di sepanjang sejarah gereja. Dalam hal ini, Yesus berjanji bahwa Dia akan selalu menjaga mereka agar tetap aman (ay. 18). Ini mungkin berarti bahwa tidak ada bahaya yang akan menimpa mereka tanpa seizin Bapa (ay 16; bnd. Kis 27:34). Beberapa penafsir percaya bahwa  hal ini hanyalah mengacu pada keselamatan rohani, tetapi tidak terhadap keselamatan jasmani.
Hal terpenting di sini (ay. 19) adalah bahwa: dengan ketekunan dalam karya, saat mereka dianiaya, hal itu justru akan melestarikan kehidupan mereka (Yun. ktesesthe tas psychas hymon). Artinya, mereka tidak akan mati sebelum dikehendaki Tuhan (ay 18). Beberapa penafsir percaya bahwa ayat ini bertujuan menyatakan bahwa mereka yang bertahan sampai akhir akan mengalami keselamatan (bnd. Mat 24:13, Mrk 13:13). Mereka yang tetap setia sampai akhir dari masa Kesengsaraan akan masuk ke dalam kerajaan tanpa kematian (bnd. Mat 24:13, Mrk 13:13). Ini berarti bahwa ketekunan dalam karya akan mendatangkan ganjaran kekal (lih. ay. 36; Why 2:10).

Aplikasi

Di kalangan orang Kristen, ada yang beranggapan bahwa pelayanan adalah sesuatu yang dilakukan secara sukarela. Namun, “sukarela” ini kadang dimaknai sebagai ‘sesukanya’ atau se-‘rela’-nya sehingga membuat kualitas pelayanan itu sendiri menjadi berkurang, tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh (kalau sempat), bahkan tidak perlu membutuhkan keterampilan khusus. Definisi pelayanan yang seperti ini seringkali dibedakan dengan definisi mengenai pekerjaan, yakni: sesuatu yang dilakukan, semestinya secara profesional (kemampuan khusus yang dibayar), untuk mencari nafkah, atau mendapatkan suatu hasil. Kalangan seperti ini menganggap bahwa bekerja berbeda dengan melayani, sebab melayani bisa dilakukan oleh siapa saja, termasuk jenis kegiatan yang dapat dilakukan secara serabutan, dan tidak berorientasi pada hasil melainkan pada ketekunan.
Sepintas, idea semacam ini pada kenyataannya memang ada benarnya, bahkan seperti inilah yang berlaku secara umum di banyak gereja. Maka tak mengherankan jika berbagai bentuk pelayanan gerejawi, dalam komisi apapun, seringkali terkesan asal-asalan, kurang berkualitas, bahkan yang penting ada kemauan. Sebagai contoh: jika paduan suara gerejawi, dari tahun ke tahun menyanyikan lagu yang itu-itu saja, jumlah anggotanya tidak pernah pasti, jadual latihan tidak menentu, bahkan tanpa latihan pun bisa tampil; hal itu dianggap biasa/wajar dalam pelayanan. “Namanya juga pelayanan, sudah baik masih mau tampil”.
Memang, pelayanan yang dilakukan seperti itu tidak salah, sebab Bunda Teresa pun pernah menyatakan bahwa: “Tuhan tidak pernah menuntut kita untuk Sukses, Dia hanya mengharuskan kita Berusaha”. Namun sesungguhnya, pelayanan yang dilakukan seperti itu dapat dianggap sebagai pelayanan yang kurang baik. Oleh sebab itu sebaiknya kita perlu kembali belajar kepada Perjanjian Baru mengenai makna pelayanan yang baik :
Kata yang dipakai dalam Perjanjian Baru untuk menunjuk pada “pelayanan” adalah: diakoneo, douleo, leitourgeo, dan latreuo. Makna tiap kata itu tidak sama. Diakoneo: melayani orang yang lebih rendah dari dirinya; Douleo: menghamba, melayani orang yang lebih tinggi dari dirinya; Leitourgeo: kerja bakti untuk kepentingan orang banyak; sedangkan Latreuo: bekerja untuk mendapatkan latron (upah, gaji, kualitas). Dari ke-4 kata yang biasa dipakai oleh Perjanjian Baru itu, maka dapatlah ditarik kesimpulan bahwa:pelayanan adalah aktifitas yang dilakukan, baik untuk kepentingan sesama maupun untuk kemuliaan Allah, menuju suatu pencapaian yang baik (berkualitas), sehingga harus dilakukan secara profesional (dengan kemampuan dan minat).
-------
Oleh sebab itu jugalah, maka seluruh bagian Alkitab yang sedang kita perbincangkan saat ini sesungguhnya menekankan bahwa: pelayanan itu tak lain adalah ‘karya’ atau ‘kerja’. Sebab ketika ‘kerja’ itu merupakan sebuah upaya “menghidupi diri sendiri” (lih. II Tes. 3:10), maka demikian juga ‘pelayanan’, yakni “menghidupi imannya sendiri”. Oleh karena itu, maka ‘pelayanan’ pun perlu dilakukan dengan ketekunan, sebab seperti halnya manusia hidup butuh makan, kehidupan iman pun butuh makanan yang dihasilkan dari buah-buah pelayanan (agar tetap memperoleh hidup, lih. Lukas 21:19). Dan jika pelayanan yang dilakukan itu bukanlah sebuah karya yang profesional, berkualitas, dan tanpa minat, maka tentu buah-buah yang dihasilkannya pun tidak akan mengenyangkan kehidupan beriman. Oleh sebab itu, maka kinerja dalam pelayanan itu  haruslah sebuah upaya yang profesional, berkualitas, serta penuh tekad dan minat.
Apa yang sedang diwacanakan ini bukanlah bermaksud untuk membedakan, bahwa: pekerjaan itu hanyalah aktifitas yang menyangkut kehidupan profan (duniawi), sedangkan pelayanan itu menyangkut kehidupan iman (sorgawi). Sebab sesungguhnya keduanya, baik pekerjaan maupun pelayanan itu adalah aktifitas yang menyangkut kehidupan profan (duniawi) sekaligus kehidupan iman (sorgawi). Zaman Kerajaan 1000 tahun (zaman akhir) yang sedang terjadi dan kita alami saat ini pada hakekatnya adalah kehidupan duniawi di bawah pemerintahan (kendali) Sang Kristus, sehingga kerja/pelayanan umatNya pun berkenaan dengan seluruh kepentingan, baik sorgawi maupun duniawi. Pelayanan/kerja bagi kepentingan sesama, kepentingan diri sendiri dan bagi kemuliaan Tuhan, semuanya haruslah dilakukan sesuai kehendak Kristus, dan tidak perlu dipertentangkan antara satu dengan yang lain: mana yang sorgawi atau mana yang duniawi. Dengan demikian, maka:
§  Mereka yang menjadi Guru, baiklah mereka mendidik dengan ketekunan dan kinerja yang gigih bagi kebaikan para muridnya sekaligus demi kemuliaan Sang Kristus.
§  Mereka yang menjadi pegawai negeri, baiklah mereka mengabdi dengan ketekunan dan kinerja yang gigih bagi kebaikan masyarakat sekaligus demi kemuliaan Sang Kristus.
§  Mereka yang menjadi dokter, baiklah mereka mengobati dengan ketekunan dan kinerja yang gigih bagi kebaikan lingkungannya sekaligus demi kemuliaan Sang Kristus.

Medan 17 November 2013
Pdt. T.M. Karo-karo, STh,MA
 Khotbah Minggu 17 November 2013
GMI Kasih Karunia, Medan
Nats Alkitab : Lukas 21: 5-19

Bersama Injil Markus (13:1), di bagian ini pun Lukas menggambarkan bahwa bangunan Bait Allah bukanlah sekedar bangunan yang menjadi obyek wisata yang sangat terkenal, karena merupakan bangunan yang sangat besar/megah, sangat indah (super-estetik), dan sangat kokoh/kuat dengan dindingnya yang sangat tebal, namun juga merupakan bangunan yang menjadi simbol negara dan simbol kedekatan hubungan antara umat Yahudi dengan Allah. Bangunan ini adalah simbol Yudaisme –– yang menyangkut seluruh aspek kehidupan Yahudi, mulai aspek sosial, ekonomi, politik, maupun budaya. Kondisi bangsa Yahudi dilukiskan secara nyata oleh keberadaan bangunan ini. Oleh sebab itu, hancurnya gedung Bait Allah juga menyatakan hancurnya Yahudi sebagai bangsa dan negara.
Dan sungguh mengejutkan bila mengenai Bait Allah ini Tuhan Yesus justru berkata: “akan datang harinya di mana tidak ada satu batu pun akan dibiarkan terletak di atas batu yang lain” (ay. 6). Ini memang merupakan nubuatan yang secara harfiah benar-benar terjadi pada th 70, dimana pasukan Romawi di bawah pimpinan Jenderal Titus membumi-hanguskan Yerusalem, termasuk Bait Allah. Namun, sesungguhnya kehancuran Bait Allah yang dimaksudkan Yesus menunjuk pada konsep mengenai akhir zaman. Memang, kebetulan secara fisik Bait Allah benar-benar runtuh pada th 70, tetapi bukan itu maksud perkataan Tuhan di ay. 6 ini. Sebab, di bagian ini Tuhan Yesus sesungguhnya ingin memaparkan suatu pemahaman eskatologis, bahwa: hancurnya Bait Allah adalah simbol yang menunjuk pada hancurnya kedekatan hubungan antara manusia dengan Allahnya. Zaman yang penuh cobaan ini, ditandai dengan: penyesatan (ay. 8); peperangan dan pemberontakan (9-10); gempa bumi, penyakit, kelaparan, teror, dan tanda-tanda surgawi yang besar yang akan mendahului Kedatangan Kedua Kali (ay. 11). Secara rinci tanda-tanda surgawi ini disebut dalam Kitab Wahyu ps. 6-18. Namun hal-hal itu belumlah seberapa, sebab yang paling berpengaruh adalah bahwa: pada zaman ini kehidupan orang beriman akan mengalami ujian yang berat. Berbagai ujian yang akan dialami orang beriman itu dipaparkan Lukas dalam ay. 12, di antaranya: mereka akan dimusuhi di sinagog-sinagog (bnd. Mat. 10:17; Mrk 13:9), ditangkap, dianiaya, dipenjara, dan dihadapkan kepada para penguasa bangsa lain untuk diadili (bnd. Mat 10:18; Mrk 13:9). Semua itu terjadi oleh karena “nama-Ku” –– yakni karena iman mereka kepada Yesus. Di samping itu, di ay. 16-17, mereka juga akan mengalami pengkhianatan dari kerabat dekat dan teman-teman (bdk. Mrk 13:12).
Akan tetapi ujian yang dihadapi oleh orang beriman itu justru merupakan kesempatan bagi mereka untuk dapat “bersaksi” (ay. 13). Dan dalam melakukan “kesaksian”-nya ini mereka tidak perlu khawatir tentang apa yang harus mereka katakan, melainkan hanya bergantung pada janji Yesus yang akan membantu mereka berkata-kata (bdk. Kel. 4:11, 15; Yeh. 29:21) dan kebijaksanaan yang akan mereka butuhkan saat itu (bdk. 12:11-12; Mat. 10:19-20, Mrk 13:11). Ini semua akan mereka terima melalui karya Roh Kudus kepada mereka (Mrk 13:11). Mereka akan menemukan bahwa kesaksian mereka akan menjadi sangat kuat. Ini semua akhirnya memang benar-benar terjadi dalam kehidupan gereja mula-mula (mis., Kis 4:14; 6:10; 8:3; 12:4; 21:11; 22:4, 27:1, 28:17) dan di sepanjang sejarah gereja. Dalam hal ini, Yesus berjanji bahwa Dia akan selalu menjaga mereka agar tetap aman (ay. 18). Ini mungkin berarti bahwa tidak ada bahaya yang akan menimpa mereka tanpa seizin Bapa (ay 16; bnd. Kis 27:34). Beberapa penafsir percaya bahwa  hal ini hanyalah mengacu pada keselamatan rohani, tetapi tidak terhadap keselamatan jasmani.
Hal terpenting di sini (ay. 19) adalah bahwa: dengan ketekunan dalam karya, saat mereka dianiaya, hal itu justru akan melestarikan kehidupan mereka (Yun. ktesesthe tas psychas hymon). Artinya, mereka tidak akan mati sebelum dikehendaki Tuhan (ay 18). Beberapa penafsir percaya bahwa ayat ini bertujuan menyatakan bahwa mereka yang bertahan sampai akhir akan mengalami keselamatan (bnd. Mat 24:13, Mrk 13:13). Mereka yang tetap setia sampai akhir dari masa Kesengsaraan akan masuk ke dalam kerajaan tanpa kematian (bnd. Mat 24:13, Mrk 13:13). Ini berarti bahwa ketekunan dalam karya akan mendatangkan ganjaran kekal (lih. ay. 36; Why 2:10).

Aplikasi

Di kalangan orang Kristen, ada yang beranggapan bahwa pelayanan adalah sesuatu yang dilakukan secara sukarela. Namun, “sukarela” ini kadang dimaknai sebagai ‘sesukanya’ atau se-‘rela’-nya sehingga membuat kualitas pelayanan itu sendiri menjadi berkurang, tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh (kalau sempat), bahkan tidak perlu membutuhkan keterampilan khusus. Definisi pelayanan yang seperti ini seringkali dibedakan dengan definisi mengenai pekerjaan, yakni: sesuatu yang dilakukan, semestinya secara profesional (kemampuan khusus yang dibayar), untuk mencari nafkah, atau mendapatkan suatu hasil. Kalangan seperti ini menganggap bahwa bekerja berbeda dengan melayani, sebab melayani bisa dilakukan oleh siapa saja, termasuk jenis kegiatan yang dapat dilakukan secara serabutan, dan tidak berorientasi pada hasil melainkan pada ketekunan.
Sepintas, idea semacam ini pada kenyataannya memang ada benarnya, bahkan seperti inilah yang berlaku secara umum di banyak gereja. Maka tak mengherankan jika berbagai bentuk pelayanan gerejawi, dalam komisi apapun, seringkali terkesan asal-asalan, kurang berkualitas, bahkan yang penting ada kemauan. Sebagai contoh: jika paduan suara gerejawi, dari tahun ke tahun menyanyikan lagu yang itu-itu saja, jumlah anggotanya tidak pernah pasti, jadual latihan tidak menentu, bahkan tanpa latihan pun bisa tampil; hal itu dianggap biasa/wajar dalam pelayanan. “Namanya juga pelayanan, sudah baik masih mau tampil”.
Memang, pelayanan yang dilakukan seperti itu tidak salah, sebab Bunda Teresa pun pernah menyatakan bahwa: “Tuhan tidak pernah menuntut kita untuk Sukses, Dia hanya mengharuskan kita Berusaha”. Namun sesungguhnya, pelayanan yang dilakukan seperti itu dapat dianggap sebagai pelayanan yang kurang baik. Oleh sebab itu sebaiknya kita perlu kembali belajar kepada Perjanjian Baru mengenai makna pelayanan yang baik :
Kata yang dipakai dalam Perjanjian Baru untuk menunjuk pada “pelayanan” adalah: diakoneo, douleo, leitourgeo, dan latreuo. Makna tiap kata itu tidak sama. Diakoneo: melayani orang yang lebih rendah dari dirinya; Douleo: menghamba, melayani orang yang lebih tinggi dari dirinya; Leitourgeo: kerja bakti untuk kepentingan orang banyak; sedangkan Latreuo: bekerja untuk mendapatkan latron (upah, gaji, kualitas). Dari ke-4 kata yang biasa dipakai oleh Perjanjian Baru itu, maka dapatlah ditarik kesimpulan bahwa:pelayanan adalah aktifitas yang dilakukan, baik untuk kepentingan sesama maupun untuk kemuliaan Allah, menuju suatu pencapaian yang baik (berkualitas), sehingga harus dilakukan secara profesional (dengan kemampuan dan minat).
-------
Oleh sebab itu jugalah, maka seluruh bagian Alkitab yang sedang kita perbincangkan saat ini sesungguhnya menekankan bahwa: pelayanan itu tak lain adalah ‘karya’ atau ‘kerja’. Sebab ketika ‘kerja’ itu merupakan sebuah upaya “menghidupi diri sendiri” (lih. II Tes. 3:10), maka demikian juga ‘pelayanan’, yakni “menghidupi imannya sendiri”. Oleh karena itu, maka ‘pelayanan’ pun perlu dilakukan dengan ketekunan, sebab seperti halnya manusia hidup butuh makan, kehidupan iman pun butuh makanan yang dihasilkan dari buah-buah pelayanan (agar tetap memperoleh hidup, lih. Lukas 21:19). Dan jika pelayanan yang dilakukan itu bukanlah sebuah karya yang profesional, berkualitas, dan tanpa minat, maka tentu buah-buah yang dihasilkannya pun tidak akan mengenyangkan kehidupan beriman. Oleh sebab itu, maka kinerja dalam pelayanan itu  haruslah sebuah upaya yang profesional, berkualitas, serta penuh tekad dan minat.
Apa yang sedang diwacanakan ini bukanlah bermaksud untuk membedakan, bahwa: pekerjaan itu hanyalah aktifitas yang menyangkut kehidupan profan (duniawi), sedangkan pelayanan itu menyangkut kehidupan iman (sorgawi). Sebab sesungguhnya keduanya, baik pekerjaan maupun pelayanan itu adalah aktifitas yang menyangkut kehidupan profan (duniawi) sekaligus kehidupan iman (sorgawi). Zaman Kerajaan 1000 tahun (zaman akhir) yang sedang terjadi dan kita alami saat ini pada hakekatnya adalah kehidupan duniawi di bawah pemerintahan (kendali) Sang Kristus, sehingga kerja/pelayanan umatNya pun berkenaan dengan seluruh kepentingan, baik sorgawi maupun duniawi. Pelayanan/kerja bagi kepentingan sesama, kepentingan diri sendiri dan bagi kemuliaan Tuhan, semuanya haruslah dilakukan sesuai kehendak Kristus, dan tidak perlu dipertentangkan antara satu dengan yang lain: mana yang sorgawi atau mana yang duniawi. Dengan demikian, maka:
§  Mereka yang menjadi Guru, baiklah mereka mendidik dengan ketekunan dan kinerja yang gigih bagi kebaikan para muridnya sekaligus demi kemuliaan Sang Kristus.
§  Mereka yang menjadi pegawai negeri, baiklah mereka mengabdi dengan ketekunan dan kinerja yang gigih bagi kebaikan masyarakat sekaligus demi kemuliaan Sang Kristus.
§  Mereka yang menjadi dokter, baiklah mereka mengobati dengan ketekunan dan kinerja yang gigih bagi kebaikan lingkungannya sekaligus demi kemuliaan Sang Kristus.

Medan 17 November 2013
Pdt. T.M. Karo-karo, STh,MA
 Khotbah Minggu 17 November 2013
GMI Kasih Karunia, Medan
Nats Alkitab : Lukas 21: 5-19

Bersama Injil Markus (13:1), di bagian ini pun Lukas menggambarkan bahwa bangunan Bait Allah bukanlah sekedar bangunan yang menjadi obyek wisata yang sangat terkenal, karena merupakan bangunan yang sangat besar/megah, sangat indah (super-estetik), dan sangat kokoh/kuat dengan dindingnya yang sangat tebal, namun juga merupakan bangunan yang menjadi simbol negara dan simbol kedekatan hubungan antara umat Yahudi dengan Allah. Bangunan ini adalah simbol Yudaisme –– yang menyangkut seluruh aspek kehidupan Yahudi, mulai aspek sosial, ekonomi, politik, maupun budaya. Kondisi bangsa Yahudi dilukiskan secara nyata oleh keberadaan bangunan ini. Oleh sebab itu, hancurnya gedung Bait Allah juga menyatakan hancurnya Yahudi sebagai bangsa dan negara.
Dan sungguh mengejutkan bila mengenai Bait Allah ini Tuhan Yesus justru berkata: “akan datang harinya di mana tidak ada satu batu pun akan dibiarkan terletak di atas batu yang lain” (ay. 6). Ini memang merupakan nubuatan yang secara harfiah benar-benar terjadi pada th 70, dimana pasukan Romawi di bawah pimpinan Jenderal Titus membumi-hanguskan Yerusalem, termasuk Bait Allah. Namun, sesungguhnya kehancuran Bait Allah yang dimaksudkan Yesus menunjuk pada konsep mengenai akhir zaman. Memang, kebetulan secara fisik Bait Allah benar-benar runtuh pada th 70, tetapi bukan itu maksud perkataan Tuhan di ay. 6 ini. Sebab, di bagian ini Tuhan Yesus sesungguhnya ingin memaparkan suatu pemahaman eskatologis, bahwa: hancurnya Bait Allah adalah simbol yang menunjuk pada hancurnya kedekatan hubungan antara manusia dengan Allahnya. Zaman yang penuh cobaan ini, ditandai dengan: penyesatan (ay. 8); peperangan dan pemberontakan (9-10); gempa bumi, penyakit, kelaparan, teror, dan tanda-tanda surgawi yang besar yang akan mendahului Kedatangan Kedua Kali (ay. 11). Secara rinci tanda-tanda surgawi ini disebut dalam Kitab Wahyu ps. 6-18. Namun hal-hal itu belumlah seberapa, sebab yang paling berpengaruh adalah bahwa: pada zaman ini kehidupan orang beriman akan mengalami ujian yang berat. Berbagai ujian yang akan dialami orang beriman itu dipaparkan Lukas dalam ay. 12, di antaranya: mereka akan dimusuhi di sinagog-sinagog (bnd. Mat. 10:17; Mrk 13:9), ditangkap, dianiaya, dipenjara, dan dihadapkan kepada para penguasa bangsa lain untuk diadili (bnd. Mat 10:18; Mrk 13:9). Semua itu terjadi oleh karena “nama-Ku” –– yakni karena iman mereka kepada Yesus. Di samping itu, di ay. 16-17, mereka juga akan mengalami pengkhianatan dari kerabat dekat dan teman-teman (bdk. Mrk 13:12).
Akan tetapi ujian yang dihadapi oleh orang beriman itu justru merupakan kesempatan bagi mereka untuk dapat “bersaksi” (ay. 13). Dan dalam melakukan “kesaksian”-nya ini mereka tidak perlu khawatir tentang apa yang harus mereka katakan, melainkan hanya bergantung pada janji Yesus yang akan membantu mereka berkata-kata (bdk. Kel. 4:11, 15; Yeh. 29:21) dan kebijaksanaan yang akan mereka butuhkan saat itu (bdk. 12:11-12; Mat. 10:19-20, Mrk 13:11). Ini semua akan mereka terima melalui karya Roh Kudus kepada mereka (Mrk 13:11). Mereka akan menemukan bahwa kesaksian mereka akan menjadi sangat kuat. Ini semua akhirnya memang benar-benar terjadi dalam kehidupan gereja mula-mula (mis., Kis 4:14; 6:10; 8:3; 12:4; 21:11; 22:4, 27:1, 28:17) dan di sepanjang sejarah gereja. Dalam hal ini, Yesus berjanji bahwa Dia akan selalu menjaga mereka agar tetap aman (ay. 18). Ini mungkin berarti bahwa tidak ada bahaya yang akan menimpa mereka tanpa seizin Bapa (ay 16; bnd. Kis 27:34). Beberapa penafsir percaya bahwa  hal ini hanyalah mengacu pada keselamatan rohani, tetapi tidak terhadap keselamatan jasmani.
Hal terpenting di sini (ay. 19) adalah bahwa: dengan ketekunan dalam karya, saat mereka dianiaya, hal itu justru akan melestarikan kehidupan mereka (Yun. ktesesthe tas psychas hymon). Artinya, mereka tidak akan mati sebelum dikehendaki Tuhan (ay 18). Beberapa penafsir percaya bahwa ayat ini bertujuan menyatakan bahwa mereka yang bertahan sampai akhir akan mengalami keselamatan (bnd. Mat 24:13, Mrk 13:13). Mereka yang tetap setia sampai akhir dari masa Kesengsaraan akan masuk ke dalam kerajaan tanpa kematian (bnd. Mat 24:13, Mrk 13:13). Ini berarti bahwa ketekunan dalam karya akan mendatangkan ganjaran kekal (lih. ay. 36; Why 2:10).

Aplikasi

Di kalangan orang Kristen, ada yang beranggapan bahwa pelayanan adalah sesuatu yang dilakukan secara sukarela. Namun, “sukarela” ini kadang dimaknai sebagai ‘sesukanya’ atau se-‘rela’-nya sehingga membuat kualitas pelayanan itu sendiri menjadi berkurang, tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh (kalau sempat), bahkan tidak perlu membutuhkan keterampilan khusus. Definisi pelayanan yang seperti ini seringkali dibedakan dengan definisi mengenai pekerjaan, yakni: sesuatu yang dilakukan, semestinya secara profesional (kemampuan khusus yang dibayar), untuk mencari nafkah, atau mendapatkan suatu hasil. Kalangan seperti ini menganggap bahwa bekerja berbeda dengan melayani, sebab melayani bisa dilakukan oleh siapa saja, termasuk jenis kegiatan yang dapat dilakukan secara serabutan, dan tidak berorientasi pada hasil melainkan pada ketekunan.
Sepintas, idea semacam ini pada kenyataannya memang ada benarnya, bahkan seperti inilah yang berlaku secara umum di banyak gereja. Maka tak mengherankan jika berbagai bentuk pelayanan gerejawi, dalam komisi apapun, seringkali terkesan asal-asalan, kurang berkualitas, bahkan yang penting ada kemauan. Sebagai contoh: jika paduan suara gerejawi, dari tahun ke tahun menyanyikan lagu yang itu-itu saja, jumlah anggotanya tidak pernah pasti, jadual latihan tidak menentu, bahkan tanpa latihan pun bisa tampil; hal itu dianggap biasa/wajar dalam pelayanan. “Namanya juga pelayanan, sudah baik masih mau tampil”.
Memang, pelayanan yang dilakukan seperti itu tidak salah, sebab Bunda Teresa pun pernah menyatakan bahwa: “Tuhan tidak pernah menuntut kita untuk Sukses, Dia hanya mengharuskan kita Berusaha”. Namun sesungguhnya, pelayanan yang dilakukan seperti itu dapat dianggap sebagai pelayanan yang kurang baik. Oleh sebab itu sebaiknya kita perlu kembali belajar kepada Perjanjian Baru mengenai makna pelayanan yang baik :
Kata yang dipakai dalam Perjanjian Baru untuk menunjuk pada “pelayanan” adalah: diakoneo, douleo, leitourgeo, dan latreuo. Makna tiap kata itu tidak sama. Diakoneo: melayani orang yang lebih rendah dari dirinya; Douleo: menghamba, melayani orang yang lebih tinggi dari dirinya; Leitourgeo: kerja bakti untuk kepentingan orang banyak; sedangkan Latreuo: bekerja untuk mendapatkan latron (upah, gaji, kualitas). Dari ke-4 kata yang biasa dipakai oleh Perjanjian Baru itu, maka dapatlah ditarik kesimpulan bahwa:pelayanan adalah aktifitas yang dilakukan, baik untuk kepentingan sesama maupun untuk kemuliaan Allah, menuju suatu pencapaian yang baik (berkualitas), sehingga harus dilakukan secara profesional (dengan kemampuan dan minat).
-------
Oleh sebab itu jugalah, maka seluruh bagian Alkitab yang sedang kita perbincangkan saat ini sesungguhnya menekankan bahwa: pelayanan itu tak lain adalah ‘karya’ atau ‘kerja’. Sebab ketika ‘kerja’ itu merupakan sebuah upaya “menghidupi diri sendiri” (lih. II Tes. 3:10), maka demikian juga ‘pelayanan’, yakni “menghidupi imannya sendiri”. Oleh karena itu, maka ‘pelayanan’ pun perlu dilakukan dengan ketekunan, sebab seperti halnya manusia hidup butuh makan, kehidupan iman pun butuh makanan yang dihasilkan dari buah-buah pelayanan (agar tetap memperoleh hidup, lih. Lukas 21:19). Dan jika pelayanan yang dilakukan itu bukanlah sebuah karya yang profesional, berkualitas, dan tanpa minat, maka tentu buah-buah yang dihasilkannya pun tidak akan mengenyangkan kehidupan beriman. Oleh sebab itu, maka kinerja dalam pelayanan itu  haruslah sebuah upaya yang profesional, berkualitas, serta penuh tekad dan minat.
Apa yang sedang diwacanakan ini bukanlah bermaksud untuk membedakan, bahwa: pekerjaan itu hanyalah aktifitas yang menyangkut kehidupan profan (duniawi), sedangkan pelayanan itu menyangkut kehidupan iman (sorgawi). Sebab sesungguhnya keduanya, baik pekerjaan maupun pelayanan itu adalah aktifitas yang menyangkut kehidupan profan (duniawi) sekaligus kehidupan iman (sorgawi). Zaman Kerajaan 1000 tahun (zaman akhir) yang sedang terjadi dan kita alami saat ini pada hakekatnya adalah kehidupan duniawi di bawah pemerintahan (kendali) Sang Kristus, sehingga kerja/pelayanan umatNya pun berkenaan dengan seluruh kepentingan, baik sorgawi maupun duniawi. Pelayanan/kerja bagi kepentingan sesama, kepentingan diri sendiri dan bagi kemuliaan Tuhan, semuanya haruslah dilakukan sesuai kehendak Kristus, dan tidak perlu dipertentangkan antara satu dengan yang lain: mana yang sorgawi atau mana yang duniawi. Dengan demikian, maka:
§  Mereka yang menjadi Guru, baiklah mereka mendidik dengan ketekunan dan kinerja yang gigih bagi kebaikan para muridnya sekaligus demi kemuliaan Sang Kristus.
§  Mereka yang menjadi pegawai negeri, baiklah mereka mengabdi dengan ketekunan dan kinerja yang gigih bagi kebaikan masyarakat sekaligus demi kemuliaan Sang Kristus.
§  Mereka yang menjadi dokter, baiklah mereka mengobati dengan ketekunan dan kinerja yang gigih bagi kebaikan lingkungannya sekaligus demi kemuliaan Sang Kristus.

Medan 17 November 2013
Pdt. T.M. Karo-karo, STh,MA
 Khotbah Minggu 17 November 2013
GMI Kasih Karunia, Medan
Nats Alkitab : Lukas 21: 5-19

Bersama Injil Markus (13:1), di bagian ini pun Lukas menggambarkan bahwa bangunan Bait Allah bukanlah sekedar bangunan yang menjadi obyek wisata yang sangat terkenal, karena merupakan bangunan yang sangat besar/megah, sangat indah (super-estetik), dan sangat kokoh/kuat dengan dindingnya yang sangat tebal, namun juga merupakan bangunan yang menjadi simbol negara dan simbol kedekatan hubungan antara umat Yahudi dengan Allah. Bangunan ini adalah simbol Yudaisme –– yang menyangkut seluruh aspek kehidupan Yahudi, mulai aspek sosial, ekonomi, politik, maupun budaya. Kondisi bangsa Yahudi dilukiskan secara nyata oleh keberadaan bangunan ini. Oleh sebab itu, hancurnya gedung Bait Allah juga menyatakan hancurnya Yahudi sebagai bangsa dan negara.
Dan sungguh mengejutkan bila mengenai Bait Allah ini Tuhan Yesus justru berkata: “akan datang harinya di mana tidak ada satu batu pun akan dibiarkan terletak di atas batu yang lain” (ay. 6). Ini memang merupakan nubuatan yang secara harfiah benar-benar terjadi pada th 70, dimana pasukan Romawi di bawah pimpinan Jenderal Titus membumi-hanguskan Yerusalem, termasuk Bait Allah. Namun, sesungguhnya kehancuran Bait Allah yang dimaksudkan Yesus menunjuk pada konsep mengenai akhir zaman. Memang, kebetulan secara fisik Bait Allah benar-benar runtuh pada th 70, tetapi bukan itu maksud perkataan Tuhan di ay. 6 ini. Sebab, di bagian ini Tuhan Yesus sesungguhnya ingin memaparkan suatu pemahaman eskatologis, bahwa: hancurnya Bait Allah adalah simbol yang menunjuk pada hancurnya kedekatan hubungan antara manusia dengan Allahnya. Zaman yang penuh cobaan ini, ditandai dengan: penyesatan (ay. 8); peperangan dan pemberontakan (9-10); gempa bumi, penyakit, kelaparan, teror, dan tanda-tanda surgawi yang besar yang akan mendahului Kedatangan Kedua Kali (ay. 11). Secara rinci tanda-tanda surgawi ini disebut dalam Kitab Wahyu ps. 6-18. Namun hal-hal itu belumlah seberapa, sebab yang paling berpengaruh adalah bahwa: pada zaman ini kehidupan orang beriman akan mengalami ujian yang berat. Berbagai ujian yang akan dialami orang beriman itu dipaparkan Lukas dalam ay. 12, di antaranya: mereka akan dimusuhi di sinagog-sinagog (bnd. Mat. 10:17; Mrk 13:9), ditangkap, dianiaya, dipenjara, dan dihadapkan kepada para penguasa bangsa lain untuk diadili (bnd. Mat 10:18; Mrk 13:9). Semua itu terjadi oleh karena “nama-Ku” –– yakni karena iman mereka kepada Yesus. Di samping itu, di ay. 16-17, mereka juga akan mengalami pengkhianatan dari kerabat dekat dan teman-teman (bdk. Mrk 13:12).
Akan tetapi ujian yang dihadapi oleh orang beriman itu justru merupakan kesempatan bagi mereka untuk dapat “bersaksi” (ay. 13). Dan dalam melakukan “kesaksian”-nya ini mereka tidak perlu khawatir tentang apa yang harus mereka katakan, melainkan hanya bergantung pada janji Yesus yang akan membantu mereka berkata-kata (bdk. Kel. 4:11, 15; Yeh. 29:21) dan kebijaksanaan yang akan mereka butuhkan saat itu (bdk. 12:11-12; Mat. 10:19-20, Mrk 13:11). Ini semua akan mereka terima melalui karya Roh Kudus kepada mereka (Mrk 13:11). Mereka akan menemukan bahwa kesaksian mereka akan menjadi sangat kuat. Ini semua akhirnya memang benar-benar terjadi dalam kehidupan gereja mula-mula (mis., Kis 4:14; 6:10; 8:3; 12:4; 21:11; 22:4, 27:1, 28:17) dan di sepanjang sejarah gereja. Dalam hal ini, Yesus berjanji bahwa Dia akan selalu menjaga mereka agar tetap aman (ay. 18). Ini mungkin berarti bahwa tidak ada bahaya yang akan menimpa mereka tanpa seizin Bapa (ay 16; bnd. Kis 27:34). Beberapa penafsir percaya bahwa  hal ini hanyalah mengacu pada keselamatan rohani, tetapi tidak terhadap keselamatan jasmani.
Hal terpenting di sini (ay. 19) adalah bahwa: dengan ketekunan dalam karya, saat mereka dianiaya, hal itu justru akan melestarikan kehidupan mereka (Yun. ktesesthe tas psychas hymon). Artinya, mereka tidak akan mati sebelum dikehendaki Tuhan (ay 18). Beberapa penafsir percaya bahwa ayat ini bertujuan menyatakan bahwa mereka yang bertahan sampai akhir akan mengalami keselamatan (bnd. Mat 24:13, Mrk 13:13). Mereka yang tetap setia sampai akhir dari masa Kesengsaraan akan masuk ke dalam kerajaan tanpa kematian (bnd. Mat 24:13, Mrk 13:13). Ini berarti bahwa ketekunan dalam karya akan mendatangkan ganjaran kekal (lih. ay. 36; Why 2:10).

Aplikasi

Di kalangan orang Kristen, ada yang beranggapan bahwa pelayanan adalah sesuatu yang dilakukan secara sukarela. Namun, “sukarela” ini kadang dimaknai sebagai ‘sesukanya’ atau se-‘rela’-nya sehingga membuat kualitas pelayanan itu sendiri menjadi berkurang, tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh (kalau sempat), bahkan tidak perlu membutuhkan keterampilan khusus. Definisi pelayanan yang seperti ini seringkali dibedakan dengan definisi mengenai pekerjaan, yakni: sesuatu yang dilakukan, semestinya secara profesional (kemampuan khusus yang dibayar), untuk mencari nafkah, atau mendapatkan suatu hasil. Kalangan seperti ini menganggap bahwa bekerja berbeda dengan melayani, sebab melayani bisa dilakukan oleh siapa saja, termasuk jenis kegiatan yang dapat dilakukan secara serabutan, dan tidak berorientasi pada hasil melainkan pada ketekunan.
Sepintas, idea semacam ini pada kenyataannya memang ada benarnya, bahkan seperti inilah yang berlaku secara umum di banyak gereja. Maka tak mengherankan jika berbagai bentuk pelayanan gerejawi, dalam komisi apapun, seringkali terkesan asal-asalan, kurang berkualitas, bahkan yang penting ada kemauan. Sebagai contoh: jika paduan suara gerejawi, dari tahun ke tahun menyanyikan lagu yang itu-itu saja, jumlah anggotanya tidak pernah pasti, jadual latihan tidak menentu, bahkan tanpa latihan pun bisa tampil; hal itu dianggap biasa/wajar dalam pelayanan. “Namanya juga pelayanan, sudah baik masih mau tampil”.
Memang, pelayanan yang dilakukan seperti itu tidak salah, sebab Bunda Teresa pun pernah menyatakan bahwa: “Tuhan tidak pernah menuntut kita untuk Sukses, Dia hanya mengharuskan kita Berusaha”. Namun sesungguhnya, pelayanan yang dilakukan seperti itu dapat dianggap sebagai pelayanan yang kurang baik. Oleh sebab itu sebaiknya kita perlu kembali belajar kepada Perjanjian Baru mengenai makna pelayanan yang baik :
Kata yang dipakai dalam Perjanjian Baru untuk menunjuk pada “pelayanan” adalah: diakoneo, douleo, leitourgeo, dan latreuo. Makna tiap kata itu tidak sama. Diakoneo: melayani orang yang lebih rendah dari dirinya; Douleo: menghamba, melayani orang yang lebih tinggi dari dirinya; Leitourgeo: kerja bakti untuk kepentingan orang banyak; sedangkan Latreuo: bekerja untuk mendapatkan latron (upah, gaji, kualitas). Dari ke-4 kata yang biasa dipakai oleh Perjanjian Baru itu, maka dapatlah ditarik kesimpulan bahwa:pelayanan adalah aktifitas yang dilakukan, baik untuk kepentingan sesama maupun untuk kemuliaan Allah, menuju suatu pencapaian yang baik (berkualitas), sehingga harus dilakukan secara profesional (dengan kemampuan dan minat).
-------
Oleh sebab itu jugalah, maka seluruh bagian Alkitab yang sedang kita perbincangkan saat ini sesungguhnya menekankan bahwa: pelayanan itu tak lain adalah ‘karya’ atau ‘kerja’. Sebab ketika ‘kerja’ itu merupakan sebuah upaya “menghidupi diri sendiri” (lih. II Tes. 3:10), maka demikian juga ‘pelayanan’, yakni “menghidupi imannya sendiri”. Oleh karena itu, maka ‘pelayanan’ pun perlu dilakukan dengan ketekunan, sebab seperti halnya manusia hidup butuh makan, kehidupan iman pun butuh makanan yang dihasilkan dari buah-buah pelayanan (agar tetap memperoleh hidup, lih. Lukas 21:19). Dan jika pelayanan yang dilakukan itu bukanlah sebuah karya yang profesional, berkualitas, dan tanpa minat, maka tentu buah-buah yang dihasilkannya pun tidak akan mengenyangkan kehidupan beriman. Oleh sebab itu, maka kinerja dalam pelayanan itu  haruslah sebuah upaya yang profesional, berkualitas, serta penuh tekad dan minat.
Apa yang sedang diwacanakan ini bukanlah bermaksud untuk membedakan, bahwa: pekerjaan itu hanyalah aktifitas yang menyangkut kehidupan profan (duniawi), sedangkan pelayanan itu menyangkut kehidupan iman (sorgawi). Sebab sesungguhnya keduanya, baik pekerjaan maupun pelayanan itu adalah aktifitas yang menyangkut kehidupan profan (duniawi) sekaligus kehidupan iman (sorgawi). Zaman Kerajaan 1000 tahun (zaman akhir) yang sedang terjadi dan kita alami saat ini pada hakekatnya adalah kehidupan duniawi di bawah pemerintahan (kendali) Sang Kristus, sehingga kerja/pelayanan umatNya pun berkenaan dengan seluruh kepentingan, baik sorgawi maupun duniawi. Pelayanan/kerja bagi kepentingan sesama, kepentingan diri sendiri dan bagi kemuliaan Tuhan, semuanya haruslah dilakukan sesuai kehendak Kristus, dan tidak perlu dipertentangkan antara satu dengan yang lain: mana yang sorgawi atau mana yang duniawi. Dengan demikian, maka:
§  Mereka yang menjadi Guru, baiklah mereka mendidik dengan ketekunan dan kinerja yang gigih bagi kebaikan para muridnya sekaligus demi kemuliaan Sang Kristus.
§  Mereka yang menjadi pegawai negeri, baiklah mereka mengabdi dengan ketekunan dan kinerja yang gigih bagi kebaikan masyarakat sekaligus demi kemuliaan Sang Kristus.
§  Mereka yang menjadi dokter, baiklah mereka mengobati dengan ketekunan dan kinerja yang gigih bagi kebaikan lingkungannya sekaligus demi kemuliaan Sang Kristus.

Medan 17 November 2013
Pdt. T.M. Karo-karo, STh,MA
 Khotbah Minggu 17 November 2013
GMI Kasih Karunia, Medan
Nats Alkitab : Lukas 21: 5-19

Bersama Injil Markus (13:1), di bagian ini pun Lukas menggambarkan bahwa bangunan Bait Allah bukanlah sekedar bangunan yang menjadi obyek wisata yang sangat terkenal, karena merupakan bangunan yang sangat besar/megah, sangat indah (super-estetik), dan sangat kokoh/kuat dengan dindingnya yang sangat tebal, namun juga merupakan bangunan yang menjadi simbol negara dan simbol kedekatan hubungan antara umat Yahudi dengan Allah. Bangunan ini adalah simbol Yudaisme –– yang menyangkut seluruh aspek kehidupan Yahudi, mulai aspek sosial, ekonomi, politik, maupun budaya. Kondisi bangsa Yahudi dilukiskan secara nyata oleh keberadaan bangunan ini. Oleh sebab itu, hancurnya gedung Bait Allah juga menyatakan hancurnya Yahudi sebagai bangsa dan negara.
Dan sungguh mengejutkan bila mengenai Bait Allah ini Tuhan Yesus justru berkata: “akan datang harinya di mana tidak ada satu batu pun akan dibiarkan terletak di atas batu yang lain” (ay. 6). Ini memang merupakan nubuatan yang secara harfiah benar-benar terjadi pada th 70, dimana pasukan Romawi di bawah pimpinan Jenderal Titus membumi-hanguskan Yerusalem, termasuk Bait Allah. Namun, sesungguhnya kehancuran Bait Allah yang dimaksudkan Yesus menunjuk pada konsep mengenai akhir zaman. Memang, kebetulan secara fisik Bait Allah benar-benar runtuh pada th 70, tetapi bukan itu maksud perkataan Tuhan di ay. 6 ini. Sebab, di bagian ini Tuhan Yesus sesungguhnya ingin memaparkan suatu pemahaman eskatologis, bahwa: hancurnya Bait Allah adalah simbol yang menunjuk pada hancurnya kedekatan hubungan antara manusia dengan Allahnya. Zaman yang penuh cobaan ini, ditandai dengan: penyesatan (ay. 8); peperangan dan pemberontakan (9-10); gempa bumi, penyakit, kelaparan, teror, dan tanda-tanda surgawi yang besar yang akan mendahului Kedatangan Kedua Kali (ay. 11). Secara rinci tanda-tanda surgawi ini disebut dalam Kitab Wahyu ps. 6-18. Namun hal-hal itu belumlah seberapa, sebab yang paling berpengaruh adalah bahwa: pada zaman ini kehidupan orang beriman akan mengalami ujian yang berat. Berbagai ujian yang akan dialami orang beriman itu dipaparkan Lukas dalam ay. 12, di antaranya: mereka akan dimusuhi di sinagog-sinagog (bnd. Mat. 10:17; Mrk 13:9), ditangkap, dianiaya, dipenjara, dan dihadapkan kepada para penguasa bangsa lain untuk diadili (bnd. Mat 10:18; Mrk 13:9). Semua itu terjadi oleh karena “nama-Ku” –– yakni karena iman mereka kepada Yesus. Di samping itu, di ay. 16-17, mereka juga akan mengalami pengkhianatan dari kerabat dekat dan teman-teman (bdk. Mrk 13:12).
Akan tetapi ujian yang dihadapi oleh orang beriman itu justru merupakan kesempatan bagi mereka untuk dapat “bersaksi” (ay. 13). Dan dalam melakukan “kesaksian”-nya ini mereka tidak perlu khawatir tentang apa yang harus mereka katakan, melainkan hanya bergantung pada janji Yesus yang akan membantu mereka berkata-kata (bdk. Kel. 4:11, 15; Yeh. 29:21) dan kebijaksanaan yang akan mereka butuhkan saat itu (bdk. 12:11-12; Mat. 10:19-20, Mrk 13:11). Ini semua akan mereka terima melalui karya Roh Kudus kepada mereka (Mrk 13:11). Mereka akan menemukan bahwa kesaksian mereka akan menjadi sangat kuat. Ini semua akhirnya memang benar-benar terjadi dalam kehidupan gereja mula-mula (mis., Kis 4:14; 6:10; 8:3; 12:4; 21:11; 22:4, 27:1, 28:17) dan di sepanjang sejarah gereja. Dalam hal ini, Yesus berjanji bahwa Dia akan selalu menjaga mereka agar tetap aman (ay. 18). Ini mungkin berarti bahwa tidak ada bahaya yang akan menimpa mereka tanpa seizin Bapa (ay 16; bnd. Kis 27:34). Beberapa penafsir percaya bahwa  hal ini hanyalah mengacu pada keselamatan rohani, tetapi tidak terhadap keselamatan jasmani.
Hal terpenting di sini (ay. 19) adalah bahwa: dengan ketekunan dalam karya, saat mereka dianiaya, hal itu justru akan melestarikan kehidupan mereka (Yun. ktesesthe tas psychas hymon). Artinya, mereka tidak akan mati sebelum dikehendaki Tuhan (ay 18). Beberapa penafsir percaya bahwa ayat ini bertujuan menyatakan bahwa mereka yang bertahan sampai akhir akan mengalami keselamatan (bnd. Mat 24:13, Mrk 13:13). Mereka yang tetap setia sampai akhir dari masa Kesengsaraan akan masuk ke dalam kerajaan tanpa kematian (bnd. Mat 24:13, Mrk 13:13). Ini berarti bahwa ketekunan dalam karya akan mendatangkan ganjaran kekal (lih. ay. 36; Why 2:10).

Aplikasi

Di kalangan orang Kristen, ada yang beranggapan bahwa pelayanan adalah sesuatu yang dilakukan secara sukarela. Namun, “sukarela” ini kadang dimaknai sebagai ‘sesukanya’ atau se-‘rela’-nya sehingga membuat kualitas pelayanan itu sendiri menjadi berkurang, tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh (kalau sempat), bahkan tidak perlu membutuhkan keterampilan khusus. Definisi pelayanan yang seperti ini seringkali dibedakan dengan definisi mengenai pekerjaan, yakni: sesuatu yang dilakukan, semestinya secara profesional (kemampuan khusus yang dibayar), untuk mencari nafkah, atau mendapatkan suatu hasil. Kalangan seperti ini menganggap bahwa bekerja berbeda dengan melayani, sebab melayani bisa dilakukan oleh siapa saja, termasuk jenis kegiatan yang dapat dilakukan secara serabutan, dan tidak berorientasi pada hasil melainkan pada ketekunan.
Sepintas, idea semacam ini pada kenyataannya memang ada benarnya, bahkan seperti inilah yang berlaku secara umum di banyak gereja. Maka tak mengherankan jika berbagai bentuk pelayanan gerejawi, dalam komisi apapun, seringkali terkesan asal-asalan, kurang berkualitas, bahkan yang penting ada kemauan. Sebagai contoh: jika paduan suara gerejawi, dari tahun ke tahun menyanyikan lagu yang itu-itu saja, jumlah anggotanya tidak pernah pasti, jadual latihan tidak menentu, bahkan tanpa latihan pun bisa tampil; hal itu dianggap biasa/wajar dalam pelayanan. “Namanya juga pelayanan, sudah baik masih mau tampil”.
Memang, pelayanan yang dilakukan seperti itu tidak salah, sebab Bunda Teresa pun pernah menyatakan bahwa: “Tuhan tidak pernah menuntut kita untuk Sukses, Dia hanya mengharuskan kita Berusaha”. Namun sesungguhnya, pelayanan yang dilakukan seperti itu dapat dianggap sebagai pelayanan yang kurang baik. Oleh sebab itu sebaiknya kita perlu kembali belajar kepada Perjanjian Baru mengenai makna pelayanan yang baik :
Kata yang dipakai dalam Perjanjian Baru untuk menunjuk pada “pelayanan” adalah: diakoneo, douleo, leitourgeo, dan latreuo. Makna tiap kata itu tidak sama. Diakoneo: melayani orang yang lebih rendah dari dirinya; Douleo: menghamba, melayani orang yang lebih tinggi dari dirinya; Leitourgeo: kerja bakti untuk kepentingan orang banyak; sedangkan Latreuo: bekerja untuk mendapatkan latron (upah, gaji, kualitas). Dari ke-4 kata yang biasa dipakai oleh Perjanjian Baru itu, maka dapatlah ditarik kesimpulan bahwa:pelayanan adalah aktifitas yang dilakukan, baik untuk kepentingan sesama maupun untuk kemuliaan Allah, menuju suatu pencapaian yang baik (berkualitas), sehingga harus dilakukan secara profesional (dengan kemampuan dan minat).
-------
Oleh sebab itu jugalah, maka seluruh bagian Alkitab yang sedang kita perbincangkan saat ini sesungguhnya menekankan bahwa: pelayanan itu tak lain adalah ‘karya’ atau ‘kerja’. Sebab ketika ‘kerja’ itu merupakan sebuah upaya “menghidupi diri sendiri” (lih. II Tes. 3:10), maka demikian juga ‘pelayanan’, yakni “menghidupi imannya sendiri”. Oleh karena itu, maka ‘pelayanan’ pun perlu dilakukan dengan ketekunan, sebab seperti halnya manusia hidup butuh makan, kehidupan iman pun butuh makanan yang dihasilkan dari buah-buah pelayanan (agar tetap memperoleh hidup, lih. Lukas 21:19). Dan jika pelayanan yang dilakukan itu bukanlah sebuah karya yang profesional, berkualitas, dan tanpa minat, maka tentu buah-buah yang dihasilkannya pun tidak akan mengenyangkan kehidupan beriman. Oleh sebab itu, maka kinerja dalam pelayanan itu  haruslah sebuah upaya yang profesional, berkualitas, serta penuh tekad dan minat.
Apa yang sedang diwacanakan ini bukanlah bermaksud untuk membedakan, bahwa: pekerjaan itu hanyalah aktifitas yang menyangkut kehidupan profan (duniawi), sedangkan pelayanan itu menyangkut kehidupan iman (sorgawi). Sebab sesungguhnya keduanya, baik pekerjaan maupun pelayanan itu adalah aktifitas yang menyangkut kehidupan profan (duniawi) sekaligus kehidupan iman (sorgawi). Zaman Kerajaan 1000 tahun (zaman akhir) yang sedang terjadi dan kita alami saat ini pada hakekatnya adalah kehidupan duniawi di bawah pemerintahan (kendali) Sang Kristus, sehingga kerja/pelayanan umatNya pun berkenaan dengan seluruh kepentingan, baik sorgawi maupun duniawi. Pelayanan/kerja bagi kepentingan sesama, kepentingan diri sendiri dan bagi kemuliaan Tuhan, semuanya haruslah dilakukan sesuai kehendak Kristus, dan tidak perlu dipertentangkan antara satu dengan yang lain: mana yang sorgawi atau mana yang duniawi. Dengan demikian, maka:
§  Mereka yang menjadi Guru, baiklah mereka mendidik dengan ketekunan dan kinerja yang gigih bagi kebaikan para muridnya sekaligus demi kemuliaan Sang Kristus.
§  Mereka yang menjadi pegawai negeri, baiklah mereka mengabdi dengan ketekunan dan kinerja yang gigih bagi kebaikan masyarakat sekaligus demi kemuliaan Sang Kristus.
§  Mereka yang menjadi dokter, baiklah mereka mengobati dengan ketekunan dan kinerja yang gigih bagi kebaikan lingkungannya sekaligus demi kemuliaan Sang Kristus.

Medan 17 November 2013
Pdt. T.M. Karo-karo, STh,MA
 Khotbah Minggu 17 November 2013
GMI Kasih Karunia, Medan
Nats Alkitab : Lukas 21: 5-19

Bersama Injil Markus (13:1), di bagian ini pun Lukas menggambarkan bahwa bangunan Bait Allah bukanlah sekedar bangunan yang menjadi obyek wisata yang sangat terkenal, karena merupakan bangunan yang sangat besar/megah, sangat indah (super-estetik), dan sangat kokoh/kuat dengan dindingnya yang sangat tebal, namun juga merupakan bangunan yang menjadi simbol negara dan simbol kedekatan hubungan antara umat Yahudi dengan Allah. Bangunan ini adalah simbol Yudaisme –– yang menyangkut seluruh aspek kehidupan Yahudi, mulai aspek sosial, ekonomi, politik, maupun budaya. Kondisi bangsa Yahudi dilukiskan secara nyata oleh keberadaan bangunan ini. Oleh sebab itu, hancurnya gedung Bait Allah juga menyatakan hancurnya Yahudi sebagai bangsa dan negara.
Dan sungguh mengejutkan bila mengenai Bait Allah ini Tuhan Yesus justru berkata: “akan datang harinya di mana tidak ada satu batu pun akan dibiarkan terletak di atas batu yang lain” (ay. 6). Ini memang merupakan nubuatan yang secara harfiah benar-benar terjadi pada th 70, dimana pasukan Romawi di bawah pimpinan Jenderal Titus membumi-hanguskan Yerusalem, termasuk Bait Allah. Namun, sesungguhnya kehancuran Bait Allah yang dimaksudkan Yesus menunjuk pada konsep mengenai akhir zaman. Memang, kebetulan secara fisik Bait Allah benar-benar runtuh pada th 70, tetapi bukan itu maksud perkataan Tuhan di ay. 6 ini. Sebab, di bagian ini Tuhan Yesus sesungguhnya ingin memaparkan suatu pemahaman eskatologis, bahwa: hancurnya Bait Allah adalah simbol yang menunjuk pada hancurnya kedekatan hubungan antara manusia dengan Allahnya. Zaman yang penuh cobaan ini, ditandai dengan: penyesatan (ay. 8); peperangan dan pemberontakan (9-10); gempa bumi, penyakit, kelaparan, teror, dan tanda-tanda surgawi yang besar yang akan mendahului Kedatangan Kedua Kali (ay. 11). Secara rinci tanda-tanda surgawi ini disebut dalam Kitab Wahyu ps. 6-18. Namun hal-hal itu belumlah seberapa, sebab yang paling berpengaruh adalah bahwa: pada zaman ini kehidupan orang beriman akan mengalami ujian yang berat. Berbagai ujian yang akan dialami orang beriman itu dipaparkan Lukas dalam ay. 12, di antaranya: mereka akan dimusuhi di sinagog-sinagog (bnd. Mat. 10:17; Mrk 13:9), ditangkap, dianiaya, dipenjara, dan dihadapkan kepada para penguasa bangsa lain untuk diadili (bnd. Mat 10:18; Mrk 13:9). Semua itu terjadi oleh karena “nama-Ku” –– yakni karena iman mereka kepada Yesus. Di samping itu, di ay. 16-17, mereka juga akan mengalami pengkhianatan dari kerabat dekat dan teman-teman (bdk. Mrk 13:12).
Akan tetapi ujian yang dihadapi oleh orang beriman itu justru merupakan kesempatan bagi mereka untuk dapat “bersaksi” (ay. 13). Dan dalam melakukan “kesaksian”-nya ini mereka tidak perlu khawatir tentang apa yang harus mereka katakan, melainkan hanya bergantung pada janji Yesus yang akan membantu mereka berkata-kata (bdk. Kel. 4:11, 15; Yeh. 29:21) dan kebijaksanaan yang akan mereka butuhkan saat itu (bdk. 12:11-12; Mat. 10:19-20, Mrk 13:11). Ini semua akan mereka terima melalui karya Roh Kudus kepada mereka (Mrk 13:11). Mereka akan menemukan bahwa kesaksian mereka akan menjadi sangat kuat. Ini semua akhirnya memang benar-benar terjadi dalam kehidupan gereja mula-mula (mis., Kis 4:14; 6:10; 8:3; 12:4; 21:11; 22:4, 27:1, 28:17) dan di sepanjang sejarah gereja. Dalam hal ini, Yesus berjanji bahwa Dia akan selalu menjaga mereka agar tetap aman (ay. 18). Ini mungkin berarti bahwa tidak ada bahaya yang akan menimpa mereka tanpa seizin Bapa (ay 16; bnd. Kis 27:34). Beberapa penafsir percaya bahwa  hal ini hanyalah mengacu pada keselamatan rohani, tetapi tidak terhadap keselamatan jasmani.
Hal terpenting di sini (ay. 19) adalah bahwa: dengan ketekunan dalam karya, saat mereka dianiaya, hal itu justru akan melestarikan kehidupan mereka (Yun. ktesesthe tas psychas hymon). Artinya, mereka tidak akan mati sebelum dikehendaki Tuhan (ay 18). Beberapa penafsir percaya bahwa ayat ini bertujuan menyatakan bahwa mereka yang bertahan sampai akhir akan mengalami keselamatan (bnd. Mat 24:13, Mrk 13:13). Mereka yang tetap setia sampai akhir dari masa Kesengsaraan akan masuk ke dalam kerajaan tanpa kematian (bnd. Mat 24:13, Mrk 13:13). Ini berarti bahwa ketekunan dalam karya akan mendatangkan ganjaran kekal (lih. ay. 36; Why 2:10).

Aplikasi

Di kalangan orang Kristen, ada yang beranggapan bahwa pelayanan adalah sesuatu yang dilakukan secara sukarela. Namun, “sukarela” ini kadang dimaknai sebagai ‘sesukanya’ atau se-‘rela’-nya sehingga membuat kualitas pelayanan itu sendiri menjadi berkurang, tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh (kalau sempat), bahkan tidak perlu membutuhkan keterampilan khusus. Definisi pelayanan yang seperti ini seringkali dibedakan dengan definisi mengenai pekerjaan, yakni: sesuatu yang dilakukan, semestinya secara profesional (kemampuan khusus yang dibayar), untuk mencari nafkah, atau mendapatkan suatu hasil. Kalangan seperti ini menganggap bahwa bekerja berbeda dengan melayani, sebab melayani bisa dilakukan oleh siapa saja, termasuk jenis kegiatan yang dapat dilakukan secara serabutan, dan tidak berorientasi pada hasil melainkan pada ketekunan.
Sepintas, idea semacam ini pada kenyataannya memang ada benarnya, bahkan seperti inilah yang berlaku secara umum di banyak gereja. Maka tak mengherankan jika berbagai bentuk pelayanan gerejawi, dalam komisi apapun, seringkali terkesan asal-asalan, kurang berkualitas, bahkan yang penting ada kemauan. Sebagai contoh: jika paduan suara gerejawi, dari tahun ke tahun menyanyikan lagu yang itu-itu saja, jumlah anggotanya tidak pernah pasti, jadual latihan tidak menentu, bahkan tanpa latihan pun bisa tampil; hal itu dianggap biasa/wajar dalam pelayanan. “Namanya juga pelayanan, sudah baik masih mau tampil”.
Memang, pelayanan yang dilakukan seperti itu tidak salah, sebab Bunda Teresa pun pernah menyatakan bahwa: “Tuhan tidak pernah menuntut kita untuk Sukses, Dia hanya mengharuskan kita Berusaha”. Namun sesungguhnya, pelayanan yang dilakukan seperti itu dapat dianggap sebagai pelayanan yang kurang baik. Oleh sebab itu sebaiknya kita perlu kembali belajar kepada Perjanjian Baru mengenai makna pelayanan yang baik :
Kata yang dipakai dalam Perjanjian Baru untuk menunjuk pada “pelayanan” adalah: diakoneo, douleo, leitourgeo, dan latreuo. Makna tiap kata itu tidak sama. Diakoneo: melayani orang yang lebih rendah dari dirinya; Douleo: menghamba, melayani orang yang lebih tinggi dari dirinya; Leitourgeo: kerja bakti untuk kepentingan orang banyak; sedangkan Latreuo: bekerja untuk mendapatkan latron (upah, gaji, kualitas). Dari ke-4 kata yang biasa dipakai oleh Perjanjian Baru itu, maka dapatlah ditarik kesimpulan bahwa:pelayanan adalah aktifitas yang dilakukan, baik untuk kepentingan sesama maupun untuk kemuliaan Allah, menuju suatu pencapaian yang baik (berkualitas), sehingga harus dilakukan secara profesional (dengan kemampuan dan minat).
-------
Oleh sebab itu jugalah, maka seluruh bagian Alkitab yang sedang kita perbincangkan saat ini sesungguhnya menekankan bahwa: pelayanan itu tak lain adalah ‘karya’ atau ‘kerja’. Sebab ketika ‘kerja’ itu merupakan sebuah upaya “menghidupi diri sendiri” (lih. II Tes. 3:10), maka demikian juga ‘pelayanan’, yakni “menghidupi imannya sendiri”. Oleh karena itu, maka ‘pelayanan’ pun perlu dilakukan dengan ketekunan, sebab seperti halnya manusia hidup butuh makan, kehidupan iman pun butuh makanan yang dihasilkan dari buah-buah pelayanan (agar tetap memperoleh hidup, lih. Lukas 21:19). Dan jika pelayanan yang dilakukan itu bukanlah sebuah karya yang profesional, berkualitas, dan tanpa minat, maka tentu buah-buah yang dihasilkannya pun tidak akan mengenyangkan kehidupan beriman. Oleh sebab itu, maka kinerja dalam pelayanan itu  haruslah sebuah upaya yang profesional, berkualitas, serta penuh tekad dan minat.
Apa yang sedang diwacanakan ini bukanlah bermaksud untuk membedakan, bahwa: pekerjaan itu hanyalah aktifitas yang menyangkut kehidupan profan (duniawi), sedangkan pelayanan itu menyangkut kehidupan iman (sorgawi). Sebab sesungguhnya keduanya, baik pekerjaan maupun pelayanan itu adalah aktifitas yang menyangkut kehidupan profan (duniawi) sekaligus kehidupan iman (sorgawi). Zaman Kerajaan 1000 tahun (zaman akhir) yang sedang terjadi dan kita alami saat ini pada hakekatnya adalah kehidupan duniawi di bawah pemerintahan (kendali) Sang Kristus, sehingga kerja/pelayanan umatNya pun berkenaan dengan seluruh kepentingan, baik sorgawi maupun duniawi. Pelayanan/kerja bagi kepentingan sesama, kepentingan diri sendiri dan bagi kemuliaan Tuhan, semuanya haruslah dilakukan sesuai kehendak Kristus, dan tidak perlu dipertentangkan antara satu dengan yang lain: mana yang sorgawi atau mana yang duniawi. Dengan demikian, maka:
§  Mereka yang menjadi Guru, baiklah mereka mendidik dengan ketekunan dan kinerja yang gigih bagi kebaikan para muridnya sekaligus demi kemuliaan Sang Kristus.
§  Mereka yang menjadi pegawai negeri, baiklah mereka mengabdi dengan ketekunan dan kinerja yang gigih bagi kebaikan masyarakat sekaligus demi kemuliaan Sang Kristus.
§  Mereka yang menjadi dokter, baiklah mereka mengobati dengan ketekunan dan kinerja yang gigih bagi kebaikan lingkungannya sekaligus demi kemuliaan Sang Kristus.

Medan 17 November 2013
Pdt. T.M. Karo-karo, STh,MA
 Khotbah Minggu 17 November 2013
GMI Kasih Karunia, Medan
Nats Alkitab : Lukas 21: 5-19

Bersama Injil Markus (13:1), di bagian ini pun Lukas menggambarkan bahwa bangunan Bait Allah bukanlah sekedar bangunan yang menjadi obyek wisata yang sangat terkenal, karena merupakan bangunan yang sangat besar/megah, sangat indah (super-estetik), dan sangat kokoh/kuat dengan dindingnya yang sangat tebal, namun juga merupakan bangunan yang menjadi simbol negara dan simbol kedekatan hubungan antara umat Yahudi dengan Allah. Bangunan ini adalah simbol Yudaisme –– yang menyangkut seluruh aspek kehidupan Yahudi, mulai aspek sosial, ekonomi, politik, maupun budaya. Kondisi bangsa Yahudi dilukiskan secara nyata oleh keberadaan bangunan ini. Oleh sebab itu, hancurnya gedung Bait Allah juga menyatakan hancurnya Yahudi sebagai bangsa dan negara.
Dan sungguh mengejutkan bila mengenai Bait Allah ini Tuhan Yesus justru berkata: “akan datang harinya di mana tidak ada satu batu pun akan dibiarkan terletak di atas batu yang lain” (ay. 6). Ini memang merupakan nubuatan yang secara harfiah benar-benar terjadi pada th 70, dimana pasukan Romawi di bawah pimpinan Jenderal Titus membumi-hanguskan Yerusalem, termasuk Bait Allah. Namun, sesungguhnya kehancuran Bait Allah yang dimaksudkan Yesus menunjuk pada konsep mengenai akhir zaman. Memang, kebetulan secara fisik Bait Allah benar-benar runtuh pada th 70, tetapi bukan itu maksud perkataan Tuhan di ay. 6 ini. Sebab, di bagian ini Tuhan Yesus sesungguhnya ingin memaparkan suatu pemahaman eskatologis, bahwa: hancurnya Bait Allah adalah simbol yang menunjuk pada hancurnya kedekatan hubungan antara manusia dengan Allahnya. Zaman yang penuh cobaan ini, ditandai dengan: penyesatan (ay. 8); peperangan dan pemberontakan (9-10); gempa bumi, penyakit, kelaparan, teror, dan tanda-tanda surgawi yang besar yang akan mendahului Kedatangan Kedua Kali (ay. 11). Secara rinci tanda-tanda surgawi ini disebut dalam Kitab Wahyu ps. 6-18. Namun hal-hal itu belumlah seberapa, sebab yang paling berpengaruh adalah bahwa: pada zaman ini kehidupan orang beriman akan mengalami ujian yang berat. Berbagai ujian yang akan dialami orang beriman itu dipaparkan Lukas dalam ay. 12, di antaranya: mereka akan dimusuhi di sinagog-sinagog (bnd. Mat. 10:17; Mrk 13:9), ditangkap, dianiaya, dipenjara, dan dihadapkan kepada para penguasa bangsa lain untuk diadili (bnd. Mat 10:18; Mrk 13:9). Semua itu terjadi oleh karena “nama-Ku” –– yakni karena iman mereka kepada Yesus. Di samping itu, di ay. 16-17, mereka juga akan mengalami pengkhianatan dari kerabat dekat dan teman-teman (bdk. Mrk 13:12).
Akan tetapi ujian yang dihadapi oleh orang beriman itu justru merupakan kesempatan bagi mereka untuk dapat “bersaksi” (ay. 13). Dan dalam melakukan “kesaksian”-nya ini mereka tidak perlu khawatir tentang apa yang harus mereka katakan, melainkan hanya bergantung pada janji Yesus yang akan membantu mereka berkata-kata (bdk. Kel. 4:11, 15; Yeh. 29:21) dan kebijaksanaan yang akan mereka butuhkan saat itu (bdk. 12:11-12; Mat. 10:19-20, Mrk 13:11). Ini semua akan mereka terima melalui karya Roh Kudus kepada mereka (Mrk 13:11). Mereka akan menemukan bahwa kesaksian mereka akan menjadi sangat kuat. Ini semua akhirnya memang benar-benar terjadi dalam kehidupan gereja mula-mula (mis., Kis 4:14; 6:10; 8:3; 12:4; 21:11; 22:4, 27:1, 28:17) dan di sepanjang sejarah gereja. Dalam hal ini, Yesus berjanji bahwa Dia akan selalu menjaga mereka agar tetap aman (ay. 18). Ini mungkin berarti bahwa tidak ada bahaya yang akan menimpa mereka tanpa seizin Bapa (ay 16; bnd. Kis 27:34). Beberapa penafsir percaya bahwa  hal ini hanyalah mengacu pada keselamatan rohani, tetapi tidak terhadap keselamatan jasmani.
Hal terpenting di sini (ay. 19) adalah bahwa: dengan ketekunan dalam karya, saat mereka dianiaya, hal itu justru akan melestarikan kehidupan mereka (Yun. ktesesthe tas psychas hymon). Artinya, mereka tidak akan mati sebelum dikehendaki Tuhan (ay 18). Beberapa penafsir percaya bahwa ayat ini bertujuan menyatakan bahwa mereka yang bertahan sampai akhir akan mengalami keselamatan (bnd. Mat 24:13, Mrk 13:13). Mereka yang tetap setia sampai akhir dari masa Kesengsaraan akan masuk ke dalam kerajaan tanpa kematian (bnd. Mat 24:13, Mrk 13:13). Ini berarti bahwa ketekunan dalam karya akan mendatangkan ganjaran kekal (lih. ay. 36; Why 2:10).

Aplikasi

Di kalangan orang Kristen, ada yang beranggapan bahwa pelayanan adalah sesuatu yang dilakukan secara sukarela. Namun, “sukarela” ini kadang dimaknai sebagai ‘sesukanya’ atau se-‘rela’-nya sehingga membuat kualitas pelayanan itu sendiri menjadi berkurang, tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh (kalau sempat), bahkan tidak perlu membutuhkan keterampilan khusus. Definisi pelayanan yang seperti ini seringkali dibedakan dengan definisi mengenai pekerjaan, yakni: sesuatu yang dilakukan, semestinya secara profesional (kemampuan khusus yang dibayar), untuk mencari nafkah, atau mendapatkan suatu hasil. Kalangan seperti ini menganggap bahwa bekerja berbeda dengan melayani, sebab melayani bisa dilakukan oleh siapa saja, termasuk jenis kegiatan yang dapat dilakukan secara serabutan, dan tidak berorientasi pada hasil melainkan pada ketekunan.
Sepintas, idea semacam ini pada kenyataannya memang ada benarnya, bahkan seperti inilah yang berlaku secara umum di banyak gereja. Maka tak mengherankan jika berbagai bentuk pelayanan gerejawi, dalam komisi apapun, seringkali terkesan asal-asalan, kurang berkualitas, bahkan yang penting ada kemauan. Sebagai contoh: jika paduan suara gerejawi, dari tahun ke tahun menyanyikan lagu yang itu-itu saja, jumlah anggotanya tidak pernah pasti, jadual latihan tidak menentu, bahkan tanpa latihan pun bisa tampil; hal itu dianggap biasa/wajar dalam pelayanan. “Namanya juga pelayanan, sudah baik masih mau tampil”.
Memang, pelayanan yang dilakukan seperti itu tidak salah, sebab Bunda Teresa pun pernah menyatakan bahwa: “Tuhan tidak pernah menuntut kita untuk Sukses, Dia hanya mengharuskan kita Berusaha”. Namun sesungguhnya, pelayanan yang dilakukan seperti itu dapat dianggap sebagai pelayanan yang kurang baik. Oleh sebab itu sebaiknya kita perlu kembali belajar kepada Perjanjian Baru mengenai makna pelayanan yang baik :
Kata yang dipakai dalam Perjanjian Baru untuk menunjuk pada “pelayanan” adalah: diakoneo, douleo, leitourgeo, dan latreuo. Makna tiap kata itu tidak sama. Diakoneo: melayani orang yang lebih rendah dari dirinya; Douleo: menghamba, melayani orang yang lebih tinggi dari dirinya; Leitourgeo: kerja bakti untuk kepentingan orang banyak; sedangkan Latreuo: bekerja untuk mendapatkan latron (upah, gaji, kualitas). Dari ke-4 kata yang biasa dipakai oleh Perjanjian Baru itu, maka dapatlah ditarik kesimpulan bahwa:pelayanan adalah aktifitas yang dilakukan, baik untuk kepentingan sesama maupun untuk kemuliaan Allah, menuju suatu pencapaian yang baik (berkualitas), sehingga harus dilakukan secara profesional (dengan kemampuan dan minat).
-------
Oleh sebab itu jugalah, maka seluruh bagian Alkitab yang sedang kita perbincangkan saat ini sesungguhnya menekankan bahwa: pelayanan itu tak lain adalah ‘karya’ atau ‘kerja’. Sebab ketika ‘kerja’ itu merupakan sebuah upaya “menghidupi diri sendiri” (lih. II Tes. 3:10), maka demikian juga ‘pelayanan’, yakni “menghidupi imannya sendiri”. Oleh karena itu, maka ‘pelayanan’ pun perlu dilakukan dengan ketekunan, sebab seperti halnya manusia hidup butuh makan, kehidupan iman pun butuh makanan yang dihasilkan dari buah-buah pelayanan (agar tetap memperoleh hidup, lih. Lukas 21:19). Dan jika pelayanan yang dilakukan itu bukanlah sebuah karya yang profesional, berkualitas, dan tanpa minat, maka tentu buah-buah yang dihasilkannya pun tidak akan mengenyangkan kehidupan beriman. Oleh sebab itu, maka kinerja dalam pelayanan itu  haruslah sebuah upaya yang profesional, berkualitas, serta penuh tekad dan minat.
Apa yang sedang diwacanakan ini bukanlah bermaksud untuk membedakan, bahwa: pekerjaan itu hanyalah aktifitas yang menyangkut kehidupan profan (duniawi), sedangkan pelayanan itu menyangkut kehidupan iman (sorgawi). Sebab sesungguhnya keduanya, baik pekerjaan maupun pelayanan itu adalah aktifitas yang menyangkut kehidupan profan (duniawi) sekaligus kehidupan iman (sorgawi). Zaman Kerajaan 1000 tahun (zaman akhir) yang sedang terjadi dan kita alami saat ini pada hakekatnya adalah kehidupan duniawi di bawah pemerintahan (kendali) Sang Kristus, sehingga kerja/pelayanan umatNya pun berkenaan dengan seluruh kepentingan, baik sorgawi maupun duniawi. Pelayanan/kerja bagi kepentingan sesama, kepentingan diri sendiri dan bagi kemuliaan Tuhan, semuanya haruslah dilakukan sesuai kehendak Kristus, dan tidak perlu dipertentangkan antara satu dengan yang lain: mana yang sorgawi atau mana yang duniawi. Dengan demikian, maka:
§  Mereka yang menjadi Guru, baiklah mereka mendidik dengan ketekunan dan kinerja yang gigih bagi kebaikan para muridnya sekaligus demi kemuliaan Sang Kristus.
§  Mereka yang menjadi pegawai negeri, baiklah mereka mengabdi dengan ketekunan dan kinerja yang gigih bagi kebaikan masyarakat sekaligus demi kemuliaan Sang Kristus.
§  Mereka yang menjadi dokter, baiklah mereka mengobati dengan ketekunan dan kinerja yang gigih bagi kebaikan lingkungannya sekaligus demi kemuliaan Sang Kristus.

Medan 17 November 2013
Pdt. T.M. Karo-karo, STh,MA
 Khotbah Minggu 17 November 2013
GMI Kasih Karunia, Medan
Nats Alkitab : Lukas 21: 5-19

Bersama Injil Markus (13:1), di bagian ini pun Lukas menggambarkan bahwa bangunan Bait Allah bukanlah sekedar bangunan yang menjadi obyek wisata yang sangat terkenal, karena merupakan bangunan yang sangat besar/megah, sangat indah (super-estetik), dan sangat kokoh/kuat dengan dindingnya yang sangat tebal, namun juga merupakan bangunan yang menjadi simbol negara dan simbol kedekatan hubungan antara umat Yahudi dengan Allah. Bangunan ini adalah simbol Yudaisme –– yang menyangkut seluruh aspek kehidupan Yahudi, mulai aspek sosial, ekonomi, politik, maupun budaya. Kondisi bangsa Yahudi dilukiskan secara nyata oleh keberadaan bangunan ini. Oleh sebab itu, hancurnya gedung Bait Allah juga menyatakan hancurnya Yahudi sebagai bangsa dan negara.
Dan sungguh mengejutkan bila mengenai Bait Allah ini Tuhan Yesus justru berkata: “akan datang harinya di mana tidak ada satu batu pun akan dibiarkan terletak di atas batu yang lain” (ay. 6). Ini memang merupakan nubuatan yang secara harfiah benar-benar terjadi pada th 70, dimana pasukan Romawi di bawah pimpinan Jenderal Titus membumi-hanguskan Yerusalem, termasuk Bait Allah. Namun, sesungguhnya kehancuran Bait Allah yang dimaksudkan Yesus menunjuk pada konsep mengenai akhir zaman. Memang, kebetulan secara fisik Bait Allah benar-benar runtuh pada th 70, tetapi bukan itu maksud perkataan Tuhan di ay. 6 ini. Sebab, di bagian ini Tuhan Yesus sesungguhnya ingin memaparkan suatu pemahaman eskatologis, bahwa: hancurnya Bait Allah adalah simbol yang menunjuk pada hancurnya kedekatan hubungan antara manusia dengan Allahnya. Zaman yang penuh cobaan ini, ditandai dengan: penyesatan (ay. 8); peperangan dan pemberontakan (9-10); gempa bumi, penyakit, kelaparan, teror, dan tanda-tanda surgawi yang besar yang akan mendahului Kedatangan Kedua Kali (ay. 11). Secara rinci tanda-tanda surgawi ini disebut dalam Kitab Wahyu ps. 6-18. Namun hal-hal itu belumlah seberapa, sebab yang paling berpengaruh adalah bahwa: pada zaman ini kehidupan orang beriman akan mengalami ujian yang berat. Berbagai ujian yang akan dialami orang beriman itu dipaparkan Lukas dalam ay. 12, di antaranya: mereka akan dimusuhi di sinagog-sinagog (bnd. Mat. 10:17; Mrk 13:9), ditangkap, dianiaya, dipenjara, dan dihadapkan kepada para penguasa bangsa lain untuk diadili (bnd. Mat 10:18; Mrk 13:9). Semua itu terjadi oleh karena “nama-Ku” –– yakni karena iman mereka kepada Yesus. Di samping itu, di ay. 16-17, mereka juga akan mengalami pengkhianatan dari kerabat dekat dan teman-teman (bdk. Mrk 13:12).
Akan tetapi ujian yang dihadapi oleh orang beriman itu justru merupakan kesempatan bagi mereka untuk dapat “bersaksi” (ay. 13). Dan dalam melakukan “kesaksian”-nya ini mereka tidak perlu khawatir tentang apa yang harus mereka katakan, melainkan hanya bergantung pada janji Yesus yang akan membantu mereka berkata-kata (bdk. Kel. 4:11, 15; Yeh. 29:21) dan kebijaksanaan yang akan mereka butuhkan saat itu (bdk. 12:11-12; Mat. 10:19-20, Mrk 13:11). Ini semua akan mereka terima melalui karya Roh Kudus kepada mereka (Mrk 13:11). Mereka akan menemukan bahwa kesaksian mereka akan menjadi sangat kuat. Ini semua akhirnya memang benar-benar terjadi dalam kehidupan gereja mula-mula (mis., Kis 4:14; 6:10; 8:3; 12:4; 21:11; 22:4, 27:1, 28:17) dan di sepanjang sejarah gereja. Dalam hal ini, Yesus berjanji bahwa Dia akan selalu menjaga mereka agar tetap aman (ay. 18). Ini mungkin berarti bahwa tidak ada bahaya yang akan menimpa mereka tanpa seizin Bapa (ay 16; bnd. Kis 27:34). Beberapa penafsir percaya bahwa  hal ini hanyalah mengacu pada keselamatan rohani, tetapi tidak terhadap keselamatan jasmani.
Hal terpenting di sini (ay. 19) adalah bahwa: dengan ketekunan dalam karya, saat mereka dianiaya, hal itu justru akan melestarikan kehidupan mereka (Yun. ktesesthe tas psychas hymon). Artinya, mereka tidak akan mati sebelum dikehendaki Tuhan (ay 18). Beberapa penafsir percaya bahwa ayat ini bertujuan menyatakan bahwa mereka yang bertahan sampai akhir akan mengalami keselamatan (bnd. Mat 24:13, Mrk 13:13). Mereka yang tetap setia sampai akhir dari masa Kesengsaraan akan masuk ke dalam kerajaan tanpa kematian (bnd. Mat 24:13, Mrk 13:13). Ini berarti bahwa ketekunan dalam karya akan mendatangkan ganjaran kekal (lih. ay. 36; Why 2:10).

Aplikasi

Di kalangan orang Kristen, ada yang beranggapan bahwa pelayanan adalah sesuatu yang dilakukan secara sukarela. Namun, “sukarela” ini kadang dimaknai sebagai ‘sesukanya’ atau se-‘rela’-nya sehingga membuat kualitas pelayanan itu sendiri menjadi berkurang, tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh (kalau sempat), bahkan tidak perlu membutuhkan keterampilan khusus. Definisi pelayanan yang seperti ini seringkali dibedakan dengan definisi mengenai pekerjaan, yakni: sesuatu yang dilakukan, semestinya secara profesional (kemampuan khusus yang dibayar), untuk mencari nafkah, atau mendapatkan suatu hasil. Kalangan seperti ini menganggap bahwa bekerja berbeda dengan melayani, sebab melayani bisa dilakukan oleh siapa saja, termasuk jenis kegiatan yang dapat dilakukan secara serabutan, dan tidak berorientasi pada hasil melainkan pada ketekunan.
Sepintas, idea semacam ini pada kenyataannya memang ada benarnya, bahkan seperti inilah yang berlaku secara umum di banyak gereja. Maka tak mengherankan jika berbagai bentuk pelayanan gerejawi, dalam komisi apapun, seringkali terkesan asal-asalan, kurang berkualitas, bahkan yang penting ada kemauan. Sebagai contoh: jika paduan suara gerejawi, dari tahun ke tahun menyanyikan lagu yang itu-itu saja, jumlah anggotanya tidak pernah pasti, jadual latihan tidak menentu, bahkan tanpa latihan pun bisa tampil; hal itu dianggap biasa/wajar dalam pelayanan. “Namanya juga pelayanan, sudah baik masih mau tampil”.
Memang, pelayanan yang dilakukan seperti itu tidak salah, sebab Bunda Teresa pun pernah menyatakan bahwa: “Tuhan tidak pernah menuntut kita untuk Sukses, Dia hanya mengharuskan kita Berusaha”. Namun sesungguhnya, pelayanan yang dilakukan seperti itu dapat dianggap sebagai pelayanan yang kurang baik. Oleh sebab itu sebaiknya kita perlu kembali belajar kepada Perjanjian Baru mengenai makna pelayanan yang baik :
Kata yang dipakai dalam Perjanjian Baru untuk menunjuk pada “pelayanan” adalah: diakoneo, douleo, leitourgeo, dan latreuo. Makna tiap kata itu tidak sama. Diakoneo: melayani orang yang lebih rendah dari dirinya; Douleo: menghamba, melayani orang yang lebih tinggi dari dirinya; Leitourgeo: kerja bakti untuk kepentingan orang banyak; sedangkan Latreuo: bekerja untuk mendapatkan latron (upah, gaji, kualitas). Dari ke-4 kata yang biasa dipakai oleh Perjanjian Baru itu, maka dapatlah ditarik kesimpulan bahwa:pelayanan adalah aktifitas yang dilakukan, baik untuk kepentingan sesama maupun untuk kemuliaan Allah, menuju suatu pencapaian yang baik (berkualitas), sehingga harus dilakukan secara profesional (dengan kemampuan dan minat).
-------
Oleh sebab itu jugalah, maka seluruh bagian Alkitab yang sedang kita perbincangkan saat ini sesungguhnya menekankan bahwa: pelayanan itu tak lain adalah ‘karya’ atau ‘kerja’. Sebab ketika ‘kerja’ itu merupakan sebuah upaya “menghidupi diri sendiri” (lih. II Tes. 3:10), maka demikian juga ‘pelayanan’, yakni “menghidupi imannya sendiri”. Oleh karena itu, maka ‘pelayanan’ pun perlu dilakukan dengan ketekunan, sebab seperti halnya manusia hidup butuh makan, kehidupan iman pun butuh makanan yang dihasilkan dari buah-buah pelayanan (agar tetap memperoleh hidup, lih. Lukas 21:19). Dan jika pelayanan yang dilakukan itu bukanlah sebuah karya yang profesional, berkualitas, dan tanpa minat, maka tentu buah-buah yang dihasilkannya pun tidak akan mengenyangkan kehidupan beriman. Oleh sebab itu, maka kinerja dalam pelayanan itu  haruslah sebuah upaya yang profesional, berkualitas, serta penuh tekad dan minat.
Apa yang sedang diwacanakan ini bukanlah bermaksud untuk membedakan, bahwa: pekerjaan itu hanyalah aktifitas yang menyangkut kehidupan profan (duniawi), sedangkan pelayanan itu menyangkut kehidupan iman (sorgawi). Sebab sesungguhnya keduanya, baik pekerjaan maupun pelayanan itu adalah aktifitas yang menyangkut kehidupan profan (duniawi) sekaligus kehidupan iman (sorgawi). Zaman Kerajaan 1000 tahun (zaman akhir) yang sedang terjadi dan kita alami saat ini pada hakekatnya adalah kehidupan duniawi di bawah pemerintahan (kendali) Sang Kristus, sehingga kerja/pelayanan umatNya pun berkenaan dengan seluruh kepentingan, baik sorgawi maupun duniawi. Pelayanan/kerja bagi kepentingan sesama, kepentingan diri sendiri dan bagi kemuliaan Tuhan, semuanya haruslah dilakukan sesuai kehendak Kristus, dan tidak perlu dipertentangkan antara satu dengan yang lain: mana yang sorgawi atau mana yang duniawi. Dengan demikian, maka:
§  Mereka yang menjadi Guru, baiklah mereka mendidik dengan ketekunan dan kinerja yang gigih bagi kebaikan para muridnya sekaligus demi kemuliaan Sang Kristus.
§  Mereka yang menjadi pegawai negeri, baiklah mereka mengabdi dengan ketekunan dan kinerja yang gigih bagi kebaikan masyarakat sekaligus demi kemuliaan Sang Kristus.
§  Mereka yang menjadi dokter, baiklah mereka mengobati dengan ketekunan dan kinerja yang gigih bagi kebaikan lingkungannya sekaligus demi kemuliaan Sang Kristus.

Medan 17 November 2013
Pdt. T.M. Karo-karo, STh,MA
 Khotbah Minggu 17 November 2013
GMI Kasih Karunia, Medan
Nats Alkitab : Lukas 21: 5-19

Bersama Injil Markus (13:1), di bagian ini pun Lukas menggambarkan bahwa bangunan Bait Allah bukanlah sekedar bangunan yang menjadi obyek wisata yang sangat terkenal, karena merupakan bangunan yang sangat besar/megah, sangat indah (super-estetik), dan sangat kokoh/kuat dengan dindingnya yang sangat tebal, namun juga merupakan bangunan yang menjadi simbol negara dan simbol kedekatan hubungan antara umat Yahudi dengan Allah. Bangunan ini adalah simbol Yudaisme –– yang menyangkut seluruh aspek kehidupan Yahudi, mulai aspek sosial, ekonomi, politik, maupun budaya. Kondisi bangsa Yahudi dilukiskan secara nyata oleh keberadaan bangunan ini. Oleh sebab itu, hancurnya gedung Bait Allah juga menyatakan hancurnya Yahudi sebagai bangsa dan negara.
Dan sungguh mengejutkan bila mengenai Bait Allah ini Tuhan Yesus justru berkata: “akan datang harinya di mana tidak ada satu batu pun akan dibiarkan terletak di atas batu yang lain” (ay. 6). Ini memang merupakan nubuatan yang secara harfiah benar-benar terjadi pada th 70, dimana pasukan Romawi di bawah pimpinan Jenderal Titus membumi-hanguskan Yerusalem, termasuk Bait Allah. Namun, sesungguhnya kehancuran Bait Allah yang dimaksudkan Yesus menunjuk pada konsep mengenai akhir zaman. Memang, kebetulan secara fisik Bait Allah benar-benar runtuh pada th 70, tetapi bukan itu maksud perkataan Tuhan di ay. 6 ini. Sebab, di bagian ini Tuhan Yesus sesungguhnya ingin memaparkan suatu pemahaman eskatologis, bahwa: hancurnya Bait Allah adalah simbol yang menunjuk pada hancurnya kedekatan hubungan antara manusia dengan Allahnya. Zaman yang penuh cobaan ini, ditandai dengan: penyesatan (ay. 8); peperangan dan pemberontakan (9-10); gempa bumi, penyakit, kelaparan, teror, dan tanda-tanda surgawi yang besar yang akan mendahului Kedatangan Kedua Kali (ay. 11). Secara rinci tanda-tanda surgawi ini disebut dalam Kitab Wahyu ps. 6-18. Namun hal-hal itu belumlah seberapa, sebab yang paling berpengaruh adalah bahwa: pada zaman ini kehidupan orang beriman akan mengalami ujian yang berat. Berbagai ujian yang akan dialami orang beriman itu dipaparkan Lukas dalam ay. 12, di antaranya: mereka akan dimusuhi di sinagog-sinagog (bnd. Mat. 10:17; Mrk 13:9), ditangkap, dianiaya, dipenjara, dan dihadapkan kepada para penguasa bangsa lain untuk diadili (bnd. Mat 10:18; Mrk 13:9). Semua itu terjadi oleh karena “nama-Ku” –– yakni karena iman mereka kepada Yesus. Di samping itu, di ay. 16-17, mereka juga akan mengalami pengkhianatan dari kerabat dekat dan teman-teman (bdk. Mrk 13:12).
Akan tetapi ujian yang dihadapi oleh orang beriman itu justru merupakan kesempatan bagi mereka untuk dapat “bersaksi” (ay. 13). Dan dalam melakukan “kesaksian”-nya ini mereka tidak perlu khawatir tentang apa yang harus mereka katakan, melainkan hanya bergantung pada janji Yesus yang akan membantu mereka berkata-kata (bdk. Kel. 4:11, 15; Yeh. 29:21) dan kebijaksanaan yang akan mereka butuhkan saat itu (bdk. 12:11-12; Mat. 10:19-20, Mrk 13:11). Ini semua akan mereka terima melalui karya Roh Kudus kepada mereka (Mrk 13:11). Mereka akan menemukan bahwa kesaksian mereka akan menjadi sangat kuat. Ini semua akhirnya memang benar-benar terjadi dalam kehidupan gereja mula-mula (mis., Kis 4:14; 6:10; 8:3; 12:4; 21:11; 22:4, 27:1, 28:17) dan di sepanjang sejarah gereja. Dalam hal ini, Yesus berjanji bahwa Dia akan selalu menjaga mereka agar tetap aman (ay. 18). Ini mungkin berarti bahwa tidak ada bahaya yang akan menimpa mereka tanpa seizin Bapa (ay 16; bnd. Kis 27:34). Beberapa penafsir percaya bahwa  hal ini hanyalah mengacu pada keselamatan rohani, tetapi tidak terhadap keselamatan jasmani.
Hal terpenting di sini (ay. 19) adalah bahwa: dengan ketekunan dalam karya, saat mereka dianiaya, hal itu justru akan melestarikan kehidupan mereka (Yun. ktesesthe tas psychas hymon). Artinya, mereka tidak akan mati sebelum dikehendaki Tuhan (ay 18). Beberapa penafsir percaya bahwa ayat ini bertujuan menyatakan bahwa mereka yang bertahan sampai akhir akan mengalami keselamatan (bnd. Mat 24:13, Mrk 13:13). Mereka yang tetap setia sampai akhir dari masa Kesengsaraan akan masuk ke dalam kerajaan tanpa kematian (bnd. Mat 24:13, Mrk 13:13). Ini berarti bahwa ketekunan dalam karya akan mendatangkan ganjaran kekal (lih. ay. 36; Why 2:10).

Aplikasi

Di kalangan orang Kristen, ada yang beranggapan bahwa pelayanan adalah sesuatu yang dilakukan secara sukarela. Namun, “sukarela” ini kadang dimaknai sebagai ‘sesukanya’ atau se-‘rela’-nya sehingga membuat kualitas pelayanan itu sendiri menjadi berkurang, tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh (kalau sempat), bahkan tidak perlu membutuhkan keterampilan khusus. Definisi pelayanan yang seperti ini seringkali dibedakan dengan definisi mengenai pekerjaan, yakni: sesuatu yang dilakukan, semestinya secara profesional (kemampuan khusus yang dibayar), untuk mencari nafkah, atau mendapatkan suatu hasil. Kalangan seperti ini menganggap bahwa bekerja berbeda dengan melayani, sebab melayani bisa dilakukan oleh siapa saja, termasuk jenis kegiatan yang dapat dilakukan secara serabutan, dan tidak berorientasi pada hasil melainkan pada ketekunan.
Sepintas, idea semacam ini pada kenyataannya memang ada benarnya, bahkan seperti inilah yang berlaku secara umum di banyak gereja. Maka tak mengherankan jika berbagai bentuk pelayanan gerejawi, dalam komisi apapun, seringkali terkesan asal-asalan, kurang berkualitas, bahkan yang penting ada kemauan. Sebagai contoh: jika paduan suara gerejawi, dari tahun ke tahun menyanyikan lagu yang itu-itu saja, jumlah anggotanya tidak pernah pasti, jadual latihan tidak menentu, bahkan tanpa latihan pun bisa tampil; hal itu dianggap biasa/wajar dalam pelayanan. “Namanya juga pelayanan, sudah baik masih mau tampil”.
Memang, pelayanan yang dilakukan seperti itu tidak salah, sebab Bunda Teresa pun pernah menyatakan bahwa: “Tuhan tidak pernah menuntut kita untuk Sukses, Dia hanya mengharuskan kita Berusaha”. Namun sesungguhnya, pelayanan yang dilakukan seperti itu dapat dianggap sebagai pelayanan yang kurang baik. Oleh sebab itu sebaiknya kita perlu kembali belajar kepada Perjanjian Baru mengenai makna pelayanan yang baik :
Kata yang dipakai dalam Perjanjian Baru untuk menunjuk pada “pelayanan” adalah: diakoneo, douleo, leitourgeo, dan latreuo. Makna tiap kata itu tidak sama. Diakoneo: melayani orang yang lebih rendah dari dirinya; Douleo: menghamba, melayani orang yang lebih tinggi dari dirinya; Leitourgeo: kerja bakti untuk kepentingan orang banyak; sedangkan Latreuo: bekerja untuk mendapatkan latron (upah, gaji, kualitas). Dari ke-4 kata yang biasa dipakai oleh Perjanjian Baru itu, maka dapatlah ditarik kesimpulan bahwa:pelayanan adalah aktifitas yang dilakukan, baik untuk kepentingan sesama maupun untuk kemuliaan Allah, menuju suatu pencapaian yang baik (berkualitas), sehingga harus dilakukan secara profesional (dengan kemampuan dan minat).
-------
Oleh sebab itu jugalah, maka seluruh bagian Alkitab yang sedang kita perbincangkan saat ini sesungguhnya menekankan bahwa: pelayanan itu tak lain adalah ‘karya’ atau ‘kerja’. Sebab ketika ‘kerja’ itu merupakan sebuah upaya “menghidupi diri sendiri” (lih. II Tes. 3:10), maka demikian juga ‘pelayanan’, yakni “menghidupi imannya sendiri”. Oleh karena itu, maka ‘pelayanan’ pun perlu dilakukan dengan ketekunan, sebab seperti halnya manusia hidup butuh makan, kehidupan iman pun butuh makanan yang dihasilkan dari buah-buah pelayanan (agar tetap memperoleh hidup, lih. Lukas 21:19). Dan jika pelayanan yang dilakukan itu bukanlah sebuah karya yang profesional, berkualitas, dan tanpa minat, maka tentu buah-buah yang dihasilkannya pun tidak akan mengenyangkan kehidupan beriman. Oleh sebab itu, maka kinerja dalam pelayanan itu  haruslah sebuah upaya yang profesional, berkualitas, serta penuh tekad dan minat.
Apa yang sedang diwacanakan ini bukanlah bermaksud untuk membedakan, bahwa: pekerjaan itu hanyalah aktifitas yang menyangkut kehidupan profan (duniawi), sedangkan pelayanan itu menyangkut kehidupan iman (sorgawi). Sebab sesungguhnya keduanya, baik pekerjaan maupun pelayanan itu adalah aktifitas yang menyangkut kehidupan profan (duniawi) sekaligus kehidupan iman (sorgawi). Zaman Kerajaan 1000 tahun (zaman akhir) yang sedang terjadi dan kita alami saat ini pada hakekatnya adalah kehidupan duniawi di bawah pemerintahan (kendali) Sang Kristus, sehingga kerja/pelayanan umatNya pun berkenaan dengan seluruh kepentingan, baik sorgawi maupun duniawi. Pelayanan/kerja bagi kepentingan sesama, kepentingan diri sendiri dan bagi kemuliaan Tuhan, semuanya haruslah dilakukan sesuai kehendak Kristus, dan tidak perlu dipertentangkan antara satu dengan yang lain: mana yang sorgawi atau mana yang duniawi. Dengan demikian, maka:
§  Mereka yang menjadi Guru, baiklah mereka mendidik dengan ketekunan dan kinerja yang gigih bagi kebaikan para muridnya sekaligus demi kemuliaan Sang Kristus.
§  Mereka yang menjadi pegawai negeri, baiklah mereka mengabdi dengan ketekunan dan kinerja yang gigih bagi kebaikan masyarakat sekaligus demi kemuliaan Sang Kristus.
§  Mereka yang menjadi dokter, baiklah mereka mengobati dengan ketekunan dan kinerja yang gigih bagi kebaikan lingkungannya sekaligus demi kemuliaan Sang Kristus.

Medan 17 November 2013
Pdt. T.M. Karo-karo, STh,MA
 Khotbah Minggu 17 November 2013
GMI Kasih Karunia, Medan
Nats Alkitab : Lukas 21: 5-19

Bersama Injil Markus (13:1), di bagian ini pun Lukas menggambarkan bahwa bangunan Bait Allah bukanlah sekedar bangunan yang menjadi obyek wisata yang sangat terkenal, karena merupakan bangunan yang sangat besar/megah, sangat indah (super-estetik), dan sangat kokoh/kuat dengan dindingnya yang sangat tebal, namun juga merupakan bangunan yang menjadi simbol negara dan simbol kedekatan hubungan antara umat Yahudi dengan Allah. Bangunan ini adalah simbol Yudaisme –– yang menyangkut seluruh aspek kehidupan Yahudi, mulai aspek sosial, ekonomi, politik, maupun budaya. Kondisi bangsa Yahudi dilukiskan secara nyata oleh keberadaan bangunan ini. Oleh sebab itu, hancurnya gedung Bait Allah juga menyatakan hancurnya Yahudi sebagai bangsa dan negara.
Dan sungguh mengejutkan bila mengenai Bait Allah ini Tuhan Yesus justru berkata: “akan datang harinya di mana tidak ada satu batu pun akan dibiarkan terletak di atas batu yang lain” (ay. 6). Ini memang merupakan nubuatan yang secara harfiah benar-benar terjadi pada th 70, dimana pasukan Romawi di bawah pimpinan Jenderal Titus membumi-hanguskan Yerusalem, termasuk Bait Allah. Namun, sesungguhnya kehancuran Bait Allah yang dimaksudkan Yesus menunjuk pada konsep mengenai akhir zaman. Memang, kebetulan secara fisik Bait Allah benar-benar runtuh pada th 70, tetapi bukan itu maksud perkataan Tuhan di ay. 6 ini. Sebab, di bagian ini Tuhan Yesus sesungguhnya ingin memaparkan suatu pemahaman eskatologis, bahwa: hancurnya Bait Allah adalah simbol yang menunjuk pada hancurnya kedekatan hubungan antara manusia dengan Allahnya. Zaman yang penuh cobaan ini, ditandai dengan: penyesatan (ay. 8); peperangan dan pemberontakan (9-10); gempa bumi, penyakit, kelaparan, teror, dan tanda-tanda surgawi yang besar yang akan mendahului Kedatangan Kedua Kali (ay. 11). Secara rinci tanda-tanda surgawi ini disebut dalam Kitab Wahyu ps. 6-18. Namun hal-hal itu belumlah seberapa, sebab yang paling berpengaruh adalah bahwa: pada zaman ini kehidupan orang beriman akan mengalami ujian yang berat. Berbagai ujian yang akan dialami orang beriman itu dipaparkan Lukas dalam ay. 12, di antaranya: mereka akan dimusuhi di sinagog-sinagog (bnd. Mat. 10:17; Mrk 13:9), ditangkap, dianiaya, dipenjara, dan dihadapkan kepada para penguasa bangsa lain untuk diadili (bnd. Mat 10:18; Mrk 13:9). Semua itu terjadi oleh karena “nama-Ku” –– yakni karena iman mereka kepada Yesus. Di samping itu, di ay. 16-17, mereka juga akan mengalami pengkhianatan dari kerabat dekat dan teman-teman (bdk. Mrk 13:12).
Akan tetapi ujian yang dihadapi oleh orang beriman itu justru merupakan kesempatan bagi mereka untuk dapat “bersaksi” (ay. 13). Dan dalam melakukan “kesaksian”-nya ini mereka tidak perlu khawatir tentang apa yang harus mereka katakan, melainkan hanya bergantung pada janji Yesus yang akan membantu mereka berkata-kata (bdk. Kel. 4:11, 15; Yeh. 29:21) dan kebijaksanaan yang akan mereka butuhkan saat itu (bdk. 12:11-12; Mat. 10:19-20, Mrk 13:11). Ini semua akan mereka terima melalui karya Roh Kudus kepada mereka (Mrk 13:11). Mereka akan menemukan bahwa kesaksian mereka akan menjadi sangat kuat. Ini semua akhirnya memang benar-benar terjadi dalam kehidupan gereja mula-mula (mis., Kis 4:14; 6:10; 8:3; 12:4; 21:11; 22:4, 27:1, 28:17) dan di sepanjang sejarah gereja. Dalam hal ini, Yesus berjanji bahwa Dia akan selalu menjaga mereka agar tetap aman (ay. 18). Ini mungkin berarti bahwa tidak ada bahaya yang akan menimpa mereka tanpa seizin Bapa (ay 16; bnd. Kis 27:34). Beberapa penafsir percaya bahwa  hal ini hanyalah mengacu pada keselamatan rohani, tetapi tidak terhadap keselamatan jasmani.
Hal terpenting di sini (ay. 19) adalah bahwa: dengan ketekunan dalam karya, saat mereka dianiaya, hal itu justru akan melestarikan kehidupan mereka (Yun. ktesesthe tas psychas hymon). Artinya, mereka tidak akan mati sebelum dikehendaki Tuhan (ay 18). Beberapa penafsir percaya bahwa ayat ini bertujuan menyatakan bahwa mereka yang bertahan sampai akhir akan mengalami keselamatan (bnd. Mat 24:13, Mrk 13:13). Mereka yang tetap setia sampai akhir dari masa Kesengsaraan akan masuk ke dalam kerajaan tanpa kematian (bnd. Mat 24:13, Mrk 13:13). Ini berarti bahwa ketekunan dalam karya akan mendatangkan ganjaran kekal (lih. ay. 36; Why 2:10).

Aplikasi

Di kalangan orang Kristen, ada yang beranggapan bahwa pelayanan adalah sesuatu yang dilakukan secara sukarela. Namun, “sukarela” ini kadang dimaknai sebagai ‘sesukanya’ atau se-‘rela’-nya sehingga membuat kualitas pelayanan itu sendiri menjadi berkurang, tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh (kalau sempat), bahkan tidak perlu membutuhkan keterampilan khusus. Definisi pelayanan yang seperti ini seringkali dibedakan dengan definisi mengenai pekerjaan, yakni: sesuatu yang dilakukan, semestinya secara profesional (kemampuan khusus yang dibayar), untuk mencari nafkah, atau mendapatkan suatu hasil. Kalangan seperti ini menganggap bahwa bekerja berbeda dengan melayani, sebab melayani bisa dilakukan oleh siapa saja, termasuk jenis kegiatan yang dapat dilakukan secara serabutan, dan tidak berorientasi pada hasil melainkan pada ketekunan.
Sepintas, idea semacam ini pada kenyataannya memang ada benarnya, bahkan seperti inilah yang berlaku secara umum di banyak gereja. Maka tak mengherankan jika berbagai bentuk pelayanan gerejawi, dalam komisi apapun, seringkali terkesan asal-asalan, kurang berkualitas, bahkan yang penting ada kemauan. Sebagai contoh: jika paduan suara gerejawi, dari tahun ke tahun menyanyikan lagu yang itu-itu saja, jumlah anggotanya tidak pernah pasti, jadual latihan tidak menentu, bahkan tanpa latihan pun bisa tampil; hal itu dianggap biasa/wajar dalam pelayanan. “Namanya juga pelayanan, sudah baik masih mau tampil”.
Memang, pelayanan yang dilakukan seperti itu tidak salah, sebab Bunda Teresa pun pernah menyatakan bahwa: “Tuhan tidak pernah menuntut kita untuk Sukses, Dia hanya mengharuskan kita Berusaha”. Namun sesungguhnya, pelayanan yang dilakukan seperti itu dapat dianggap sebagai pelayanan yang kurang baik. Oleh sebab itu sebaiknya kita perlu kembali belajar kepada Perjanjian Baru mengenai makna pelayanan yang baik :
Kata yang dipakai dalam Perjanjian Baru untuk menunjuk pada “pelayanan” adalah: diakoneo, douleo, leitourgeo, dan latreuo. Makna tiap kata itu tidak sama. Diakoneo: melayani orang yang lebih rendah dari dirinya; Douleo: menghamba, melayani orang yang lebih tinggi dari dirinya; Leitourgeo: kerja bakti untuk kepentingan orang banyak; sedangkan Latreuo: bekerja untuk mendapatkan latron (upah, gaji, kualitas). Dari ke-4 kata yang biasa dipakai oleh Perjanjian Baru itu, maka dapatlah ditarik kesimpulan bahwa:pelayanan adalah aktifitas yang dilakukan, baik untuk kepentingan sesama maupun untuk kemuliaan Allah, menuju suatu pencapaian yang baik (berkualitas), sehingga harus dilakukan secara profesional (dengan kemampuan dan minat).
-------
Oleh sebab itu jugalah, maka seluruh bagian Alkitab yang sedang kita perbincangkan saat ini sesungguhnya menekankan bahwa: pelayanan itu tak lain adalah ‘karya’ atau ‘kerja’. Sebab ketika ‘kerja’ itu merupakan sebuah upaya “menghidupi diri sendiri” (lih. II Tes. 3:10), maka demikian juga ‘pelayanan’, yakni “menghidupi imannya sendiri”. Oleh karena itu, maka ‘pelayanan’ pun perlu dilakukan dengan ketekunan, sebab seperti halnya manusia hidup butuh makan, kehidupan iman pun butuh makanan yang dihasilkan dari buah-buah pelayanan (agar tetap memperoleh hidup, lih. Lukas 21:19). Dan jika pelayanan yang dilakukan itu bukanlah sebuah karya yang profesional, berkualitas, dan tanpa minat, maka tentu buah-buah yang dihasilkannya pun tidak akan mengenyangkan kehidupan beriman. Oleh sebab itu, maka kinerja dalam pelayanan itu  haruslah sebuah upaya yang profesional, berkualitas, serta penuh tekad dan minat.
Apa yang sedang diwacanakan ini bukanlah bermaksud untuk membedakan, bahwa: pekerjaan itu hanyalah aktifitas yang menyangkut kehidupan profan (duniawi), sedangkan pelayanan itu menyangkut kehidupan iman (sorgawi). Sebab sesungguhnya keduanya, baik pekerjaan maupun pelayanan itu adalah aktifitas yang menyangkut kehidupan profan (duniawi) sekaligus kehidupan iman (sorgawi). Zaman Kerajaan 1000 tahun (zaman akhir) yang sedang terjadi dan kita alami saat ini pada hakekatnya adalah kehidupan duniawi di bawah pemerintahan (kendali) Sang Kristus, sehingga kerja/pelayanan umatNya pun berkenaan dengan seluruh kepentingan, baik sorgawi maupun duniawi. Pelayanan/kerja bagi kepentingan sesama, kepentingan diri sendiri dan bagi kemuliaan Tuhan, semuanya haruslah dilakukan sesuai kehendak Kristus, dan tidak perlu dipertentangkan antara satu dengan yang lain: mana yang sorgawi atau mana yang duniawi. Dengan demikian, maka:
§  Mereka yang menjadi Guru, baiklah mereka mendidik dengan ketekunan dan kinerja yang gigih bagi kebaikan para muridnya sekaligus demi kemuliaan Sang Kristus.
§  Mereka yang menjadi pegawai negeri, baiklah mereka mengabdi dengan ketekunan dan kinerja yang gigih bagi kebaikan masyarakat sekaligus demi kemuliaan Sang Kristus.
§  Mereka yang menjadi dokter, baiklah mereka mengobati dengan ketekunan dan kinerja yang gigih bagi kebaikan lingkungannya sekaligus demi kemuliaan Sang Kristus.

Medan 17 November 2013
Pdt. T.M. Karo-karo, STh,MA
 Khotbah Minggu 17 November 2013
GMI Kasih Karunia, Medan
Nats Alkitab : Lukas 21: 5-19

Bersama Injil Markus (13:1), di bagian ini pun Lukas menggambarkan bahwa bangunan Bait Allah bukanlah sekedar bangunan yang menjadi obyek wisata yang sangat terkenal, karena merupakan bangunan yang sangat besar/megah, sangat indah (super-estetik), dan sangat kokoh/kuat dengan dindingnya yang sangat tebal, namun juga merupakan bangunan yang menjadi simbol negara dan simbol kedekatan hubungan antara umat Yahudi dengan Allah. Bangunan ini adalah simbol Yudaisme –– yang menyangkut seluruh aspek kehidupan Yahudi, mulai aspek sosial, ekonomi, politik, maupun budaya. Kondisi bangsa Yahudi dilukiskan secara nyata oleh keberadaan bangunan ini. Oleh sebab itu, hancurnya gedung Bait Allah juga menyatakan hancurnya Yahudi sebagai bangsa dan negara.
Dan sungguh mengejutkan bila mengenai Bait Allah ini Tuhan Yesus justru berkata: “akan datang harinya di mana tidak ada satu batu pun akan dibiarkan terletak di atas batu yang lain” (ay. 6). Ini memang merupakan nubuatan yang secara harfiah benar-benar terjadi pada th 70, dimana pasukan Romawi di bawah pimpinan Jenderal Titus membumi-hanguskan Yerusalem, termasuk Bait Allah. Namun, sesungguhnya kehancuran Bait Allah yang dimaksudkan Yesus menunjuk pada konsep mengenai akhir zaman. Memang, kebetulan secara fisik Bait Allah benar-benar runtuh pada th 70, tetapi bukan itu maksud perkataan Tuhan di ay. 6 ini. Sebab, di bagian ini Tuhan Yesus sesungguhnya ingin memaparkan suatu pemahaman eskatologis, bahwa: hancurnya Bait Allah adalah simbol yang menunjuk pada hancurnya kedekatan hubungan antara manusia dengan Allahnya. Zaman yang penuh cobaan ini, ditandai dengan: penyesatan (ay. 8); peperangan dan pemberontakan (9-10); gempa bumi, penyakit, kelaparan, teror, dan tanda-tanda surgawi yang besar yang akan mendahului Kedatangan Kedua Kali (ay. 11). Secara rinci tanda-tanda surgawi ini disebut dalam Kitab Wahyu ps. 6-18. Namun hal-hal itu belumlah seberapa, sebab yang paling berpengaruh adalah bahwa: pada zaman ini kehidupan orang beriman akan mengalami ujian yang berat. Berbagai ujian yang akan dialami orang beriman itu dipaparkan Lukas dalam ay. 12, di antaranya: mereka akan dimusuhi di sinagog-sinagog (bnd. Mat. 10:17; Mrk 13:9), ditangkap, dianiaya, dipenjara, dan dihadapkan kepada para penguasa bangsa lain untuk diadili (bnd. Mat 10:18; Mrk 13:9). Semua itu terjadi oleh karena “nama-Ku” –– yakni karena iman mereka kepada Yesus. Di samping itu, di ay. 16-17, mereka juga akan mengalami pengkhianatan dari kerabat dekat dan teman-teman (bdk. Mrk 13:12).
Akan tetapi ujian yang dihadapi oleh orang beriman itu justru merupakan kesempatan bagi mereka untuk dapat “bersaksi” (ay. 13). Dan dalam melakukan “kesaksian”-nya ini mereka tidak perlu khawatir tentang apa yang harus mereka katakan, melainkan hanya bergantung pada janji Yesus yang akan membantu mereka berkata-kata (bdk. Kel. 4:11, 15; Yeh. 29:21) dan kebijaksanaan yang akan mereka butuhkan saat itu (bdk. 12:11-12; Mat. 10:19-20, Mrk 13:11). Ini semua akan mereka terima melalui karya Roh Kudus kepada mereka (Mrk 13:11). Mereka akan menemukan bahwa kesaksian mereka akan menjadi sangat kuat. Ini semua akhirnya memang benar-benar terjadi dalam kehidupan gereja mula-mula (mis., Kis 4:14; 6:10; 8:3; 12:4; 21:11; 22:4, 27:1, 28:17) dan di sepanjang sejarah gereja. Dalam hal ini, Yesus berjanji bahwa Dia akan selalu menjaga mereka agar tetap aman (ay. 18). Ini mungkin berarti bahwa tidak ada bahaya yang akan menimpa mereka tanpa seizin Bapa (ay 16; bnd. Kis 27:34). Beberapa penafsir percaya bahwa  hal ini hanyalah mengacu pada keselamatan rohani, tetapi tidak terhadap keselamatan jasmani.
Hal terpenting di sini (ay. 19) adalah bahwa: dengan ketekunan dalam karya, saat mereka dianiaya, hal itu justru akan melestarikan kehidupan mereka (Yun. ktesesthe tas psychas hymon). Artinya, mereka tidak akan mati sebelum dikehendaki Tuhan (ay 18). Beberapa penafsir percaya bahwa ayat ini bertujuan menyatakan bahwa mereka yang bertahan sampai akhir akan mengalami keselamatan (bnd. Mat 24:13, Mrk 13:13). Mereka yang tetap setia sampai akhir dari masa Kesengsaraan akan masuk ke dalam kerajaan tanpa kematian (bnd. Mat 24:13, Mrk 13:13). Ini berarti bahwa ketekunan dalam karya akan mendatangkan ganjaran kekal (lih. ay. 36; Why 2:10).

Aplikasi

Di kalangan orang Kristen, ada yang beranggapan bahwa pelayanan adalah sesuatu yang dilakukan secara sukarela. Namun, “sukarela” ini kadang dimaknai sebagai ‘sesukanya’ atau se-‘rela’-nya sehingga membuat kualitas pelayanan itu sendiri menjadi berkurang, tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh (kalau sempat), bahkan tidak perlu membutuhkan keterampilan khusus. Definisi pelayanan yang seperti ini seringkali dibedakan dengan definisi mengenai pekerjaan, yakni: sesuatu yang dilakukan, semestinya secara profesional (kemampuan khusus yang dibayar), untuk mencari nafkah, atau mendapatkan suatu hasil. Kalangan seperti ini menganggap bahwa bekerja berbeda dengan melayani, sebab melayani bisa dilakukan oleh siapa saja, termasuk jenis kegiatan yang dapat dilakukan secara serabutan, dan tidak berorientasi pada hasil melainkan pada ketekunan.
Sepintas, idea semacam ini pada kenyataannya memang ada benarnya, bahkan seperti inilah yang berlaku secara umum di banyak gereja. Maka tak mengherankan jika berbagai bentuk pelayanan gerejawi, dalam komisi apapun, seringkali terkesan asal-asalan, kurang berkualitas, bahkan yang penting ada kemauan. Sebagai contoh: jika paduan suara gerejawi, dari tahun ke tahun menyanyikan lagu yang itu-itu saja, jumlah anggotanya tidak pernah pasti, jadual latihan tidak menentu, bahkan tanpa latihan pun bisa tampil; hal itu dianggap biasa/wajar dalam pelayanan. “Namanya juga pelayanan, sudah baik masih mau tampil”.
Memang, pelayanan yang dilakukan seperti itu tidak salah, sebab Bunda Teresa pun pernah menyatakan bahwa: “Tuhan tidak pernah menuntut kita untuk Sukses, Dia hanya mengharuskan kita Berusaha”. Namun sesungguhnya, pelayanan yang dilakukan seperti itu dapat dianggap sebagai pelayanan yang kurang baik. Oleh sebab itu sebaiknya kita perlu kembali belajar kepada Perjanjian Baru mengenai makna pelayanan yang baik :
Kata yang dipakai dalam Perjanjian Baru untuk menunjuk pada “pelayanan” adalah: diakoneo, douleo, leitourgeo, dan latreuo. Makna tiap kata itu tidak sama. Diakoneo: melayani orang yang lebih rendah dari dirinya; Douleo: menghamba, melayani orang yang lebih tinggi dari dirinya; Leitourgeo: kerja bakti untuk kepentingan orang banyak; sedangkan Latreuo: bekerja untuk mendapatkan latron (upah, gaji, kualitas). Dari ke-4 kata yang biasa dipakai oleh Perjanjian Baru itu, maka dapatlah ditarik kesimpulan bahwa:pelayanan adalah aktifitas yang dilakukan, baik untuk kepentingan sesama maupun untuk kemuliaan Allah, menuju suatu pencapaian yang baik (berkualitas), sehingga harus dilakukan secara profesional (dengan kemampuan dan minat).
-------
Oleh sebab itu jugalah, maka seluruh bagian Alkitab yang sedang kita perbincangkan saat ini sesungguhnya menekankan bahwa: pelayanan itu tak lain adalah ‘karya’ atau ‘kerja’. Sebab ketika ‘kerja’ itu merupakan sebuah upaya “menghidupi diri sendiri” (lih. II Tes. 3:10), maka demikian juga ‘pelayanan’, yakni “menghidupi imannya sendiri”. Oleh karena itu, maka ‘pelayanan’ pun perlu dilakukan dengan ketekunan, sebab seperti halnya manusia hidup butuh makan, kehidupan iman pun butuh makanan yang dihasilkan dari buah-buah pelayanan (agar tetap memperoleh hidup, lih. Lukas 21:19). Dan jika pelayanan yang dilakukan itu bukanlah sebuah karya yang profesional, berkualitas, dan tanpa minat, maka tentu buah-buah yang dihasilkannya pun tidak akan mengenyangkan kehidupan beriman. Oleh sebab itu, maka kinerja dalam pelayanan itu  haruslah sebuah upaya yang profesional, berkualitas, serta penuh tekad dan minat.
Apa yang sedang diwacanakan ini bukanlah bermaksud untuk membedakan, bahwa: pekerjaan itu hanyalah aktifitas yang menyangkut kehidupan profan (duniawi), sedangkan pelayanan itu menyangkut kehidupan iman (sorgawi). Sebab sesungguhnya keduanya, baik pekerjaan maupun pelayanan itu adalah aktifitas yang menyangkut kehidupan profan (duniawi) sekaligus kehidupan iman (sorgawi). Zaman Kerajaan 1000 tahun (zaman akhir) yang sedang terjadi dan kita alami saat ini pada hakekatnya adalah kehidupan duniawi di bawah pemerintahan (kendali) Sang Kristus, sehingga kerja/pelayanan umatNya pun berkenaan dengan seluruh kepentingan, baik sorgawi maupun duniawi. Pelayanan/kerja bagi kepentingan sesama, kepentingan diri sendiri dan bagi kemuliaan Tuhan, semuanya haruslah dilakukan sesuai kehendak Kristus, dan tidak perlu dipertentangkan antara satu dengan yang lain: mana yang sorgawi atau mana yang duniawi. Dengan demikian, maka:
§  Mereka yang menjadi Guru, baiklah mereka mendidik dengan ketekunan dan kinerja yang gigih bagi kebaikan para muridnya sekaligus demi kemuliaan Sang Kristus.
§  Mereka yang menjadi pegawai negeri, baiklah mereka mengabdi dengan ketekunan dan kinerja yang gigih bagi kebaikan masyarakat sekaligus demi kemuliaan Sang Kristus.
§  Mereka yang menjadi dokter, baiklah mereka mengobati dengan ketekunan dan kinerja yang gigih bagi kebaikan lingkungannya sekaligus demi kemuliaan Sang Kristus.

Medan 17 November 2013
Pdt. T.M. Karo-karo, STh,MA
 Khotbah Minggu 17 November 2013
GMI Kasih Karunia, Medan
Nats Alkitab : Lukas 21: 5-19

Bersama Injil Markus (13:1), di bagian ini pun Lukas menggambarkan bahwa bangunan Bait Allah bukanlah sekedar bangunan yang menjadi obyek wisata yang sangat terkenal, karena merupakan bangunan yang sangat besar/megah, sangat indah (super-estetik), dan sangat kokoh/kuat dengan dindingnya yang sangat tebal, namun juga merupakan bangunan yang menjadi simbol negara dan simbol kedekatan hubungan antara umat Yahudi dengan Allah. Bangunan ini adalah simbol Yudaisme –– yang menyangkut seluruh aspek kehidupan Yahudi, mulai aspek sosial, ekonomi, politik, maupun budaya. Kondisi bangsa Yahudi dilukiskan secara nyata oleh keberadaan bangunan ini. Oleh sebab itu, hancurnya gedung Bait Allah juga menyatakan hancurnya Yahudi sebagai bangsa dan negara.
Dan sungguh mengejutkan bila mengenai Bait Allah ini Tuhan Yesus justru berkata: “akan datang harinya di mana tidak ada satu batu pun akan dibiarkan terletak di atas batu yang lain” (ay. 6). Ini memang merupakan nubuatan yang secara harfiah benar-benar terjadi pada th 70, dimana pasukan Romawi di bawah pimpinan Jenderal Titus membumi-hanguskan Yerusalem, termasuk Bait Allah. Namun, sesungguhnya kehancuran Bait Allah yang dimaksudkan Yesus menunjuk pada konsep mengenai akhir zaman. Memang, kebetulan secara fisik Bait Allah benar-benar runtuh pada th 70, tetapi bukan itu maksud perkataan Tuhan di ay. 6 ini. Sebab, di bagian ini Tuhan Yesus sesungguhnya ingin memaparkan suatu pemahaman eskatologis, bahwa: hancurnya Bait Allah adalah simbol yang menunjuk pada hancurnya kedekatan hubungan antara manusia dengan Allahnya. Zaman yang penuh cobaan ini, ditandai dengan: penyesatan (ay. 8); peperangan dan pemberontakan (9-10); gempa bumi, penyakit, kelaparan, teror, dan tanda-tanda surgawi yang besar yang akan mendahului Kedatangan Kedua Kali (ay. 11). Secara rinci tanda-tanda surgawi ini disebut dalam Kitab Wahyu ps. 6-18. Namun hal-hal itu belumlah seberapa, sebab yang paling berpengaruh adalah bahwa: pada zaman ini kehidupan orang beriman akan mengalami ujian yang berat. Berbagai ujian yang akan dialami orang beriman itu dipaparkan Lukas dalam ay. 12, di antaranya: mereka akan dimusuhi di sinagog-sinagog (bnd. Mat. 10:17; Mrk 13:9), ditangkap, dianiaya, dipenjara, dan dihadapkan kepada para penguasa bangsa lain untuk diadili (bnd. Mat 10:18; Mrk 13:9). Semua itu terjadi oleh karena “nama-Ku” –– yakni karena iman mereka kepada Yesus. Di samping itu, di ay. 16-17, mereka juga akan mengalami pengkhianatan dari kerabat dekat dan teman-teman (bdk. Mrk 13:12).
Akan tetapi ujian yang dihadapi oleh orang beriman itu justru merupakan kesempatan bagi mereka untuk dapat “bersaksi” (ay. 13). Dan dalam melakukan “kesaksian”-nya ini mereka tidak perlu khawatir tentang apa yang harus mereka katakan, melainkan hanya bergantung pada janji Yesus yang akan membantu mereka berkata-kata (bdk. Kel. 4:11, 15; Yeh. 29:21) dan kebijaksanaan yang akan mereka butuhkan saat itu (bdk. 12:11-12; Mat. 10:19-20, Mrk 13:11). Ini semua akan mereka terima melalui karya Roh Kudus kepada mereka (Mrk 13:11). Mereka akan menemukan bahwa kesaksian mereka akan menjadi sangat kuat. Ini semua akhirnya memang benar-benar terjadi dalam kehidupan gereja mula-mula (mis., Kis 4:14; 6:10; 8:3; 12:4; 21:11; 22:4, 27:1, 28:17) dan di sepanjang sejarah gereja. Dalam hal ini, Yesus berjanji bahwa Dia akan selalu menjaga mereka agar tetap aman (ay. 18). Ini mungkin berarti bahwa tidak ada bahaya yang akan menimpa mereka tanpa seizin Bapa (ay 16; bnd. Kis 27:34). Beberapa penafsir percaya bahwa  hal ini hanyalah mengacu pada keselamatan rohani, tetapi tidak terhadap keselamatan jasmani.
Hal terpenting di sini (ay. 19) adalah bahwa: dengan ketekunan dalam karya, saat mereka dianiaya, hal itu justru akan melestarikan kehidupan mereka (Yun. ktesesthe tas psychas hymon). Artinya, mereka tidak akan mati sebelum dikehendaki Tuhan (ay 18). Beberapa penafsir percaya bahwa ayat ini bertujuan menyatakan bahwa mereka yang bertahan sampai akhir akan mengalami keselamatan (bnd. Mat 24:13, Mrk 13:13). Mereka yang tetap setia sampai akhir dari masa Kesengsaraan akan masuk ke dalam kerajaan tanpa kematian (bnd. Mat 24:13, Mrk 13:13). Ini berarti bahwa ketekunan dalam karya akan mendatangkan ganjaran kekal (lih. ay. 36; Why 2:10).

Aplikasi

Di kalangan orang Kristen, ada yang beranggapan bahwa pelayanan adalah sesuatu yang dilakukan secara sukarela. Namun, “sukarela” ini kadang dimaknai sebagai ‘sesukanya’ atau se-‘rela’-nya sehingga membuat kualitas pelayanan itu sendiri menjadi berkurang, tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh (kalau sempat), bahkan tidak perlu membutuhkan keterampilan khusus. Definisi pelayanan yang seperti ini seringkali dibedakan dengan definisi mengenai pekerjaan, yakni: sesuatu yang dilakukan, semestinya secara profesional (kemampuan khusus yang dibayar), untuk mencari nafkah, atau mendapatkan suatu hasil. Kalangan seperti ini menganggap bahwa bekerja berbeda dengan melayani, sebab melayani bisa dilakukan oleh siapa saja, termasuk jenis kegiatan yang dapat dilakukan secara serabutan, dan tidak berorientasi pada hasil melainkan pada ketekunan.
Sepintas, idea semacam ini pada kenyataannya memang ada benarnya, bahkan seperti inilah yang berlaku secara umum di banyak gereja. Maka tak mengherankan jika berbagai bentuk pelayanan gerejawi, dalam komisi apapun, seringkali terkesan asal-asalan, kurang berkualitas, bahkan yang penting ada kemauan. Sebagai contoh: jika paduan suara gerejawi, dari tahun ke tahun menyanyikan lagu yang itu-itu saja, jumlah anggotanya tidak pernah pasti, jadual latihan tidak menentu, bahkan tanpa latihan pun bisa tampil; hal itu dianggap biasa/wajar dalam pelayanan. “Namanya juga pelayanan, sudah baik masih mau tampil”.
Memang, pelayanan yang dilakukan seperti itu tidak salah, sebab Bunda Teresa pun pernah menyatakan bahwa: “Tuhan tidak pernah menuntut kita untuk Sukses, Dia hanya mengharuskan kita Berusaha”. Namun sesungguhnya, pelayanan yang dilakukan seperti itu dapat dianggap sebagai pelayanan yang kurang baik. Oleh sebab itu sebaiknya kita perlu kembali belajar kepada Perjanjian Baru mengenai makna pelayanan yang baik :
Kata yang dipakai dalam Perjanjian Baru untuk menunjuk pada “pelayanan” adalah: diakoneo, douleo, leitourgeo, dan latreuo. Makna tiap kata itu tidak sama. Diakoneo: melayani orang yang lebih rendah dari dirinya; Douleo: menghamba, melayani orang yang lebih tinggi dari dirinya; Leitourgeo: kerja bakti untuk kepentingan orang banyak; sedangkan Latreuo: bekerja untuk mendapatkan latron (upah, gaji, kualitas). Dari ke-4 kata yang biasa dipakai oleh Perjanjian Baru itu, maka dapatlah ditarik kesimpulan bahwa:pelayanan adalah aktifitas yang dilakukan, baik untuk kepentingan sesama maupun untuk kemuliaan Allah, menuju suatu pencapaian yang baik (berkualitas), sehingga harus dilakukan secara profesional (dengan kemampuan dan minat).
-------
Oleh sebab itu jugalah, maka seluruh bagian Alkitab yang sedang kita perbincangkan saat ini sesungguhnya menekankan bahwa: pelayanan itu tak lain adalah ‘karya’ atau ‘kerja’. Sebab ketika ‘kerja’ itu merupakan sebuah upaya “menghidupi diri sendiri” (lih. II Tes. 3:10), maka demikian juga ‘pelayanan’, yakni “menghidupi imannya sendiri”. Oleh karena itu, maka ‘pelayanan’ pun perlu dilakukan dengan ketekunan, sebab seperti halnya manusia hidup butuh makan, kehidupan iman pun butuh makanan yang dihasilkan dari buah-buah pelayanan (agar tetap memperoleh hidup, lih. Lukas 21:19). Dan jika pelayanan yang dilakukan itu bukanlah sebuah karya yang profesional, berkualitas, dan tanpa minat, maka tentu buah-buah yang dihasilkannya pun tidak akan mengenyangkan kehidupan beriman. Oleh sebab itu, maka kinerja dalam pelayanan itu  haruslah sebuah upaya yang profesional, berkualitas, serta penuh tekad dan minat.
Apa yang sedang diwacanakan ini bukanlah bermaksud untuk membedakan, bahwa: pekerjaan itu hanyalah aktifitas yang menyangkut kehidupan profan (duniawi), sedangkan pelayanan itu menyangkut kehidupan iman (sorgawi). Sebab sesungguhnya keduanya, baik pekerjaan maupun pelayanan itu adalah aktifitas yang menyangkut kehidupan profan (duniawi) sekaligus kehidupan iman (sorgawi). Zaman Kerajaan 1000 tahun (zaman akhir) yang sedang terjadi dan kita alami saat ini pada hakekatnya adalah kehidupan duniawi di bawah pemerintahan (kendali) Sang Kristus, sehingga kerja/pelayanan umatNya pun berkenaan dengan seluruh kepentingan, baik sorgawi maupun duniawi. Pelayanan/kerja bagi kepentingan sesama, kepentingan diri sendiri dan bagi kemuliaan Tuhan, semuanya haruslah dilakukan sesuai kehendak Kristus, dan tidak perlu dipertentangkan antara satu dengan yang lain: mana yang sorgawi atau mana yang duniawi. Dengan demikian, maka:
§  Mereka yang menjadi Guru, baiklah mereka mendidik dengan ketekunan dan kinerja yang gigih bagi kebaikan para muridnya sekaligus demi kemuliaan Sang Kristus.
§  Mereka yang menjadi pegawai negeri, baiklah mereka mengabdi dengan ketekunan dan kinerja yang gigih bagi kebaikan masyarakat sekaligus demi kemuliaan Sang Kristus.
§  Mereka yang menjadi dokter, baiklah mereka mengobati dengan ketekunan dan kinerja yang gigih bagi kebaikan lingkungannya sekaligus demi kemuliaan Sang Kristus.

Medan 17 November 2013
Pdt. T.M. Karo-karo, STh,MA

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.