Khotbah Minggu 6 Oktober 2013
GMI KASIH KARUNIA
Thema: “kami ini hamba-hamba yang tidak berguna”
(Luk 17:5-10)
Luk 17:5-10 selengkapnya: 17:5 Lalu kata rasul-rasul itu kepada
Tuhan: "Tambahkanlah iman kami!" 17:6 Jawab Tuhan: "Kalau
sekiranya kamu mempunyai iman sebesar biji sesawi saja, kamu dapat berkata
kepada pohon ara ini: Terbantunlah engkau dan tertanamlah di dalam laut, dan ia
akan taat kepadamu." 17:7 "Siapa di antara kamu yang mempunyai
seorang hamba yang membajak atau menggembalakan ternak baginya, akan berkata
kepada hamba itu, setelah ia pulang dari ladang: Mari segera makan. 17:8
Bukankah sebaliknya ia akan berkata kepada hamba itu: Sediakanlah makananku. Ikatlah pinggangmu dan layanilah aku sampai selesai aku makan dan
minum. Dan sesudah itu engkau boleh makan dan minum. 17:9 Adakah ia berterima
kasih kepada hamba itu, karena hamba itu telah melakukan apa yang ditugaskan
kepadanya? 17:10 Demikian jugalah kamu. Apabila kamu telah melakukan segala
sesuatu yang ditugaskan kepadamu, hendaklah kamu berkata: Kami adalah
hamba-hamba yang tidak berguna; kami hanya melakukan apa yang kami harus
lakukan."
----------------------------------------
Pendahuluan
Mungkin kita pernah diperlakukan oleh
orang lain tidak sepantasnya atau bahkan menimbulkan kerugian atau penderitaan,
maka melalui nats yang kita baca minggu ini kita belajar tentang hubungan iman dengan pengampunan dosa.
Hal ini dimaksudkan agar jangan sampai kita tersesat oleh karena tergoda untuk
melakukan pembalasan. Ajaran perjanjian
lama mengatakan bahwa mata ganti mata dan gigi ganti gigi. Cara berpikir
seperti ini memang ada pada orang Yahudi (Mat 5:38-44). Akan tetapi apakah untuk memberikan pengampunan diperlukan iman
yang besar? Dan bagaimana iman tersebut menghasilkan sesuatu yang besar, serta
hubungannya dengan penggunaannya yang tidak membuat kita sombong rohani. Maka
melalui bacaan minggu ini, kita diajarkan oleh Tuhan Yesus beberapa hal sebagai
berikut.
1.
Menambah iman (ayat 5)
Pada ayat 1-4 sebelumnya Tuhan Yesus mengingatkan pentingnya
pengampunan dosa bagi sesama, agar jangan sampai ada orang percaya yang jatuh
ke dalam dosa karena menyimpan beban sakit hati atau dendam. Namun untuk bisa
memberi pengampunan dosa, menurut para murid waktu itu, dibutuhkan iman yang
besar sehingga kekuatiran tidak terjadi sebaliknya, malah iman yang memberi
pengampunan justru yang tergerus menghilang. Oleh karena itu, para murid
kemudian meminta kepada Tuhan Yesus: "Tambahkanlah
iman kami". Mereka berpikir polos dan sederhana, pertambahan iman itulah
yang dibutuhkan dalam memberi pengampunan.
Menjawab hal ini Tuhan Yesus
menjelaskan bahwa yang diperlukan dan
utama dalam memberi pengampunan bukanlah ukuran besar-kecilnya iman, akan
tetapi bagaimana iman itu diyakini dan dilaksanakan. Oleh karena itu
Tuhan Yesus memberi kiasan iman itu seperti biji sesawi. Biji sesawi sangat
kecil (bayangkan sebesar gula pasir) sehingga melalui yang dikatakan-Nya, iman
yang kecil pun sebenarnya memiliki kuasa untuk memberi pengampunan dan tidak
memerlukan iman yang besar. Justru melalui pemberian pengampunan itu, iman
orang percaya berkarya dan bertumbuh semakin besar serta dikuatkan. Jadi, bukan
sebaliknya yang terjadi, yakni perlu iman besar untuk pengampunan melainkan
dengan iman kecil kita memberi pengampunan dan menghasilkan pertumbuhan iman
yang semakin besar.
Maka kesusahan atau penderitaan
sebesar apa pun yang kita alami karena perlakuan orang lain, baik oleh pihak
yang kita tidak kenal maupun oleh orang yang kita kenal, maka semua itu tidak
perlu kita balaskan secara langsung (apalagi bila itu terjadi bukan karena
kesengajaan). Penderitaan yang kita tanggung karena perbuatan orang lain itu
sepenuhnya diserahkan kepada Tuhan, agar kita mampu untuk mengatasinya dan
melewatinya, tanpa ada dampak dan efek lanjutannya yang merugikan diri sendiri.
Justru dengan iman kecil yang kuat kepada Tuhan, dengan penderitaan itu iman
kita semakin bertumbuh dan dikuatkan. Penderitaan dan tantangan sebesar apa pun
pada prinsipnya bisa kita lalui selama kita berjalan bersama Tuhan dalam
mengatasi dan melewatinya (Flp 4:13)
2.
Iman yang dapat memindahkan pohon (ayat 6)
Sebagaimana biji sesawi, iman (yang dalam bahasa Yunani disebut
dengan pistis) memang merupakan kata benda. Akan tetapi meski kata benda, iman
adalah hidup dan sesuatu yang bisa bertumbuh serta berbuah sebagaimana biji
sesawi yang asalnya juga sangat kecil. Dalam hal ini sebagaimana biji, maka
iman yang bertumbuh haruslah berakar pada sesuatu, yakni dalam hal ini berakar
pada Tuhan. Jadi inti dari iman adalah ketergantungan total pada Allah dan
menempatkan-Nya sebagai sumber pertumbuhan yang diperkuat dengan keinginan
untuk melakukan kehendak-Nya sebagai buah. Maka
dalam hal ini ukuran besarnya iman tidaklah menjadi penting sebab yang
diperlukan adalah dasar dan sikap ketergantungan tadi kepada Allah.
Kalau iman diberi kiasan sebagai biji sesawi, maka sama halnya
dengan perpindahan pohon ara yang terbantun dan tertanam di dalam lautan, itu
juga hanya kiasan. Jelas terbantunnya itu sebuah peristiwa “besar dan ajaib”,
tidak masuk akal. Akan tetapi apa yang ingin disampaikan oleh Yesus adalah
melalui iman kita bisa melakukan hal yang besar dan ajaib dan tidak masuk akal
pikiran manusia. Jadi iman membuat hal yang tak mungkin menjadi mungkin. Ini
yang dikatakan-Nya bahwa jika orang percaya memiliki iman, maka “tidak ada yang
mustahil bagi orang yang percaya” (Mrk 9:3; Mat 9:23). Inilah yang yang
ditekankan-Nya bahwa iman tidak mengenal hal yang mustahil.
Sebagaimana biji sesawi maka biji itu bertumbuh terus dan kemudian
berbuah. Iman yang bertumbuh akan menghasilkan buah dan buahnya semakin lebat,
yang tadinya impossible menjadi possible. Semua itu terjadi
bukan karena kehebatan manusia, akan tetapi karena pertolongan dan kuasa Allah
yang tidak terbatas. Biji sesawi yang kecil itu awalnya juga kecil dan tidak
tampak, akan tetapi melalui pertumbuhan dengan buah-buah yang kelihatan, maka iman
itu semakin kelihatan dan kuat teruji. Jadi kita tidak membutuhkan iman yang
besar melainkan iman yang sehat dan kuat dan siap untuk bertumbuh. Semua itu
hanya mungkin apabila iman itu berdasar dan kokoh ketergantungannya kepada
Tuhan Yesus.
3.
Kedudukan hamba di hadapan Tuan
(ayat 7-9)
Pada awalnya sangat sulit bagi kita untuk memahami mengapa ayat
tentang iman yang dapat memindahkan pohon ini dikaitkan dengan kedudukan hamba.
Akan tetapi hubungan itu menjadi jelas, sebab umumnya para hamba Tuhan memiliki
iman yang lebih besar dibandingkan dengan orang percaya lainnya. Melalui iman
mereka, karya Allah diwujud-nyatakan kepada anggota jemaat dalam pendampingan
maupun keteladanan diri mereka mengarungi permasalahan kehidupan sehari-hari.
Para hamba Tuhan ini diminta memperlihatkan bahwa dengan iman yang kecil dan
kuat, semua permasalahan kehidupan apapun akan dapat dilewati dengan
kemenangan, sebab dengan iman kita tidak berjalan sendirian melainkan beserta
dengan Allah.
Akan tetapi poin lainnya para hamba
Tuhan ini melakukan itu semua karena memang itu tugas dan panggilannya. Tidak
ada alasan bagi para hamba Tuhan untuk menganggap bahwa Allah berhutang atas
semua karya iman yang dilakukannya itu. Semua pekerja dalam ladang
Tuhan dan orang percaya memiliki kedudukan hamba dan melayani Tuhan dengan
tanpa pamrih atau mengharapkan imbalan, sebab itu memang kewajibannya. Sama
seperti dalam ayat di atas, ketika hambanya pulang dari ladang dan berkata
kepada hamba itu: “Mari segera makan. Bukankah sebaliknya ia akan berkata
kepada hamba itu: Sediakanlah makananku. Ikatlah pinggangmu dan
layanilah aku sampai selesai aku makan dan minum…”. Artinya secapek apapun
hamba, tetap tujuannya adalah melayani Tuannya.
Jadi tidak ada alasan untuk sombong apalagi bermegah atas pelayanan
iman yang diberikan. Pekerjaan hamba sebagaimana kita di
hadapan Allah adalah hal yang selayaknya kita lakukan dan justru diminta
ketaatan, termasuk taat dalam memberi pengampunan tadi. Kalau pun semua itu
kita lakukan maka tidak ada keistimewaan yang layak kita terima. Ketaatan dan
tunduk pada perintah-Nya bukanlah sesuatu yang istimewa melainkan suatu
kewajiban dasar saja. Jangan kita berpikir adanya hak atau imbalan khusus untuk
itu. Seperti ayat yang kita baca: “Adakah ia berterima kasih kepada hamba itu,
karena hamba itu telah melakukan apa yang ditugaskan kepadanya?” Maka semua
sikap ini akan membuktikan karakter kita sebagai orang percaya (dan hamba
Tuhan) sehingga menjadi berkat bagi orang lain.
4. Hamba yang rendah
hati (ayat 10)
Akan tetapi Tuhan Yesus juga tidak mengatakan bahwa yang kita
perbuat itu sia-sia dan tanpa arti, atau beranggapan itu tidak berguna dan
bermanfaat, melainkan Ia mengecam mereka-mereka yang menonjolkan diri sendiri
dan membuat itu sebagai kesombongan rohani. Tuhan Yesus menekankan agar kita
jangan merekam dan berhitung apalagi bermegah dan menyombongkan diri untuk itu.
Anugerah iman dan kuasanya yang besar sangat mudah menimbulkan kesombongan
rohani, dan itulah yang Tuhan tidak inginkan. Kuasa iman juga bukan sesuatu
yang perlu kita tonjolkan dan pamerkan, apalagi obral, melainkan semua itu
hanyalah ketaatan dalam meninggikan dan memuliakan Dia.
Oleh karena itu
Tuhan Yesus mengajarkan hubungan iman ini dengan kerendahan hati. Iman tidak
dipakai dengan kesombongan apalagi menguji Allah membuktikan Allah sanggup
melakukan segala sesuatu. Memang Allah mampu melakukan segala sesuatu dan tidak
ada yang mustahil bagi Dia (Luk 1:37; Mrk 14:36) akan tetapi itu semua sesuai
kehendak-Nya. Allah sanggup dan orang percaya menjadi sanggup melalui
kuasa-Nya, akan tetapi itu tidak dipakai untuk bermegah apalagi untuk
mengharapkan kedudukan yang istimewa di hadapan Allah. Justru sebagai orang
percaya apalagi hamba Tuhan, kita semakin dipanggil untuk melakukan semua itu
dengan kerendahan hati dan hasrat yang kuat dan berakar pada Kristus,
ketergantungan total dalam meninggikan Dia sehingga perbuatan kita hanya untuk
menyenangkan hati-Nya.
Bagian terakhir dari pesan Tuhan Yesus adalah iman yang kita
miliki harus dipakai untuk berkarya melalui perbuatan-perbuatan kasih. Untuk
itu tidak dipersoalkan besarnya dan bentuknya iman yang kita miliki, akan
tetapi yang utama adalah keinginan untuk berbuah nyata dalam tindakan kasih
kepada sesama terutama yang membutuhkan. Sebab jikalau tidak demikian, iman
yang dianugerahkan kepada kita itu tidak berbuah nyata, maka Allah akan
menganggap kita sebagai hamba yang tidak berguna. Kalau soal kekuatiran akan
tidak cukupnya iman adalah sesuatu yang wajar, sebagaimana kisah seorang ayah
yang membawa anaknya untuk disembuhkan karena kerasukan roh yang membisukan
anaknya: “Aku percaya. Tolonglah aku yang tidak percaya ini!” (Mrk 9:14-27).
Maka tetaplah berdoa agar iman kita semakin bertumbuh dan dikuatkan.
Medan 06 Oktober 2013
Pdt. T.M. karo-karo,
STh,MA