Tuesday, October 15, 2013


KUNCI SUKSES KELUARGA KRISTEN
I Korintus 11: 11 – 12
oleh :  Pdt. T.M.Karo-karo,STh,MA
Dikhotbahkan pada tgl 16 Oktober 2013 GMI Kasih Karunia, Jln Hang Tuah 2, Medan

Ada banyak alasan manusia untuk menikah, antara lain:
1.            Biar saya mencintai dan dicintai
2.            “Saya ingin mendapatkan sesuatu yang dulu tidak pernah saya dapatkan dari keluarga saya.”
3.            “Saya tidak ingin kesepian.”
4.            “Saya tidak ingin menjalani kehidupan ini seorang diri.”
5.            “Saya ingin ada yang merawat dan menemani kalau saya tua nanti.”
6.            Agar saya memiliki keturunan
7.            dll
Saudara, jawaban-jawaban tersebut terdengar sangat logis dan tidak salah. Jawaban-jawaban itu menyiratkan egoisme dan egosentrisme, hanya berfokus pada kepentingan diri sendiri, harapan dan keinginan pribadi serta apa yang ingin kita dapatkan.
1. Pernikahan tidak selalu berisi apa yang akan kita dapatkan dari pasangan kita tetapi juga harus berisi apa yang akan saya berikan pada pasangan kita.
2. Pernikahan tidak hanya berfokus pada apa yang akan kita dapatkan tetapi juga apa yang akan saya berikan.
3. Pernikahan yang hanya mengharapkan sesuatu ---adalah pernikahan yang tak seimbang---keropos dan rapuh.
Ibu Theresa pernah berkata, “Bagikan kasih ke mana saja Anda pergi; pertama di rumah Anda sendiri.
Pernikahan tanpa kasih/cinta akan penuh kesedihan, keluhan dan rintihan, air mata, kesia-siaan, haus akan cinta, perkelahian, penuh kehancuran hati.
Bagaimana hari-hari kehidupan kita jika kita tidak hidup di dalam kasih? Mungkin Anda dan saya perlu merenungkan hal berikut ini:
Dari bacaan kita, I Korintus 11: 11 – 12   kita dapat melihat beberapa pokok penting yang perlu kita pahami dalam kaitannya dengan hidup pernikahan dan membangun sebuah keluarga.
1.            Pernikahan adalah relasi dua arah dan seimbang.
2.            Kedudukan suami tidak lebih tinggi daripada istri. Begitu juga kedudukan istri tidak lebih tinggi daripada suami.
3.            Yang satu tidak lengkap tanpa yang lain.
Dari bacaan kita setidaknya ada empat (4) hal yang dapat kita lihat dan kembangkan sebagai dalam membangun sebuah pernikahan.

1. Pernikahan harus dilihat sebagai sebuah komitmen pada sebuah hubungan yang permanen.
Yang membedakan manusia dengan makhluk hidup lainnya adalah komitmen. Hidup pernikahan dibangun di atas serangkaian komitmen antara suami dan istri. Komitmen untuk saling mengasihi, saling menghargai, saling mengingatkan, saling mendoakan dan komitmen untuk menjalani kehidupan pernikahan sampai maut memisahkan. Oleh sebab itu, Yesus pernah berkata, “Apa yang telah dipersatukan oleh Allah jangan dipisahkan oleh manusia.”
Komitmen untuk mengasihi dan mencintai harus menjadi dasar hidup pernikahan.
Komitmen menjadikan rumah tangga kita semakin hari semakin kokoh dan semakin terasa menyenangkan.
2. Pernikahan harus dilihat sebagai sebuah panggilan untuk melayani dengan penuh kesetiaan.
Pernikahan adalah sebuah panggilan bagi masing-masing, suami dan istri, untuk melakukan yang terbaik bagi pasangannya. Alangkah indahnya sebuah rumah tangga yang di dalamnya satu sama lainnya terdorong untuk saling melayani dan saling memberi.
3. Pernikahan harus dilihat sebagai sebuah proses pemurnian.
Pernikahan adalah sebuah perpaduan dua pribadi, di mana masing-masing pribadi, suami dan istri, dengan kesadaran penuh memberikan sebagian ruang dalam hidupnya bagi pasangannya. Sehingga tidak ada lagi aku atau kamu. Yang ada adalah kita. Bukan kepentinganmu atau kepentinganku, yang ada adalah kepentingan kita bersama.
4. Pernikahan harus dilihat sebagai sebuah anugerah.
Tidak ada orang yang tidak senang menerima hadiah. Hadiah akan selalu disambut dengan sukacita dan rasa syukur sesederhana apa pun bentuknya.
Dengan memandang pernikahan sebagai sebuah hadiah, kita akan menjalaninya dengan penuh sukacita dan penuh rasa syukur, bukan sebagai beban apalagi sebagai penjara.
SELAMAT BERBAHAGIA!



Sunday, October 13, 2013

Bahan Bimbingan Khotbah  majelis, Lay Speaker, Cls
GMI Kasih Karunia, Jalan Hang Tuah 2 Medan
Jumaat 11 Oktober 2013
Untuk dikhotbahkan pada Keb. Sektor tgl 15 dan 16 Okt 2013

Nats Alkitab        : 2 Timotius 1:1-14

1.       Pendahuluan
Paulus kini adalah seorang tahanan di Roma yang menantikan saat kematiannya, ditinggalkan oleh banyak sahabatnya (ayat 2Tim 1:152Tim 4:16), dan rindu untuk melihat Timotius sekali lagi. Dia memohon teman sekerjanya tetap setia pada kebenaran Injil dan datang secepatnya untuk bersama dia sementara hari-hari terakhir hidupnya di bumi ini (2Tim 4:21).

2.       Tafsiran Nats

i)        Ayat 3-5
Paulus menitikberatkan hati nurani yang murni (Sunedesis)  di dalam pelayanannya kepada Allah baik pada masa sesudah ia menjadi orang Kristen maupun sebelumnya. Keseriusan pengabdian ini telah ia warisi dari nenek moyangnya (ayat: 3 “ …seperti yang dilakukan oleh nenek moyangku…”. Sekalipun  Paulus telah menjadi Kristen ia tidak mengingkari kekayaan-kekayaan yang ada dalam agama-agama nenek moyangnya  bahkan ia menghormati kekayaan-kekayaan itu.
Paulus memuji bahwa hati nurani yang demikian juga ada pada diri Timotius (“imanmu yang tulus ikhlas” atau iman yang tidak munafik), iman yang demikian diwarisi Timotius dari ibunya “Eunike” dan neneknya “Lois”. Nenek dan ibunya ini telah mendidik Timotius secara serius sejak kecil di dalam kitab suci PL  (II Tim 3:14,15) kemudian setelah mereka menjadi Kristen tetap mendampinginya secara tulus di dalam iman kepada Yesus.

ii)       Nasihat untuk bertekun ayat 6-14
Bagian ini membahas nasihat Paulus kepada Timotius supaya ia bertekun dalam menunaikan tugasnya, nasihat ini didasarkan tiga hal:
·         Kesadaran akan panggilan yang mulia untuk tugas pelayanan
·         Kasih Karunia Tuhan Yesus yang bekerja pada diri orang percaya
·         Teladan Paulus sendiri dalam menjalankan tugas dan menanggung penderitaan
      Ayat 7: ….bukan roh ketakutan melainkan roh yang membangkitkan kekuatan, kasih dan ketertiban.
 Sifat-sifat ini dimiliki tiap orang Kristen yang hidup di dalam Roh, terlebih ini berlaku untuk Timotius yang hidup di dalam Roh. Oleh karena Timotius dalam kemudaanya masih dihinggapi oleh perasaan takut, maka dia diperlengkapi dengan keberanian dan kekuatan dan kasih dan penguasaan diri untuk melakukan tugas pelayanannya dengan baik.

3.       Refleksi/Aplikasi
Nats ini cukup kaya akan pengajaranan bagi kehidupan umat Kristen masa kini, tetapi dalam kesempatan ini kami mengemukakan 2 topik aplikasi yang ditonjolakan:

·           Pendidikan Rohani yang baik kepada anak-anak akan memberikan warisan berharga bagi masa depannya.
·           Tuhan memberikan kepada kita bukan roh ketakutan, melainkan roh yang membangkitkan kekuatan, kasih dan ketertiban. Poin ini kami jelaskan dengan kutipan illustrasi full-life di bawah ini:
Pendiri dan pimpinan sebuah perusahaan penerbangan Amerika yang sukses mengungkapkan filsafat bisnisnya, "Saya suka melakukan hal-hal yang menakutkan. Tanpa ketakutan, tak ada keberanian." Itulah sebabnya ia selalu mencari kemungkinan-kemungkinan untuk dapat memperluas jangkauan penerbangan, bukannya berpuas diri dengan kekayaan yang telah dicapai perusahaannya. Ia menempuh banyak risiko setiap kali memulai pelayanan ke kota-kota yang baru. Namun ia tak pernah patah semangat.
Keberanian bukan berarti tak ada ketakutan, melainkan adanya kemauan untuk bertindak, bahkan ketika kita merasa takut akan apa yang mungkin terjadi bila kita melakukannya.
Ketika Paulus menulis kepada rekan sekerjanya Timotius, ia mendorong Timotius untuk berani bertindak demi Kristus, walaupun keberanian Paulus sendiri telah membawanya ke penjara. "Allah memberikan kepada kita bukan roh ketakutan," tulis Paulus, "melainkan roh yang membangkitkan kekuatan, kasih dan ketertiban. Jadi janganlah malu" (2Timotius 1:7,8).
"Mencari yang aman" tak sepantasnya menjadi pilihan para pengikut Kristus. Orang-orang percaya senantiasa dipanggil untuk mengidentifikasikan diri secara terang-terangan dengan Yesus dan dengan mereka yang menderita karena kesetiaan kepada Kristus. Kekuatan untuk melakukan hal itu datang dari Roh Kudus Allah yang diam di dalam diri kita.
Marilah bertindak dengan berani dan menghadapi segala sesuatu yang menakutkan pada hari ini
KEBERANIAN BUKAN BERARTI TAK ADA RASA TAKUT
MELAINKAN MENGUASAI RASA TAKUT

Medan 11 Oktober 2013
Pdt. T.M. Karo-karo, STh,MA


Daftar Pustaka
·         Budiman, R, Surat-surat Pastoral I & II Timotius dan Titus, BPK Gunung Mulia, Jakarta 1984
·         Guthrie, Donald, “Tafsiran I &II Timotius” dalam Tafsiran Alkitab Masakini 3, Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, Jakarta 1999
·         Alkitab Sabda.Com—full life



Saturday, October 5, 2013

Khotbah Minggu 6 Oktober 2013
GMI KASIH KARUNIA
Thema: “kami ini hamba-hamba yang tidak berguna”
 (Luk 17:5-10)

Luk 17:5-10 selengkapnya: 17:5 Lalu kata rasul-rasul itu kepada Tuhan: "Tambahkanlah iman kami!" 17:6 Jawab Tuhan: "Kalau sekiranya kamu mempunyai iman sebesar biji sesawi saja, kamu dapat berkata kepada pohon ara ini: Terbantunlah engkau dan tertanamlah di dalam laut, dan ia akan taat kepadamu." 17:7 "Siapa di antara kamu yang mempunyai seorang hamba yang membajak atau menggembalakan ternak baginya, akan berkata kepada hamba itu, setelah ia pulang dari ladang: Mari segera makan. 17:8 Bukankah sebaliknya ia akan berkata kepada hamba itu: Sediakanlah makananku. Ikatlah pinggangmu dan layanilah aku sampai selesai aku makan dan minum. Dan sesudah itu engkau boleh makan dan minum. 17:9 Adakah ia berterima kasih kepada hamba itu, karena hamba itu telah melakukan apa yang ditugaskan kepadanya? 17:10 Demikian jugalah kamu. Apabila kamu telah melakukan segala sesuatu yang ditugaskan kepadamu, hendaklah kamu berkata: Kami adalah hamba-hamba yang tidak berguna; kami hanya melakukan apa yang kami harus lakukan."
----------------------------------------
Pendahuluan
Mungkin kita pernah diperlakukan oleh orang lain tidak sepantasnya atau bahkan menimbulkan kerugian atau penderitaan, maka melalui nats yang kita baca minggu ini kita belajar tentang hubungan iman dengan pengampunan dosa. Hal ini dimaksudkan agar jangan sampai kita tersesat oleh karena tergoda untuk melakukan pembalasan. Ajaran perjanjian lama mengatakan bahwa mata ganti mata dan gigi ganti gigi. Cara berpikir seperti ini memang ada pada orang Yahudi (Mat 5:38-44). Akan tetapi apakah untuk memberikan pengampunan diperlukan iman yang besar? Dan bagaimana iman tersebut menghasilkan sesuatu yang besar, serta hubungannya dengan penggunaannya yang tidak membuat kita sombong rohani. Maka melalui bacaan minggu ini, kita diajarkan oleh Tuhan Yesus beberapa hal sebagai berikut.

1.    Menambah iman (ayat 5)
Pada ayat 1-4 sebelumnya Tuhan Yesus mengingatkan pentingnya pengampunan dosa bagi sesama, agar jangan sampai ada orang percaya yang jatuh ke dalam dosa karena menyimpan beban sakit hati atau dendam. Namun untuk bisa memberi pengampunan dosa, menurut para murid waktu itu, dibutuhkan iman yang besar sehingga kekuatiran tidak terjadi sebaliknya, malah iman yang memberi pengampunan justru yang tergerus menghilang. Oleh karena itu, para murid kemudian meminta kepada Tuhan Yesus: "Tambahkanlah iman kami". Mereka berpikir polos dan sederhana, pertambahan iman itulah yang dibutuhkan dalam memberi pengampunan.

 Menjawab hal ini Tuhan Yesus menjelaskan bahwa yang diperlukan dan utama dalam memberi pengampunan bukanlah ukuran besar-kecilnya iman, akan tetapi bagaimana iman itu diyakini dan dilaksanakan. Oleh karena itu Tuhan Yesus memberi kiasan iman itu seperti biji sesawi. Biji sesawi sangat kecil (bayangkan sebesar gula pasir) sehingga melalui yang dikatakan-Nya, iman yang kecil pun sebenarnya memiliki kuasa untuk memberi pengampunan dan tidak memerlukan iman yang besar. Justru melalui pemberian pengampunan itu, iman orang percaya berkarya dan bertumbuh semakin besar serta dikuatkan. Jadi, bukan sebaliknya yang terjadi, yakni perlu iman besar untuk pengampunan melainkan dengan iman kecil kita memberi pengampunan dan menghasilkan pertumbuhan iman yang semakin besar.

Maka kesusahan atau penderitaan sebesar apa pun yang kita alami karena perlakuan orang lain, baik oleh pihak yang kita tidak kenal maupun oleh orang yang kita kenal, maka semua itu tidak perlu kita balaskan secara langsung (apalagi bila itu terjadi bukan karena kesengajaan). Penderitaan yang kita tanggung karena perbuatan orang lain itu sepenuhnya diserahkan kepada Tuhan, agar kita mampu untuk mengatasinya dan melewatinya, tanpa ada dampak dan efek lanjutannya yang merugikan diri sendiri. Justru dengan iman kecil yang kuat kepada Tuhan, dengan penderitaan itu iman kita semakin bertumbuh dan dikuatkan. Penderitaan dan tantangan sebesar apa pun pada prinsipnya bisa kita lalui selama kita berjalan bersama Tuhan dalam mengatasi dan melewatinya (Flp 4:13)

2.    Iman yang dapat memindahkan pohon (ayat 6)
Sebagaimana biji sesawi, iman (yang dalam bahasa Yunani disebut dengan pistis) memang merupakan kata benda. Akan tetapi meski kata benda, iman adalah hidup dan sesuatu yang bisa bertumbuh serta berbuah sebagaimana biji sesawi yang asalnya juga sangat kecil. Dalam hal ini sebagaimana biji, maka iman yang bertumbuh haruslah berakar pada sesuatu, yakni dalam hal ini berakar pada Tuhan. Jadi inti dari iman adalah ketergantungan total pada Allah dan menempatkan-Nya sebagai sumber pertumbuhan yang diperkuat dengan keinginan untuk melakukan kehendak-Nya sebagai buah. Maka dalam hal ini ukuran besarnya iman tidaklah menjadi penting sebab yang diperlukan adalah dasar dan sikap ketergantungan tadi kepada Allah.
Kalau iman diberi kiasan sebagai biji sesawi, maka sama halnya dengan perpindahan pohon ara yang terbantun dan tertanam di dalam lautan, itu juga hanya kiasan. Jelas terbantunnya itu sebuah peristiwa “besar dan ajaib”, tidak masuk akal. Akan tetapi apa yang ingin disampaikan oleh Yesus adalah melalui iman kita bisa melakukan hal yang besar dan ajaib dan tidak masuk akal pikiran manusia. Jadi iman membuat hal yang tak mungkin menjadi mungkin. Ini yang dikatakan-Nya bahwa jika orang percaya memiliki iman, maka “tidak ada yang mustahil bagi orang yang percaya” (Mrk 9:3; Mat 9:23). Inilah yang yang ditekankan-Nya bahwa iman tidak mengenal hal yang mustahil.
Sebagaimana biji sesawi maka biji itu bertumbuh terus dan kemudian berbuah. Iman yang bertumbuh akan menghasilkan buah dan buahnya semakin lebat, yang tadinya impossible menjadi possible. Semua itu terjadi bukan karena kehebatan manusia, akan tetapi karena pertolongan dan kuasa Allah yang tidak terbatas. Biji sesawi yang kecil itu awalnya juga kecil dan tidak tampak, akan tetapi melalui pertumbuhan dengan buah-buah yang kelihatan, maka iman itu semakin kelihatan dan kuat teruji. Jadi kita tidak membutuhkan iman yang besar melainkan iman yang sehat dan kuat dan siap untuk bertumbuh. Semua itu hanya mungkin apabila iman itu berdasar dan kokoh ketergantungannya kepada Tuhan Yesus.
3.     Kedudukan hamba di hadapan Tuan (ayat 7-9)
Pada awalnya sangat sulit bagi kita untuk memahami mengapa ayat tentang iman yang dapat memindahkan pohon ini dikaitkan dengan kedudukan hamba. Akan tetapi hubungan itu menjadi jelas, sebab umumnya para hamba Tuhan memiliki iman yang lebih besar dibandingkan dengan orang percaya lainnya. Melalui iman mereka, karya Allah diwujud-nyatakan kepada anggota jemaat dalam pendampingan maupun keteladanan diri mereka mengarungi permasalahan kehidupan sehari-hari. Para hamba Tuhan ini diminta memperlihatkan bahwa dengan iman yang kecil dan kuat, semua permasalahan kehidupan apapun akan dapat dilewati dengan kemenangan, sebab dengan iman kita tidak berjalan sendirian melainkan beserta dengan Allah.
Akan tetapi poin lainnya para hamba Tuhan ini melakukan itu semua karena memang itu tugas dan panggilannya. Tidak ada alasan bagi para hamba Tuhan untuk menganggap bahwa Allah berhutang atas semua karya iman yang dilakukannya itu. Semua pekerja dalam ladang Tuhan dan orang percaya memiliki kedudukan hamba dan melayani Tuhan dengan tanpa pamrih atau mengharapkan imbalan, sebab itu memang kewajibannya. Sama seperti dalam ayat di atas, ketika hambanya pulang dari ladang dan berkata kepada hamba itu: “Mari segera makan. Bukankah sebaliknya ia akan berkata kepada hamba itu: Sediakanlah makananku. Ikatlah pinggangmu dan layanilah aku sampai selesai aku makan dan minum…”. Artinya secapek apapun hamba, tetap tujuannya adalah melayani Tuannya.

Jadi tidak ada alasan untuk sombong apalagi bermegah atas pelayanan iman yang diberikan. Pekerjaan hamba sebagaimana kita di hadapan Allah adalah hal yang selayaknya kita lakukan dan justru diminta ketaatan, termasuk taat dalam memberi pengampunan tadi. Kalau pun semua itu kita lakukan maka tidak ada keistimewaan yang layak kita terima. Ketaatan dan tunduk pada perintah-Nya bukanlah sesuatu yang istimewa melainkan suatu kewajiban dasar saja. Jangan kita berpikir adanya hak atau imbalan khusus untuk itu. Seperti ayat yang kita baca: “Adakah ia berterima kasih kepada hamba itu, karena hamba itu telah melakukan apa yang ditugaskan kepadanya?” Maka semua sikap ini akan membuktikan karakter kita sebagai orang percaya (dan hamba Tuhan) sehingga menjadi berkat bagi orang lain.


4.    Hamba yang rendah hati (ayat 10)
Akan tetapi Tuhan Yesus juga tidak mengatakan bahwa yang kita perbuat itu sia-sia dan tanpa arti, atau beranggapan itu tidak berguna dan bermanfaat, melainkan Ia mengecam mereka-mereka yang menonjolkan diri sendiri dan membuat itu sebagai kesombongan rohani. Tuhan Yesus menekankan agar kita jangan merekam dan berhitung apalagi bermegah dan menyombongkan diri untuk itu. Anugerah iman dan kuasanya yang besar sangat mudah menimbulkan kesombongan rohani, dan itulah yang Tuhan tidak inginkan. Kuasa iman juga bukan sesuatu yang perlu kita tonjolkan dan pamerkan, apalagi obral, melainkan semua itu hanyalah ketaatan dalam meninggikan dan memuliakan Dia.

 

Oleh karena itu Tuhan Yesus mengajarkan hubungan iman ini dengan kerendahan hati. Iman tidak dipakai dengan kesombongan apalagi menguji Allah membuktikan Allah sanggup melakukan segala sesuatu. Memang Allah mampu melakukan segala sesuatu dan tidak ada yang mustahil bagi Dia (Luk 1:37; Mrk 14:36) akan tetapi itu semua sesuai kehendak-Nya. Allah sanggup dan orang percaya menjadi sanggup melalui kuasa-Nya, akan tetapi itu tidak dipakai untuk bermegah apalagi untuk mengharapkan kedudukan yang istimewa di hadapan Allah. Justru sebagai orang percaya apalagi hamba Tuhan, kita semakin dipanggil untuk melakukan semua itu dengan kerendahan hati dan hasrat yang kuat dan berakar pada Kristus, ketergantungan total dalam meninggikan Dia sehingga perbuatan kita hanya untuk menyenangkan hati-Nya.

Bagian terakhir dari pesan Tuhan Yesus adalah iman yang kita miliki harus dipakai untuk berkarya melalui perbuatan-perbuatan kasih. Untuk itu tidak dipersoalkan besarnya dan bentuknya iman yang kita miliki, akan tetapi yang utama adalah keinginan untuk berbuah nyata dalam tindakan kasih kepada sesama terutama yang membutuhkan. Sebab jikalau tidak demikian, iman yang dianugerahkan kepada kita itu tidak berbuah nyata, maka Allah akan menganggap kita sebagai hamba yang tidak berguna. Kalau soal kekuatiran akan tidak cukupnya iman adalah sesuatu yang wajar, sebagaimana kisah seorang ayah yang membawa anaknya untuk disembuhkan karena kerasukan roh yang membisukan anaknya: “Aku percaya. Tolonglah aku yang tidak percaya ini!” (Mrk 9:14-27). Maka tetaplah berdoa agar iman kita semakin bertumbuh dan dikuatkan.

Medan 06 Oktober 2013


Pdt. T.M. karo-karo, STh,MA